Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Gianyar - Airbnb menawarkan berbagai pengalaman yang mengutamakan responsible traveler. Responsible travel merupakan aksi bertanggung jawab yang dilakukan oleh para wisatawan untuk menghormati tempat tujuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada program Airbnb exprerince, perusahaan yang menyediakan jasa layanan penginapan ini menghadirkan salah satu pemandu wisata. Saat berkunjung menjelajah pasar tradisional Yadnya, Blahbatuh, Gianyar, Agung Cahya dari partner menjelaskan seputar canang yang menjadi objek sakral di Pulau Dewata, Bali.
Responsible Traveler Harus Paham Canang
Agung menjelaskan bahwa canang sebagai wujud penghormatan, bukan untuk menyembah. "Kami tetap menyembah Tuhan, canang hanya menghormati spirit (roh) yang ada di sana. Kalau di sini ada temple juga, kami sembahyang di tempat tersebut," ujar Agung.
Di pasar juga ada temple yang kecil. Sebelum mulai bekerja, para warga sekitar menghanturkan canang di sana. Canang menjadi bentuk rasa syukur masyarakat Bali. Sebelum makan, mereka harus menghanturkan canang dulu ke Tuhan dan leluhur. Hal ini karena kepercayaan Hindu di Indonesia sangat menghormati para leluhur.
Bentuk Menghormati Dewa di Bali
Agus mengungkapkan bahwa canang yang dipersembahkan ke dewa yang menjaga arah mata angin. "Kami punya sembilan dewa, di arah mata angin kita punya sembilan dewa. Tetapi yang utama ada lima, utara, selatan, timur, barat dan di tengah. Di utara Dewa Wisnu, di selatan Dewa Brahma, di timur Dewa Iswara, di barat dewa Mahadewa dan di tengah Dewa Siwa," kata Agus.
Canang merupakan representasi rasa syukur ke dewa-dewa yang telah menjaga masyarakat selama ini. Makanya, canang ditempatkan di wilayah terkecil dulu, misalnya rumah supaya diberi perlindungan.
"Sebenarnya, kalau kita menghaturkan ini, kita mohon izin ke dewa yang menjaga, nanti dewa dan dewi di bawah beliau akan menyebarkan air suci mengelilingi tempat kita menghaturkan, supaya bahagia dan sehat selalu," ujar Agus.
Berbagai Isi Canang Bali
Tidak selalu ada pengaturan khusus, objek sakral ini pasti pada dasarnya berisikan canang, bentuk sasetan yang terbuat dari daun kelapa. Kalau alasnya bebas, ada yang pakai metal, tamas, ada juga besek atau tutup sokasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Selama bersih dan baru. Tidak harus ganti, misalkan orang nemu di jalan dipakai tidak boleh. Harus beli atau buat sendiri dan baru. Bekas sendiri tidak apa-apa selama tidak dibawa misalnya barang yang dibawa ke pura itu enggak boleh dimasukkan ke kamar dulu," tutur Agus.
Selain canang, ada bunga pacar air atau pacah, yang dihadirkan untuk menghormati kelima dewa yang menjaga arah mata angin. Seharusnya ada lima warna minimal. Agus mengungkapkan bahwa warna bunga intuk utara itu hitam, tapi susah cari warna hitam, diganti warna ungu. Selatan merah, timur putih, tetapi kalau enggak ketemu putih diganti merah muda, sementara barat pakai bunga marrygold.
Lalu, daun padan diiris tipis. Juga persembahan makanan yang ada di rumah, seperti nasi. "Namun karena tidak semua orang di pasar sama, kadang masak duluan lalu dibekelin, sebelum makan dihaturkan dulu. Makanya di rumah itu lebih ke makanan yang kita masak. Kemudian, ada kopi hitam. Sesuai kemampuan. Biasanya di cafe mereka haturkan espresso. Selain itu ada dupa, yang masih baru. Terkadang ada dupa yang sudah mati walau masih panjang. Meski begitu dupa tak boleh dipakai.
Larangan Menghina dan Menendang Canang
Canang yang dapat dikatakan sebagai sajian bagi para roh dan leluhur harus dijaga keberadaannya. Tidak boleh sengaja diinjak atau dihina, bila hal tersebut terjadi, biasanya leluhur akan memberikan teguran.
"Saya dulu misal enggak masak nasi, nanti didatangin dari mimpi atau barang di dapur bunyi tetapi enggak ada yang jatuh. Mudah menemukan spiritual things di Bali," kata Agus.
Bli yang menjadi pemandu wisata Airbnb experience tersebut menjelaskan bahwa tidak apa-apa kalau tidak sengaja menginjak canang, selama benda itu sudah dihaturkan. "Ada yang menghina canang, di tempat keramat. Anak kecil itu meludahi dan menensang persembahan itu. Tak lama, dia kesurupan," ujar Agus Cahya menutup penjelasannya soal budaya di Bali.
Pilihan Editor: Promosikan Bali, Pria Ini Bermotor dari Afrika ke Eropa Seorang Diri