Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seleb

82 Tahun Goenawan Mohamad, Ini Sekilas Perjalanan Hidupnya

Pada 1971, Goenawan Mohamad bersama sejumlah rekannya mendirikan Majalah Tempo. Kini, ia berusia 82 tahun, berikut sekilas profilnya.

29 Juli 2023 | 19.13 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku "Membaca Goenawan Mohamad" di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, Kamis, 29 Desember 2022. Komunitas Utan Kayu merilis buku berjudul Membaca Goenawan Mohamad sebagai salah satu wujud perayaan ulang tahun Goenawan Mohamad ke-80 di tahun 2021 lalu yang melibatkan beberapa penulis adalah Rizal Mallarangeng, Nirwan Dewanto, Ayu Utami, dan Ulil Abshar Abdalla. Editor buku tersebut, Ayu Utami, mengatakan Goenawan Mohamad atau yang akrab disapa GM memiliki sumbangsih besar pada dunia pemikiran, seni, jurnalistik, dan dinamika demokrasi di Indonesia. Namun, kajian lintas disiplin dan pembacaan kritis atas isi pemikirannya belum serius dilakukan. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 29 Juli merupakan hari kelahiran Goenawan Mohamad, seorang budayawan, jurnalis, dan sastrawan yang juga merupakan salah seorang pendiri Majalah Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah pada 29 Juli 1941. Kecintaan sosok yang kerap disapa dengan panggilan GM itu terhadap puisi telah terlihat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia kerap mendengarkan acara puisi yang disiarkan RRI. Saat berusia 19 tahun, Goenawan Mohamad pernah menggubah puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson ke dalam Bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Goenawan Mohamad melanjutkan pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Nama Goenawan Mohamad mulai dikenal di kalangan intelektual pada 1960-an. Menjelang berakhirnya Orde Lama, Goenawan Mohamad bersama rekan-rekannya antara lain Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan H.B. Jassin, menyusun Manifes Kebudayaan pada 1964.

Manifesto Kebudayaan 1964 atau dikenal dengan manikebu merupakan pernyataan sikap Goenawan Mohamad dan kawan-kawan yang diumumkan kepada publik. Manifes Kebudayaan ini mengangkat konsep paham filosofi tentang nilai kemanusiaan pada kehidupan dunia.

Soekarno ketika itu melarang Manifes Kebudayaan karena dianggap menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik 1964. Dampaknya, Goenawan Mohamad yang ikut menandatangani pernyataan sikap itu dilarang menulis di berbagai media umum.

Setelah Orde Lama berakhir Goenawan Mohamad melanjutkan pendidikannya ke College of Europe, Belgia. Sepulang dari Eropa, Goenawan Mohamad memulai kariernya sebagai wartawan di harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI. Ia menjadi redaktur harian tersebut pada 1969 hingga 1970. Ia juga pernah menjadi redaktur Majalah Horison pada 1969 hingga 1974, serta turut mendirikan Majalah Ekspres dan menjadi pemimpin redaksi dari 1970 hingga 1971.

Pada 1971, Goenawan Mohamad bersama sejumlah rekannya memisahkan diri dari majalah Ekspres lalu mendirikan Majalah Tempo. Goenawan Mohamad secara rutin menulis di rubrik Catatan Pinggir atau Caping di Majalah Tempo. Kolom ini menjadi ruang bagi dia untuk menyampaikan kritik terhadap agenda-agenda politik di Indonesia era Soeharto.

Karena kerap mengkritisi pemerintah Orde Baru, Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah. Akibat kekritisannya, Tempo dibredel kegiatan penerbitannya pada 1994.

Usai Soeharto lengser dan rezim Orde Baru berakhir, Goenawan Mohamad kembali “membangunkan” Tempo pada 1998 yang sempat tertidur. Namun dia hanya bersedia “mengawal” Tempo selama setahun saja. Selanjutnya, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Bambang Harymurti. Sejak 1989 hingga kini, GM menjadi Komisaris Utama PT Tempo Inti Media Tbk.

Tulisan-tulisan awal Goenawan Mohamad antara lain Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972) dan Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), ‘Eksotop’ (2003), ‘Tuhan dan Hal-hal Yang Tak Selesai’ (2007). Sedangkan untuk puisi, dia kumpulkan dalam bukunya Parkesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001), Don Quixote (2011), Tujuh Puluh Puisi (2011), dan Fragmen, Sajak-Sajak Baru (2017).

Selain di dunia kejurnalistikan, Goenawan Mohamad juga aktif di dunia seni. Ia adalah penulis teks drama pewayangan Wisanggeni (1995) yang dimainkan oleh Dalang Sudjiwo Tedjo, serta Alap-alapan Surtikanti (2002) oleh Dalang Slamet Gundono. Selain itu, dia menulis pula skenario untuk drama tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.

Goenawan Mohamad beberapa kali mendapatkan penghargaan. Deretan penghargaan yang diterimanya antara lain Louis M. Lyons untuk Hati Nurani dan Integritas dalam Jurnalisme dari Universitas Harvard Nieman Fellowship (1997), Penghargaan Kebebasan Pers Internasional dari Committee to Protect Journalists (CPJ) (1998), International Press Freedom Award dari Committee to Protect Journalists (CPJ) (1998), dan penghargaan Editor of the Year dari World Press Review (1999).

Pilihan Editor: Profil Goenawan Mohamad

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus