Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Banjarnegara - Alisha Rachel Maahira, 8 tahun, tampak seperti anak-anak biasa. Ia bermain dengan teman sebaya di kampungnya, Jojogan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah. Lakunya lincah, senyumnya selalu mengembang. Ia juga malu-malu bila bertemu orang baru yang berdatangan ke Dieng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya enggak menyangka dulu dia anak gimbal. Rasanya tidak logis,” kata ayahnya, Habib, Sabtu lalu, 4 Agustus 2018. Habib adalah kawan karib dari rekan perjalanan saya ke Dieng, Fatkhurrohim. Kami menumpang tinggal di rumahnya selama mengikuti Dieng Culture Festival 2018, 3 hingga 5 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengisahkan sosok putrinya yang dianggap sebagai “anak istimewa” oleh para warga di permukiman penduduk di lereng negeri atas awan itu. Memang, anak gimbal bukan fenomena baru di Dieng. Keberadaannya telah eksis ratusan tahun lalu.
Kepercayaan ini muncul dan berkembang di kalangan masyarakat: bahwa anak gimbal adalah titisan Kyai Kolo Dete. Kyai Kolo Dete dianggap sesepuh. Ia dulunya punggawa pada masa Kerajaan Mataram Islam. Kyai Kolo Dete hidup pada abad ke-14.
Anak gimbal, menurut titah Kyai Kolo Dete, adalah tolok ukur kesejahteraan. Bila muncul anak gimbal, Dieng sejahtera. Maka itu, para anak berambut gembel ini dianggap luar biasa.
Seperti anak-anak gimbal lainnya, Rachel memiliki stori dan histori yang tak biasa. Bahkan, tidak dapat terterima oleh nalar tatkala gimbal itu muncul. Habib mengenang, Rachel mulai memiliki rambut gimbal pada usia 3 tahun. “Dulu saya enggak percaya dengan mitos gimbal, tapi ketika Rachel umur 3 tahun, saya dipaksa percaya,” katanya.
Sebelum rambutnya yang lurus berubah menggumpal, gadis kecil ini sakit panas hampir dua pekan. Ia tak kunjung sembuh sampai dibawa ke tiga dokter. Habib dan istrinya, Barokah, hampir putus asa.
Baca Juga:
Sesepuh di kampungnya menyarankan supaya Habib menggelar kenduri. Barang tentu anaknya adalah calon anak gimbal, kata si sesepuh waktu itu. Habib tak lantas percaya. Namun ia tak ragu mencoba. Suatu hari, ia pun menggelar selamatan.
Benar saja, pagi hari setelah kenduri berlangsung, rambut Rachel berubah gimbal. Namun, hanya satu ulir. Uliran gimbal lainnya muncul bertahap. Sebelum gimbal itu muncul hingga memenuhi seluruh rambut, Rachel selalu sakit panas. Selama menjadi gimbal, Habib menandai ada perubahan perilaku pada anaknya. Ia menjadi lebih proaktif. Suasana hatinya juga tak dapat ditebak. “Nakal, tapi punya kemampuan di atas rata-rata anak seusianya,” ucapnya.
Sewaktu-waktu, gimbal Rachel akan berdiri selama tiga hari. Ia menyamakannya bak rambut petruk. Ada banyak pikiran logis yang tertampik oleh kenyataan yang dihadapi kala itu. “Ketika rambutnya berdiri, berarti dia sedang kumat. Dia menjadi lebih nakal dan manja. Permintaannya juga harus dituruti,” tutur Habib, mengenang.
Adabnya, anak gimbal harus diruwat dan diritualkan bila rambutnya akan dipotong. Itu pun kalau si anak sudah memintanya. Kala itu, Rachel meminta potong saat usianya 6 tahun. Itu berarti, ia merasakan punya rambut gimbal selama 3 tahun.
Alisha Rachel Maahira, mantan anak gimbal yang kini rambutnya sudah lurus bersama fotonya dengan burung merak saat masih berambut gimbal. Foto ini adalah syarat sebelum ia memotong rambut. Tempo/Francisca Christy Rosana
Sebelum ruwatan potong rambut gimbal dilaksanakan, Rachel punya permintaan. Konon permintaan ini kudu dituruti, meski tak masuk akal. “Anak itu minta foto dengan burung merak yang sayapnya merentang,” kata Habib. Habib pun mendatangi tiga kebun binatang.
“Saya hampir putus asa. Tapi tiba-tiba, di barisan merak terakhir di kebun binatang ketiga, ada seekor burung yang menghampiri anak saya. Sayapnya langsung terbuka,” katanya. Momentum kala itu rasanya diliput banyak hal magis.
Rachel menggelar ritual potong rambut gimbal di rumahnya pada 2016 . Pemotongnya adalah sesepuh kampung itu, Hartati. Konon, Hartati adalah keturunan kejawen. Eyang kakung Hartati penyimpan wayang yang terbuat dari kulit manusia. Hartati juga merupakan pengasuh Rachel sejak ia bayi.
Setelah diruwat, Rachel berubah menjadi anak biasa. Rambutnya lurus. Perilakunya tak ganjil. Namun, kepercayaan bahwa ia adalah titisan Kyai Kolo Dete tak boleh luntur. Keberadaannya berhasil memahamkan orang-orang terdekatnya bahwa budaya, ritus, dan ritual itu masih sangat hidup dan butuh dihidupi.
“Ayo kak, kita main. Nanti aku cium,” kata Rachel. Senyumnya malu-malu. Pipinya merona karena tersapu hawa dingin 11 derajat Celcius yang menyelimuti Dieng.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA