Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seleb

Apa Maksud Jefri Nichol Unggah Potret Salim Kancil, Widji Thukul, Munir, dan Marsinah?

Aktor Jefri Nichol mengunggah foto tokoh korban pelanggaran HAM seperti Salim Kancil, Widji Thukul, Munir, dan Marsinah. Ini profil mereka.

28 Maret 2023 | 07.25 WIB

Jefri Nichol saat ditemui di Kemang Village XXI Jakarta, Senin 16 Desember 2019. TEMPO | Chitra Paramaesti
material-symbols:fullscreenPerbesar
Jefri Nichol saat ditemui di Kemang Village XXI Jakarta, Senin 16 Desember 2019. TEMPO | Chitra Paramaesti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini ada yang menarik dari postingan Jefri Nichol di Instagram. Selebritas beken itu membuat unggahan tentang beberapa korban pelanggaran HAM. Mereka adalah Salim Kancil, Widji Thukul, Munir, dan Marsinah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Menolak lupa, menolak tunduk, kami ada dan berlipat ganda,” tulis Jefri dalam keterangan unggahan, Ahad, 26 Maret 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ada tiga foto yang diunggah Jefri. Slide pertama berisi potret ruangan dengan poster tentang Salim Kancil. Poster itu bertuliskan “Di tanah kami nyawa tak semahal tambang, Salim Kancil dibunuh,” dalam huruf kapital. Slide kedua menampilkan foto tembok bergambar Widji Thukul, Munir dan Marsinah. Di atas gambar tertulis “Kami tak bisa dibungkam”.

Sementara pada slide ketiga, Jefri mengunggah potret Widji Thukul. Poster hitam putih itu bertuliskan penggalan puisi berjudul Peringatan ciptaan si penyair. “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!”

Lantas siapa keempat korban pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM ini? Berikut profil Salim Kancil, Widji Thukul, Munir, dan Marsinah.

1. Salim Kancil

Salim Kancil merupakan warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dia dianiaya hingga tewas pada 2015 karena sangat vokal menolak penambangan pasir di desanya. Menukil Majalah Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2015, Salim dibunuh oleh 22 orang pada 26 September. Dia diculik dan diseret ke balai desa, diikat, disetrum, diinjak, dipukul, hingga dicangkul di dekat pemakaman setelah kakinya lunglai tak kuat melarikan diri.

Para pembunuh Salim sudah ditangkap dan menjadi tersangka pembunuhan berencana. Mereka ternyata centeng Kepala Desa Selok Awar-Awar, Hariyono. Usut punya usut, bisnis haram penambangan pasir itu ternyata milik kepala desa. Hariyono merasa terusik karena bisnisnya yang beromzet Rp 2 miliar sebulan terganggu oleh penolakan Salim dan warga desanya sendiri.

Hariyono menambang pasir di kawasan konsesi PT Indo Mining Modern Sejahtera. Izin eksplorasinya dikeluarkan oleh Bupati Lumajang pada 2012. Tapi, sejak izin itu keluar, PT Indo Mining hanya memetakan kawasan yang mengandung bauksit tersebut sambil menunggu izin operasi terbit. Saat itulah Hariyono menambang pasir di pantai Samudra Hindia itu.

Padahal Salim dan penduduk desa yang miskin bekerja keras menyulap daerah payau itu menjadi sawah yang bisa ditanami palawija. Ia menggarap dua hektare di sana untuk menghidupi keluarga kecilnya. Tapi para penambang liar Hariyono merampas tanah itu dengan menggali dan mengeruk pasirnya. Sejak 2014, Salim aktif menyuarakan penolakan penambangan liar.

“Ada juga cerita kenapa dia disebut Salim Kancil, karena dia terkenal orang yang lincah, tidak kenal takut, dan ceplas-ceplos gaya bicaranya. Makanya ditambahi kancil di belakang namanya,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Ony Mahardika kepada Tempo, Kamis, 30 September 2015.

Selanjutnya: Jefri Nichol unggah pula potret Wiji Thukul. Munir dan Marsinah

2. Wiji Thukul

Wiji Thukul merupakan seorang penyair sekaligus aktivis era Orde Baru. Dia dinyatakan hilang sejak 1998 dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Widji Thukul dikenal sebagai aktivis yang lantang bersuara. Tapi dia dikambinghitamkan sebagai provokator negara. Terutama di masa 1996 hingga 1998, banyak aktivis yang ditangkap atau diculik.

Widji Thukul dianggap musuh pemerintah karena menempatkan kata-kata satir dalam karyanya. Salah satu puisinya yang dianggap menyinggung rezim Soeharto adalah Peringatan dalam buku Aku Ingin Jadi Peluru. Dalam puisi ini, ia sukses menemukan kata yang tepat untuk mewakili simbol perlawanan terhadap rezim otoritarianisme. Tepatnya pada bait terakhir yang terdapat kalimat pendek berbunyi; “Hanya ada satu kata, ‘Lawan!’”

Akibatnya, sejak 1996, Widji Thukul mulai hidup nomaden dari satu daerah ke daerah lainnya. Namun hal itu tak melunturkan semangatnya untuk menulis. Salah satu puisi pro-demokrasi yang dibuatnya saat masa genting ialah berjudul Para Jenderal Marah-Marah. Dia dinyatakan hilang sejak istrinya melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraSWidji Thukul. Pria kelahiran 1963 itu jika masih hidup kini berusia 59 tahun.

3. Munir

Merupakan seorang aktivis HAM yang tewas diracun. Dia meregang nyawa dalam penerbangan ke Belanda pada 2004. Semasa hidupnya, pemilik nama lengkap Munir Said Thalib ini getol dalam menangani dan mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya ketika masa Orde Baru.

Munir tercatat pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh anggota TNI di proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang dan keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan. Dia juga merupakan salah satu sosok pendiri KontraS. Munir ikut menangani kasus penghilangan paksa dan penculikan para aktivis HAM (1997-1998) dan mahasiswa korban penembakan Tragedi Semanggi (1998).

Munir meninggal pada 7 Desember 2004 setelah menenggak arsenik. Racun tersebut dicampur ke dalam minuman Munir. Pelakunya adalah Pollycarpus. Dia sempat divonis 20 tahun penjara. Namun hukumannya dikurangi menjadi 14 tahun. Pada November 2014, Polycarpus bebas bersyarat. Lalu pada 2018 lalu, pembunuh itu dinyatakan bebas murni.

4. Marsinah

Marsinah merupakan buruh yang dibunuh karena melakukan demonstrasi pada 1993. Dia sempat hilang beberapa hari pasca aksi bersama rekan buruhnya di PT Catur Putera Surya atau CPS. Perempuan itu ditemukan tewas pada 9 Mei 1993 di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur dengan luka tembak di tubuhnya. Hasil forensik menyatakan Marsinah meninggal sehari sebelumnya. Tak cuma itu, dia juga diperkosa.

Marsinah dikenal vokal menyuarakan hak buruh. Pada awal 1993, Gubernur KDh (Kepala Daerah) Tk. I Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992. Edaran itu berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya. Mereka diminta memberikan kenaikan gaji pokok sebesar 20 persen. Namun banyak perusahaan yang menolak, salah satunya PT CPS.

Kemudian karyawan PT CPS mengambil langkah untuk melakukan unjuk rasa pada 3-4 Mei 1993. Mereka meminta dinaikkan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per bulan. Marsinah tergabung dalam aksi tersebut. Dia bersama rekan-rekannya memberikan 12 tuntutan, salah satunya tunjangan cuti haid. Marsinah memegang kendali aksi setelah rekannya, Yudo Prakoso, dipanggil militer atas tuduhan penghasutan mogok kerja.

Setelah aksi tersebut, rekan-rekan Marsinah di PT CPS tidak menjumpainya. Mereka mengira Marsinah sedang pulang ke kampung halamannya di Nganjuk. Dugaan mereka keliru setelah mendapat kabar Marsinah ditemukan tewas pada 9 Mei 1993.

Itulah profil Salim Kancil, Widji Thukul, Munir, dan Marsinah. Korban pelanggaran HAM yang diunggah Jefri Nichol di Instagramnya.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus