Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jambi - Ada sebuah arca yang menarik perhatian ketika wisatawan berkunjung ke Kompleks Percandian Muarajambi. Berbeda dengan sebagian besar patung batu yang berwajah seram, arca yang satu ini justru tampak menggemaskan dan lucu. Namanya, Arca Dwarapala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Candi-candi di Pulau Jawa umumnya memiliki arca yang besar atau raksasa dengan wajah sangar, tetapi di sini arcanya unik dan lucu," kata pegiat jurnalistik dan pemerhati budaya Jambi, Ramond seraya menunjuk Arca Dwarapala di Ruang Pamer Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi atau populer disebut Museum Percandian Muarajambi, pada Sabtu, 7 Mei 2022. Museum ini berdekatan dengan Candi Gumpung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arca Dwarapala merupakan satu dari 1.507 benda kuno koleksi Ruang Pamer Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi. Sebagian besar koleksi berupa artefak keramik sebanyak 670 unit dan 254 bata lepas hasil pengupasan pemugaran candi-candi di Kompleks Percandian Muarajambi.
Berdasarkan teknik dan ragamnya, bata-bata ini dapat dikelompokkan sebagai bata bercap yang berupa cap kaki kecil manusia dan kaki binatang, bata berelief berbentuk mata kala, dan bata berukir sulur-sulur daun. Ada pula 107 koleksi batu, yang mencakup 38 arca, 57 batu bukan arca, dan 12 batu bukan artefak. Koleksi lainnya berupa 19 jenis logam yang ditemukan di Candi Gumpung, Candi Tinggi, dan Candi Kembar Batu.
Koleksi Ruang Pamer Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. TEMPO | Abdi Purmono
Arca Dwarapala biasa disebut patung penjaga bangunan suci atau candi. Arca penjaga ini umumnya berpasangan atau dua buah dan terletak di depan sisi kanan dan kiri gerbang atau gapura pintu masuk candi. Anatomi tubuh dan atribut yang melekat pada arca di Pulau Jawa maupun di pura-pura agama Hindu di Bali memancarkan aura garang, seram, dan menakutkan.
Arca dibuat besar, berbadan gemuk, mata melotot, gigi taring menonjol yang keluar dari mulut, dan memegang gada atau pentungan batu besar. Tampilannya kian sangar berkat ornamen berbentuk gelang ular, kalung tengkorak, dan bentuk sejenis lainnya.
Arca Dwarapala seperti itu ada di Candi Singosari, Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ada sepasang arca di sebelah barat Candi Singasari. Arca ini terbuat dari batu monolitik setinggi 3,7 meter. Posisi kedua arca laksana sedang menjaga kawasan candi.
Koleksi Ruang Pamer Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. TEMPO | Abdi Purmono
Sementara wujud arca Dwarapala di Museum Percandian Muarajambi sebaliknya. Arca Dwarapala itu ditemukan pada 2002 oleh Abdul Haviz alias Ahok, pemuda Desa Muarajambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi, yang kini menjabat Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia Provinsi Jambi.
Ahok bercerita, Arca Dwarapala Muarajambi ditemukan utuh dalam timbunan reruntuhan dengan posisi telungkup pada kedalaman satu meter di sisi kiri gerbang Candi Gedong Dua. Sebagai penanda lokasi temuan, Arca Dwarapala di dalam museum diposisikan tegak di depan sisi kiri foto besar gapura Candi Gedong Dua.
Menurut Ahok, arca Dwarapala temuannya berwujud pria kecil berdiri dengan kedua kaki sedikit tertekuk. Ekspresi wajahnya tenang dan ramah, dengan senyum terkulum, lebih menyerupai patung pria yang lucu dan menggemaskan. Arca mungil setinggi 1,5 meter yang terbuat dari batu andesit ini memegang gada dan perisai. Diamati dari dekat, sosok Arca Dwarapala Muarajambi mengenakan cawat. Bibirnya tebal. Tangan kirinya memegang gada yang ujungnya telah rumpang atau tanggal dan tangan kanan memegang perisai atau tameng.
Koleksi Ruang Pamer Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi di Kompleks Percandian Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. TEMPO | Abdi Purmono
Ada sedikit hiasan di bagian kepala sehingga tampak memakai penutup kepala, dengan bendolan kecil di belakangnya. Sedangkan di telinga kiri terdapat anting besar berbentuk teplok bunga dan bagian telinga kanan patah. "Para arkeolog masih menyelidiki apakah Arca Dwarapala Muarajambi memang sepasang karena umumnya arca Dwarapala ada dua. Kalau benar ada dua, pasangannya itu yang belum ditemukan," kata Ahok.
Selain Arca Dwarapala, koleksi lain yang menonjol ialah Arca Dewi Prajnaparamita. Patung yang terbuat dari batu andesit ini ditempatkan persis di sisi kiri pintu masuk museum. Kepalanya hilang dan kedua lengan terpotong, tetapi detail seni pahatan masih terlihat jelas.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi selaku pengelola museum memberi keterangan pada secarik kertas kecil persegi panjang yang ditaruh di bawah arca. Tertulis, Dewi Prajnaparamita menempati kedudukan tertinggi sebagai Dewi Kebijaksanaan dalam Buddhisme Tantra Mahayana, dengan sikap tangan dharmacakramudra atau memutar roda darma. Dewi Prajnaparamita duduk di atas lapik tertutup kain panjang dengan sikap kaki padmasana, kedua kaki disilangkan di atas paha (bersila) dengan telapak kaki kanan menghadap ke atas.
Gaya seni Arca Prajnaparamita serupa dengan Arca Prajnaparamita dari Candi Singasari, yang dikenal dengan nama Arca Ken Dedes dan kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Arca Prajnaparamita Muarajambi dan Prajnaparamita Singasari kemungkinan dibuat pada periode yang sama, yaitu sekitar abad ke-13 Masehi. Kesamaan gaya seni kedua arca tersebut mengingatkan hubungan antara Kerajaan Singasari dan Kerajaan Melayu Kuno, ketika pengiriman misi Pamalayu Raja Kartanegara pada 1275 Masehi.
Arca Prajnaparamita, Dewi Kebijaksanaan dalam ajaran Buddha di Museum Percandian Muarajambi, Sabtu, 7 Mei 2022. TEMPO | Abdi Purmono
Patung Prajnaparamita Muarajambi ditemukan di area Candi Gumpung, bersama dengan tempat kedudukan berupa bunga padma atau padmasana dari batu. Kedua artefak ditemukan saat bangunan induk Candi Gumpung dipugar oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala pada 1978.
Kawasan Percandian Muarajambi diperkirakan dibangun sepanjang abad 7-12 Masehi, dengan luas keseluruhan areanya 3.981 hektare. Peninggalan arkeologis yang paling sering dibicarakan dan diteliti di kawasan percandian ini adalah reruntuhan bangunan kuno yang diidentifikasi sebagai candi dan menapo-menapo, istilah masyarakat Desa Muarajambi terhadap gundukan tanah atau reruntuhan bata kuno sisa kegiatan manusia.
Dari sekian banyak reruntuhan bangunan kuno itu, sembilan bangunan candi telah diekskavasi dan dipugar, yaitu Candi Gumpung, Candi Tinggi Satu, Candi Tinggi Dua, Candi Kembarbatu, Candi Astano, Candi Gedong Satu, Candi Gedong Dua, Candi Kedaton, dan Candi Kotomahligai, serta Danau Telagarajo. "Itu belum termasuk data artefak lepas berupa relik bangunan, keramik, manik-manik, dan artefak properti religi lainnya. Jumlah artefak di Kompleks Percandian Muarajambi sangat banyak dan bahkan tidak terhitung," kata Ramond.
Jadi, Ramond dan Ahok sepakat, wisatawan yang berkunjung ke Kompleks Percandian Muarajambi belum afdal jika tak masuk ke museumnya atau Ruang Pamer Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.