Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tumpak Sewu menjadi kawasan wisata yang memberdayakan masyarakat setempat.
Kawasan wisata Tumpak Sewu mempekerjakan sekitar 300 warga lokal.
Wisata berbasis masyarakat yang diiniasi anak-anak muda.
SUATU hari pada 2010, Abdul Karim, yang telah beberapa tahun merantau ke Jakarta dan sejumlah kota di Indonesia, pulang ke kampung halamannya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Orang tuanya yang telah sepuh meminta dia pulang dan tinggal bersama mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kampungnya, Dol—begitu panggilan akrab Abdul Karim—kemudian membuka bengkel. Setiap hari, bengkelnya menjadi tempat kongko anak-anak muda di desanya yang pengangguran. Dol prihatin melihat mereka yang tak punya pekerjaan. Ia pun merasa terpanggil melakukan sesuatu untuk dapat memberdayakan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dol lantas mengajak anak-anak muda itu memikirkan sesuatu demi masa depan mereka. “Harapan saya waktu itu adalah membuat perekonomian di sini lebih baik, terutama agar anak-anak muda di sini punya pekerjaan,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata Tumpak Sewu tersebut.
Awalnya mereka tak begitu tertarik. “Akhirnya, setiap Sabtu dan Minggu, bengkel saya tutup sehingga anak-anak muda itu tidak nongkrong terus di sana dan bisa saya ajak melihat alam sekitar Desa Sidomulyo yang indah,” ujarnya.
Setiap kali mengajak mereka main ke pantai, gunung, dan air terjun di sekitar Sidomulyo, Dol menanyakan kepada mereka, "Bagaimana kalau kita menjadi pemilik wisata alam ini?" Lalu Dol bilang, "Ayo kita buka sendiri karena potensi alam desa kita sangat besar." Dol memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk meyakinkan dan membuat anak-anak muda ini paham.
Hingga pada 2014, Dol bersama para pemuda itu melakukan survei dan menemukan sepuluh air terjun di sekitar desanya. “Dari sepuluh air terjun itu, Tumpak Sewu yang paling menjanjikan. Air terjun ini bisa dijual secara lokal dan internasional. Alhamdulillah, warga menyambut baik dan mendukung,” ucapnya.
Pengunjung berendam di aliran air terjun Telaga Biru di kawasan Tumpak Sewu, Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 12 Oktober 2024. Dok.Handewi Pramesti
Pelan-pelan, mereka mulai membangun kawasan wisata Tumpak Sewu. Dol mengungkapkan, dana awal berasal dari kocek pribadinya untuk pembukaan akses jalan ke air terjun. “Dulunya hutan belantara, enggak ada akses sama sekali. Kami mulai dari nol. Sangat menantang,” katanya.
Semula mereka membuat tangga bambu sebagai pijakan. Namun, lama-lama, tangga bambu itu rapuh terkena hujan sehingga lapuk dan berbahaya. Sekarang, tutur Dol, tangganya telah diganti dengan besi baja dan beton.
“Akses menuju air terjun memang berat. Kemiringannya mencapai lebih dari 70 derajat. Yang jelas, kami bergotong royong mengeluarkan jutaan rupiah untuk membuka akses,” ujarnya.
Setahun berlalu, akhirnya akses menuju air terjun selesai mereka buat. Pada Maret 2015, kawasan wisata Tumpak Sewu pun diresmikan. Dengan misi membuka lapangan kerja bagi anak-anak muda setempat, Tumpak Sewu ternyata kemudian menjadi magnet wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Menurut Dol, hampir setiap tahun, turis yang datang bisa mencapai ribuan orang. Mereka datang dari berbagai kota di Indonesia, Asia, dan Eropa.
“Terakhir, paling banyak dari Cina. Kebetulan kami memang menjalin kerja sama promosi dengan Konsulat Cina di Surabaya,” kata Dol. Selain itu, tutur dia, banyak artis Cina dan Korea yang mengunggah Tumpak Sewu di kanal YouTube mereka sehingga menjadi viral.
Pengunjung menuruni anak tangga menuju air terjun Tumpak Sewu di Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 12 Oktober 2024. Dok.Handewi Pramesti
Kawasan wisata Tumpak Sewu buka dari pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. Untuk menikmati seluruh kawasan wisata alam itu, dari panorama, bagian bawah air terjun, Telaga Biru, hingga Gua Tetes, wisatawan lokal perlu merogoh kocek Rp 50 ribu. Sedangkan turis asing dikenai Rp 120 ribu. Itu belum termasuk biaya pemandu seharga Rp 200 ribu.
Dol mengungkapkan, saat ini kawasan wisata Tumpak Sewu bisa menghasilkan ratusan juta rupiah per bulan. “Dua setengah persen kami keluarkan untuk anak yatim piatu dan kaum duafa, 15 persen untuk empunya lahan, termasuk akses jalan dan parkiran, sepuluh persen untuk badan usaha milik desa, serta lainnya untuk pembangunan dan perawatan. Barulah sisanya untuk teman-teman yang bekerja di sini,” ujarnya. “Bukan gaji, melainkan sisa hasil usaha yang kami bagikan.”
Kawasan wWisata Tumpak Sewu kini mempekerjakan lebih-kurang 300 orang, termasuk petugas loket hingga pemandu wisata. Tidak hanya dari warga desa Sidomulyo, Tumpak Sewu juga mempekerjakan anak-anak desa tetangga. Selain itu, ekonomi warga terkena imbas dengan adanya kesempatan ekonomi baru, seperti membuka warung, jasa binatu, serta homestay.
“Alhamdulillah sudah ada peningkatan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir. Ibu-ibu rumah tangga yang dulunya menganggur, sekarang bisa membuka warung. Anak-anak muda juga bisa bekerja serta menabung untuk membeli sepeda motor dan mobil, bahkan membangun rumah,” ucap Dol.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo