TERJADI menjelang Perang Bharatayudha. Ceritanya, Prabu Kresna
terpaksa mengubah tubuh Petruk -- untuk sementara -- menjadi
ular besar, guna menyelamatkannya dari kerubutan orang Kurawa.
Dan benar saja. Para Kurawa yang berangasan ternyata seperti
wanita takut pada ular, paling tidak begitulah menurut Ki
Dalang. Dan Petruk selamat.
Itulah akhir lakon carangan (gubahan baru) dalang muda Sudjati,
Petruk Jadi Duta, dipergelarkan di Teater Arena TIM Jumat pekan
lalu.
Seperti juga gubahan baru yang lain, kisah Petruk Jadi Duta
(PJD meski ceritanya keluar dari rel pewayangan masih tetap
berkait dengan tradisi wayang purwa. Tokoh-tokoh wayang di situ
tetap memiliki karakter seperti biasa, dan hubungan antar
tokohnya pun tetap. Bahkan cara pengaturan adegan.
Yang istimewa pada PJD: Sudjati mencipta cerita ini untuk lebih
mendapat kemungkinan menyuguhkan humor. Itulah mengapa ia
memilih Petruk dan bukannya Gareng, misalnya. "Petruk itu bebas,
jujur, tidak informal," tutur Djati. "Dari segi bahasa, dengan
Petruk dalang bisa bebas." Ya, karena sebagian besar adegan
dihadiri tokoh utama yang bergaya merdeka itu, dengan Petruk
dalang tak akan begitu susah. Tidak seperti Gareng atau Bagong
misalnya, yang mengharuskan dalang mengatur mulut untuk mencapai
stilisasi suara -- dan salah-salah bisa keseleo.
Sudjati, 35 tahun dan kelahiran Blitar, memang datang dari
keluarga dalang. "Bapak saya bukan dalang. Tapi paman dan pakde
dan embah saya dalang semua." Dan ia mengaku sejak SMP telah
ditanggap orang.
Entah karena itu ia, meski anggota grup lawak Kwartet S dari
Malang, dalam menyuguhkan pergelaran yang disebut 'Humor dalan
Pewayangan' ini terasa kurang bebas. Maklum dalang betapa pun
memang orang yang teratur -- apalagi dibanding badut.
Misalnya dalan adegan perang kembang antara raksasa Cakil dan
seorang kesatria. Andai Djati menggeser kesatria itu dan
menggantinya dengan Petruk, tentu memberi peluang besar hadirnya
humor -- dan dijamin tak akan membuat marah para dalang karena
masih sesusai dengan cerita.
Juga ketika Petruk masuk ke Astina peluang ini tak
dimanfaatkan. Padahal ketika Petruk menerima tugas menjadi duta
dari Pandawa dialog berhasil menohok saraf tawa kita. Soalnya
Djati begitu tergesa menutup dialog di Astina, untuk segera
disusul perang antara Petruk dan Kurawa. Diplomasi seorang
Petruk tak begitu dimunculkan.
Tapi memang perang Petruk-Kurawa merupakan adegan puncak humor
malam itu. Terutama ketika Petruk dengan akal bulusnya
bertanding dengan Dursasana. Juga ketika adik Petruk, Bagong,
membantu perang dengan cara menjambret senjata musuh satu per
satu.
Sudjati memang sering bikin lakon carangan. Dulu, di kala masih
SMP di awal 1960, ia mencipta lakon Telaga Wisesa -- diilhami
perjuangan merebut Irian Barat. Sedangkan lakon PJD ini, kecuali
diilhami besarnya perhatian terhadap humor sekarang berkat
kegiatan Lembaga Humor Indonesia, juga untuk menarik perhatian
generasi muda. "Dengan memasukkan lebih banyak humor dan waktu
pertunjukan yang dipadatkan menjadi 4 jam, saya harapkan
generasi muda lebih tertarik pada wayang," tutur Djati, yang
sehari-hari pegawai Kandep Penerangan Kotamadya Malang ini.
"Dalang muda ini kreatif, meski permainannya agak kasar,"
komentar D. Djajakusuma, penulis cerita wayang di majalah
Zanan. Tapi seperti juga film silat, perang yang kasar mungkin
lebih digemari penonton -- dan lebih gampang memancing tawa.
Arwah Setiawan, Ketua LHI yang menyelenarakan pergelaran ini,
melihatnya sebagai eksperimen awal yang masih bisa dikembangkan.
"Yang jelas potensi Djati ada, dan ternyata humor dalam
pewayangan itu mungkin," katanya.
Djati sendiri mengaku, ini pertama kalinya mendalang dengan
humor sebagai bagian utama cerita. Dia pribadi mempunyai favorit
lakon, ialah Wirata PanDa (bagian dari Mahabharata, ketika
penyamaran Pandawa di negeri Wirata diketahui intel Astina).
"Saya telah mempergelarkan lakon itu sekitar 13 kali, dan selalu
saja menangis terharu pada adegan-adegan tertentu," ceritanya.
Kini, kecuali bisa menangis, tentu dia bisa juga tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini