Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Kementerian Pariwisata Sebar Dana Hibah, Pengusaha Ramai-Ramai Menolak, Kenapa?

Kementerian Pariwisata menggelontorkan dana hibah senilai Rp 3,3 triliun untuk membantu usaha wisata di masa pandemi Covid-19.

17 Desember 2020 | 16.28 WIB

Suasana di destinasi wisata Tanah Lot, Bali, saat libur panjang akhir Oktober 2020. TEMPO | Made Argawa
Perbesar
Suasana di destinasi wisata Tanah Lot, Bali, saat libur panjang akhir Oktober 2020. TEMPO | Made Argawa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Denpasar - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memberikan dana hibah senilai Rp 3,3 triliun untuk menjaga keberlagsungan usaha sektor pariwisata di masa pandemi Covid-19. Kementerian Pariwisata, melalui pemerintah daerah, telah mengantongi data pengusaha yang mendapatkan dana hibah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pada kenyataannya, tak semua pengusaha pariwisata gembira mendapatkan dana hibah itu. Pengelola Pondok Wisata Asri di Desa Buahan, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali, Komang Arka kecewa saat mengetahui jumlah dana hibah yang dia terima saat membaca pesan WhatsApp. "Dapat dana hibah cuma sekitar Rp 120 ribu. Saya kira sampai Rp 1 jutaan," kata Komang Arka kepada Tempo, Selasa 15 Desember 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Komang Arka, dana hibah itu terlampau kecil dibandingkan kerugian yang dia tanggung selama pandemi Covid-19 dan beban pajak sekitar Rp 100-200 ribu setiap bulan. Belum lagi kewajiban menyediakan meterai senilai Rp 6.000 sebanyak enam lembar dan ongkos mengurus administrasi. Semua itu tidak setimpal dengan dana hibah yang dia terima. "Akhirnya saya ikhlaskan saja," ujarnya.

Senada dengan Komang Arka, Suyatman, pengelola Vila Luxindo Bintang Laut di Banjar Bonian, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, Bali, juga bersikap sama. Dia enggan mengurus dana hibah pariwisata itu karena pajak yang dia setorkan juga tergolong kecil, yakni Rp 100 - 150 ribu per bulan. "Tidak usahlah saya urus," ujarnya.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama meninjau objek wisata Water Blow di Nusa Dua, Bali, Selasa, 16 Juni 2020. Dalam kunjungan tersebut, Wishnutama mengecek persiapan protokol kesehatan sejumlah objek wisata dan hotel menjelang penerapan normal baru dalam sektor pariwisata. Foto: Johannes P. Christo

Berbeda dengan Komang Arka dan Suyatman, pemilik jaringan Hotel Bakung Grup, Jro Mangku Made Wedja mengatakan dana hibah pariwisata yang dia terima sekitar Rp 79 juta untuk dua hotelnya, Bakung Sari Hotel dan Bakung Sari Beach. Rencananya dana itu akan digunakan untuk biaya operasional dan gaji karyawan.

Made Wedja mengatakan dua hotel yang dikelolanya memiliki 80 karyawan. Dia memperkirakan dana hibah tersebut mampu membuatnya bertahan kurang dari tiga bulan. "Saya bayar listrik sekitar Rp 70 juta sebulan, sementara tingkat okupansi tidak seberapa," kata dia.

Di Kota Denpasar, tercatat sekitar 500 pemilik usaha akomodasi pariwisata yang menolak dana hibah pariwisata ini. Alasan mereka bermacam-macam, mulai dari nominal yang kecil, usaha sudah gulung tikar, masalah perizinan, hingga instruksi manajemen untuk tidak menerimanya. "Gerai McDonald's misalkan, menolak karena perintah dari manajemen pusat," kata Kepala Dinas Pariwisata Kota Denpasar, MA Dezire Mulyani kepada Tempo, Minggu 13 Desember 2020.

Sebagian pemilik restoran dengan skala usaha kecil dan menengah juga menolak dana hibah karena nilai nominal yang kecil. Jika dihitung, Mulyani menjelaskan, masing-masing mendapatkan Rp 500 ribu. "Bagi yang menolak harus menyertakan surat pernyataan penolakan," kata dia.

Dari total dana hibah pariwisata senilai Rp 1,1 triliun untuk Provinsi Bali, Kota Denpasar mendapatkan alokasi Rp 52 miliar yang akan dibagikan kepada sekitar 1.400 wajib pajak. Penyaluran dana hibah pariwisata tahap pertama sebesar Rp 18 miliar sudah berlangsung. Dari jumlah itu, Rp 7 miliar tidak diambil. Besar kecilnya dana hibah pariwisata yang diterima oleh pengusaha, menurut dia, berdasarkan penghitungan pajak 2019 dibagi Pajak Hotel dan Restoran atau PHR yang diterima pemerintah daerah, dikali pagu yang diterima dari pemerintah pusat.

Selain di Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar, penolakan dana hibah pariwisata juga terjadi di Kabupaten Gianyar. Dari 50 pemilik akomodasi wisata di Gianyar yang menolak, sebagian besar adalah pengusaha rumah makan. "Ada yang mendapat dana hibah cuma Rp 10 ribu," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, Anak Agung Gede Putrawan. Dia menjelaskan, pada termin pertama telah menyalurkan dana hibah senilai Rp 44 miliar.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Putu Astawa menolak berkomentar ihwal dana hibah pariwisata karena diurus oleh pemerintah kabupaten/kota. "Mereka yang langsung mengurus ke pemerintah pusat," ujarnya.

Provinsi Bali mendapatkan stimulus senilai Rp 1,1 triliun dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dana ini kemudian dibagi ke masing-masing kabupaten/kota dengan nilai yang berbeda. Kabupaten Badung menjadi penerima terbesar, senilai Rp 948 miliar. Sedangkan penerima terkecil adalah Kabupaten Bangli, senilai Rp 991 juta.

Sebanyak 70 persen dari dana hibah itu untuk pelaku usaha pariwisata, hotel dan restoran yang terdampak pandemi Covid-19. Sisaya, 30 persen dikelola oleh pemerintah daerah untuk membiayai perawatan sarana pariwisata serta upaya pencegahan Covid-19. Di Kabupaten Tabanan misalkan, 30 persen dari dana hibah itu disalurkan untuk desa wisata.

Ketua Bali Hotel Association, I Made Ricky Darmika Putra mengapresiasi keluarnya dana hibah pariwisata tersebut. Untuk hotel, dia menyebutkan ada yang menerima mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 10 miliar. "Dana ini akan sangat membantu operasional pengusaha hotel," ujarnya.

Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Juru Bicara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Prabu Revolusi mengatakan dana hibah sudah banyak membantu industri pariwisata di Bali. "Dengan begitu, pengusaha bisa membayar karyawan, membayar utang, hingga membuat mesin pariwisata kembali berjalan," ujar seraya menyatakan jumlah penerima dana hibah pariwisata lebih banyak ketimbang yang menolak.

Mengenai besaran dana hibah yang diterima pengusaha hotel dan restoran, Prabu Revolusi menjelaskan, mekanisme penghitungannya disesuaikan dengan pajak hotel dan restoran yang mereka bayar pada 2019. "Semangat dari dana hibah ini adalah membantu pariwisata di tengah pandemi Covod-19," ucapnya.

Kasus Covid-19 Vs Usaha Pariwisata

Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali menunjukkan jumlah kasus Covid-19 mencapai 15.880 kasus positif dan 474 orang meninggal dunia. Sebagian besar masyarakat yang terpapar karena transmisi lokal. Jumlah kasus positif yang terus bertambah membuat industri pariwisata Bali terpukul.

Kepala Dinas Pariwisata Bali, Putu Astawa mengatakan Bali kehilangan pendapatan hingga nyaris Rp 9,7 triliun per bulan. Nilai ini berasal dari jumlah kunjungan dan pengeluaran alias jajan wisatawan. Kerugian akibat amblasnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara hingga 99 persen.

Pemilik jaringan Hotel Bakung Grup, Jro Mangku Made Wedja mengatakan pengaruh Covid-19 lebih berat dari Bom. "Waktu peristiwa Bom Bali saya masih bisa menjual kamar. Sekarang sama sekali tidak bisa," ujarnya. Para pengusaha sempat berpikir pada akhir 2020 pariwisata Bali akan sedikit bergairah, terutama karena libur Natal dan Tahun Baru 2021.

Kemudian pemerintah mengeluarkan kewajiban tes swab antigen sebelum berkunjung ke Bali mulai Jumat, 18 Desember 2020 hingga Senin, 4 Januari 2021. Kebijakan ini mengakibatkan wisatawan membatalkan pesanan kamar hotel. "Promosi wisata Bali di masa pandemi terkesan sia-sia," kata General Manager Hotel Sovereing Bali, Made Ramia Adyana. Dia menganggap tes swab antigen lebih cocok untuk wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Bali. Sementara wisatawan domestik cukup dengan tes cepat atau rapid test.

Pengamat Pariwisata dari Politeknik Pariwisata Bali, Wayan Mertha menilai dana stimulus dari pemerintah pusat sangat baik dan penting bagi semua pelaku usaha, termasuk pengusaha kecil. Mereka juga terdampak pandemi Covid-19. Hanya saja, Wayan Mertha menilai eksekusi di tingkat bawah belum maksimal. "Padahal usaha kecil dan menengah juga penggerak ekonomi," ujarnya.

Ia menyebutkan, usaha skala kecil dan menengah yang menolak menerima dana hibah pariwisata karena nilainya kecil harusnya mendapatkan pendampingan mengurus administrasi. Syarat seperti terdaftar di data base pajak daerah /NPWPD, memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), beroperasi sampai Agustus 2020 dan membayar pajak 2019, dalam penilaiannya mungkin masih terlalu berat bagi sebagian pengusaha, terutama UMKM.

*Program beasiswa liputan AJI Indonesia

Made Argawa

Koresponden Tempo di Bali

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus