Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Mencari "Si Manis" Hingga ke Tengah Rimba

Di Musi Banyuasin komoditas madu hutan menjadi andalan warga. Para pemetik si manis menggunakan teknik suntik, agar sarang lebah lestari.

15 Desember 2019 | 13.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Produk madu sialang dipetik dengan metode suntik, yang membuat sarang lebah cepat pulih. TEMPO/Parliza Hendrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Palembang - Hampir belasan tahun, Nurdin, 27 tahun, menekuni profesi sebagai pemanjat pohon untuk mendapatkan madu sialang. Liku-liku “memetik” si manis itu membuat saya penasaran. Dari rumahnya di Lubuk Bintialo, saya pun tertarik mengajak Nurdin menelusuri tapak demi tapak perjalanannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Madu di Musi Banyuasin diperoleh di kawasan hutan lindung Meranti Sungai Merah, Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan. Untuk mencapai desa Lubuk Bintialo, Kecamatan Batanghari Leko, dibutuhkan waktu sekitar 4 jam perjalanan darat dari Sekayu, ibu kota kabupaten Muba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan kadang beraspal dan tidak sedikit juga masih berupa tanah merah. Sesampai di desa yang masuk ke dalam area lanskap kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) Meranti, matahari mulai tampak makin tinggi.

Saya ditemani Wijaya Asmara, Comunity Bussines Development Specialist, Kelola Sendang ZSL Indonesia mengikuti ajakan Nurdin. Ia mengajak kami mendatangi beberapa batang pohon berukuran besar, yang ada di dalam hutan yang berada persis di Daerah Aliran Sungai Batanghari Leko.

Madu yang terdapat di pohon sialang. TEMPO/Parliza Hendrawan

Dari jalan raya, Nurdin mengarahkan jari telunjuknya pada beberapa pohon rengas yang berdiameter hingga lebih dari 1 meter dengan ketinggian di atas 20 meter. Di salah satu pohon itu tampak bergelayutan belasan sarang madu sialang. Turun dari kendaraan, kami berjalan kaki sekitar 10 menit untuk tiba persis di bawah pohon.

Dengan cekatan, ia menaiki pohon tersebut dan menunjukkan cara memanen madu secara berkelanjutan. Langkah pertama dia menancapkan paku pada batang pohon sebagai pijakan. Selanjutnya dengan menggunakan pakaian hingga tiga lapis, ia memanjat sampai ke paling ujung batang. "Panen kami pakai metode suntik yang artinya tidak semua sarang kami habisi," katanya, Sabtu, 14 Desember 2019.

Usai melihat Nurdin mempraktekkan cara mengambil madu dengan metode suntik. Caranya unik, sehingga tak merusak sarang madu. Bahkan, madu dengan cepat membangun sarang di pohon yang sama. Lalu, kami berteduh di sebuah pondok kayu. Wijaya Asmara, memaparkan metode suntik yang dimaksud Nurdin.

Menurut Wijaya, pemanen harus menyisahkan sebagian kecil sarang sebagai rumah bagi ratu lebah dan anak-anaknya. Pemanen juga diingatkan untuk menyisahkan sekitar 5 cm sarang yang masih berisi madu sebagai pakan bagi anakan untuk tetap berkembang biak. "Ini terbukti pada 40 hari berikutnya akan ada panen lagi jadi siklusnya gak terputus," kata Wijaya.

Nur Rohim, ketua Gapoktan Meranti Wana Makmur menjelaskan usai diturunkan dari pohon, madu terlebih dahulu dipisahkan dari sarang dan kotoran lainnya dengan cara ditiriskan sebanyak tiga kali. Selanjutnya dilakukan penurunan kadar air untuk menghasilkan madu murni yang sehat, hegienis.

Berikutnya madu dikemas dalam botol biasa tanpa merek dan sebagian lainnya dijual dengan menggunakan nama dagang Wana dengan berbagai varian harga dan isi, “Sebulan kami bisa produksi hingga 2 ton madu murni," katanya.

Nurdin memanjat pohon sialang, salah satu jenis pohon raksasa di pedalaman Sumatera. TEMPO/Parliza Hendrawan

Sementara itu Project Director Kelola Sendang, ZSL Indonesia, Damayanti Buchori menambahkan pihaknya juga mendampingi warga dalam penirisan, pengemasan hingga pemasaran madu. Melalui Kelola Sendang (Kemitraan pengelolaan Lanskap Sembilang-Dangku). Desa Lubuk Bintialo termasuk dalam area model 1 Kelola Sendang, yang terdiri atas lanskap KPHP Meranti hingga batas Suaka Margasatwa Dangku di Paling Timur.

Sejak dahulu hutan Meranti dikenal sebagai salah satu kawasan ekosistem hutan dengan kekayaan flora dan fauna tertinggi di dunia. Hingga kini lazim bagi warga di sana bertemu dengan harimau, gajah, tapir, beruang madu, beruk, burung enggang.

PARLIZA HENDRAWAN

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus