Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Agrigento, di Sisilia, Italia, mengalami krisis air. Masalah ini dapat diperburuk dengan meningkatnya jumlah wistawan yang mengunjungi kota tersebut. Padahal Agrigento sedang bersiap menjadi Ibu Kota Kebudayaan Italia pada tahun 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak hanya sejarahnya, Agrigento juga terkenal dengan keindahan alam, arsitektur kuno dan pemandangan pantai yang menajjubkan. Salah satu daya tariknya adalah Valley of the Temples. Meski berhasil menarik jutaan wisatawan dan mendorong pereokonmian, namun berdampak buruk pada sumber daya terutama air dan infrastruktur wilayah tersebut.
Krisis air di Agrigento
Agrigento terletak di puncak bukit di pantai barat daya Sisilia, yang berarti penduduk setempat sudah tidak asing lagi dengan kekurangan air. Cadangan air biasanya disimpan di tangki, dan pengiriman air dibawa dengan kapal tanker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, perubahan iklim dan kekeringan yang berkepanjangan telah memperburuk krisis tersebut. Selain itu, pasokan air di Agrigento diambil dari sistem saluran air bawah tanah, yang dilaporkan sudah tua dan bocor. Meskipun pihak berwenang telah membahas peningkatan jaringan air sejak tahun 2011, belum ada upaya yang dilakukan.
Seperti dilansir dari Mirror, pada Mei 2024, pemerintah Italia juga menyiapkan €20 juta (Rp 338 miliar) untuk membeli kapal tanker air dan menggali sumur baru di Sisilia. Sekitar 17 persen dari pekerjaan yang direncanakan telah selesai pada bulan Juli.
Mengancam situs sejarah budaya
Sayangnya krisis air juga menimbulkan ancaman terhadap situs sejarah dan budaya Agrigento. Valley of the Temples (Lembah Kuil) yang merupakan lanskap pertanian berisiko terkena dampak negatif jika kekeringan dan darurat air terus berlanjut.
Kekurangan air juga memaksa beberapa usaha tutup, dan banyak rumah tangga terpaksa menyimpan air dalam wadah untuk digunakan mencuci dan memasak. Sejumlah hotel kecil dan penginapan juga kesulitan menyediakan air secara konsisten untuk para tamunya. Di musim panas, kondisinya lebih buruk karena beberapa akomodasi membatasi jumlah pemesanan karena mereka tidak dapat menjamin ketersediaan air.
Pemerintah daerah telah menerapkan sejumlah strategi jangka pendek dan jangka panjang untuk mengurangi tekanan tersebut, termasuk mengaktifkan kembali sumur-sumur bekas, memelihara bendungan, dan membangun pabrik desalinasi baru. Pihak berwenang juga berencana mengebor cadangan air bawah tanah yang luas berdasarkan penelitian terbaru.
Meskipun Agrigento tetap menjadi permata budaya dan sejarah, krisis air dan pariwisata yang berlebihan merupakan pengingat masa depan perjalanan terletak pada keberlanjutan dan pelestarian. Saat ini, wisatawan mungkin perlu berpikir dua kali mengenai dampak jangka panjang dari pariwisata massal, terutama di wilayah yang sumber dayanya sudah terbatas.
MIRROR | TRAVEL AND TOUR WORLD