Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Memperkenalkan: wayang lucu

Lembaga humor indonesia untuk pertama kalinya mementaskan wayang lucu di tim, dengan lakon: petruk jadi duta dan didalangi oleh sudjati.

21 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERJADI menjelang Perang Bharatayudha. Ceritanya, Prabu Kresna terpaksa mengubah tubuh Petruk -- untuk sementara -- menjadi ular besar, guna menyelamatkannya dari kerubutan orang Kurawa. Dan benar saja. Para Kurawa yang berangasan ternyata seperti wanita takut pada ular, paling tidak begitulah menurut Ki Dalang. Dan Petruk selamat. Itulah akhir lakon carangan (gubahan baru) dalang muda Sudjati, Petruk Jadi Duta, dipergelarkan di Teater Arena TIM Jumat pekan lalu. Seperti juga gubahan baru yang lain, kisah Petruk Jadi Duta (PJD meski ceritanya keluar dari rel pewayangan masih tetap berkait dengan tradisi wayang purwa. Tokoh-tokoh wayang di situ tetap memiliki karakter seperti biasa, dan hubungan antar tokohnya pun tetap. Bahkan cara pengaturan adegan. Yang istimewa pada PJD: Sudjati mencipta cerita ini untuk lebih mendapat kemungkinan menyuguhkan humor. Itulah mengapa ia memilih Petruk dan bukannya Gareng, misalnya. "Petruk itu bebas, jujur, tidak informal," tutur Djati. "Dari segi bahasa, dengan Petruk dalang bisa bebas." Ya, karena sebagian besar adegan dihadiri tokoh utama yang bergaya merdeka itu, dengan Petruk dalang tak akan begitu susah. Tidak seperti Gareng atau Bagong misalnya, yang mengharuskan dalang mengatur mulut untuk mencapai stilisasi suara -- dan salah-salah bisa keseleo. Sudjati, 35 tahun dan kelahiran Blitar, memang datang dari keluarga dalang. "Bapak saya bukan dalang. Tapi paman dan pakde dan embah saya dalang semua." Dan ia mengaku sejak SMP telah ditanggap orang. Entah karena itu ia, meski anggota grup lawak Kwartet S dari Malang, dalam menyuguhkan pergelaran yang disebut 'Humor dalan Pewayangan' ini terasa kurang bebas. Maklum dalang betapa pun memang orang yang teratur -- apalagi dibanding badut. Misalnya dalan adegan perang kembang antara raksasa Cakil dan seorang kesatria. Andai Djati menggeser kesatria itu dan menggantinya dengan Petruk, tentu memberi peluang besar hadirnya humor -- dan dijamin tak akan membuat marah para dalang karena masih sesusai dengan cerita. Juga ketika Petruk masuk ke Astina peluang ini tak dimanfaatkan. Padahal ketika Petruk menerima tugas menjadi duta dari Pandawa dialog berhasil menohok saraf tawa kita. Soalnya Djati begitu tergesa menutup dialog di Astina, untuk segera disusul perang antara Petruk dan Kurawa. Diplomasi seorang Petruk tak begitu dimunculkan. Tapi memang perang Petruk-Kurawa merupakan adegan puncak humor malam itu. Terutama ketika Petruk dengan akal bulusnya bertanding dengan Dursasana. Juga ketika adik Petruk, Bagong, membantu perang dengan cara menjambret senjata musuh satu per satu. Sudjati memang sering bikin lakon carangan. Dulu, di kala masih SMP di awal 1960, ia mencipta lakon Telaga Wisesa -- diilhami perjuangan merebut Irian Barat. Sedangkan lakon PJD ini, kecuali diilhami besarnya perhatian terhadap humor sekarang berkat kegiatan Lembaga Humor Indonesia, juga untuk menarik perhatian generasi muda. "Dengan memasukkan lebih banyak humor dan waktu pertunjukan yang dipadatkan menjadi 4 jam, saya harapkan generasi muda lebih tertarik pada wayang," tutur Djati, yang sehari-hari pegawai Kandep Penerangan Kotamadya Malang ini. "Dalang muda ini kreatif, meski permainannya agak kasar," komentar D. Djajakusuma, penulis cerita wayang di majalah Zanan. Tapi seperti juga film silat, perang yang kasar mungkin lebih digemari penonton -- dan lebih gampang memancing tawa. Arwah Setiawan, Ketua LHI yang menyelenarakan pergelaran ini, melihatnya sebagai eksperimen awal yang masih bisa dikembangkan. "Yang jelas potensi Djati ada, dan ternyata humor dalam pewayangan itu mungkin," katanya. Djati sendiri mengaku, ini pertama kalinya mendalang dengan humor sebagai bagian utama cerita. Dia pribadi mempunyai favorit lakon, ialah Wirata PanDa (bagian dari Mahabharata, ketika penyamaran Pandawa di negeri Wirata diketahui intel Astina). "Saya telah mempergelarkan lakon itu sekitar 13 kali, dan selalu saja menangis terharu pada adegan-adegan tertentu," ceritanya. Kini, kecuali bisa menangis, tentu dia bisa juga tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus