Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gilang Rahadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keertt...keerrt...keerrtt.... Suara rantai beradu dengan gigi sepeda bersahut-sahutan. Iramanya monoton mengikuti kayuhan kaki di pedal. Sudah 30 menit roda ini bergerak perlahan meniti tanjakan di Jalan Raya Sowol-ro, jalanan panjang yang terhubung dengan Sejong-daero, tempat kami memulai perjalanan. Ini merupakan kawasan pusat Kota Seoul tempat maskot I-Seoul-U berada. Pagi itu, meski udara masih dingin, tubuh kami sudah memanas disulut tanjakan panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di sebuah percabangan jalan yang merupakan gerbang menuju Gunung Namsan. Puncak Namsan adalah titik tertinggi Kota Seoul, yang juga disebut titik 0. Di pucuknya bertengger N Tower, yang dibangun pada 1969. Menara ini awalnya difungsikan sebagai pemancar radio, tapi kini lebih kondang sebagai tempat wisata dengan restoran dan menara pandangnya. Dari ketinggian 480 meter, turis bisa memantau Kota Seoul hampir 360 derajat.
Tepat di sisi tebing, menjulur panjang tembok kota kuno, merayap hingga ke atas bukit. Tembok Kota Seoul seperti bentuk mini dari Tembok Besar Cina. Ya, inilah benteng tua yang disebut Hanyangdoseong. Sudah 600 tahun benteng sepanjang 18,6 kilometer itu setia berdiri melindungi Kota Seoul. Benteng itu dibangun dalam tiga periode oleh tiga raja, yaitu Taejo, Sejong, dan Sukjong.
Sebenarnya, menarik untuk menelusuri keberadaan Tembok Seoul di Namsan. Namun saya tak ingin buru-buru mengunjunginya. Toh, esok pun tembok itu masih berdiri di situ. Maka, sepeda tak diarahkan ke sana. Kami berhenti di gerbang Namsan untuk berfoto di depan Tembok Seoul. Satu hal lagi yang terpenting adalah mengambil napas setelah sepanjang 4 kilometer dada megap-megap dipaksa mendaki ketinggian.
Saya datang ke Seoul bersama tiga teman pesepeda dari Jakarta: Heru, Yeye, dan Dewi. Kami membawa sepeda lipat yang di-pack ke dalam koper. Kami ingin menikmati Kota Seoul dengan bersepeda. Lebih spesifik lagi, menjajal jalur sepeda Han River. Trek sepeda ini lagi hit di kalangan goweser karena punya lintasan yang mulus serta pemandangan menawan di sepanjang jalan. Tak cuma itu, jalur sepeda Han River kini menjadi incaran para pesepeda jarak jauh dari seluruh dunia karena tersambung dengan jalur sepeda Trans Korea Seoul-Busan sepanjang 600 kilometer.
Sepeda sudah digenjot lagi di Jalan Sowol-ro. Ternyata tanjakan sudah habis dan jalanan kini beralih menjadi datar, sungguh melegakan. Aspal mulus meliuk mengikuti punggungan bukit. Semilir angin musim semi terasa menyegarkan. Sepeda sengaja digowes perlahan agar mata bisa anteng menatap pemandangan kota yang terhampar dari ketinggian.
Akhirnya, kami berhenti di pelataran kecil, sebuah teras yang menempel pada tebing. Dari titik ini, tampak jelas kontur kota yang dikelilingi perbukitan. Pantas saja jalanan yang kami lalui rolling naik-turun. Wilayah kota lama Seoul mengingatkan saya pada kawasan Bandung Utara, di mana jalan-jalan di tengah kota banyak "diwarnai" tanjakan.
Seoul merupakan kota yang menjanjikan keunikan. Secara geografis, Seoul terdiri atas dataran tinggi dan dataran rendah. Garis pemisahnya adalah Sungai Hangang, atau biasa disebut Han River, yang membelah kota menjadi dua bagian. Wilayah utara adalah daerah perbukitan tempat Kota Seoul "asli" alias kota lama berada. Istana Gyeongbokgung, benteng, pasar tradisional Namdaemun, kampung kuno Hanok Bukchon, serta pusat pemerintahan Gwanghwamun, semua ngumpul di sini. Seoul adalah tipikal kota kuno yang mengandalkan bentang alam sebagai pertahanan.
Sementara itu, sisi selatan sungai didominasi kota baru yang dijejali gedung modern serta permukiman vertikal. Dua distrik bisnis baru pun hadir di kawasan selatan, yaitu Yeouido sebagai pusat keuangan serta Gangnam sebagai sentra perdagangan dan fashion. Nama Gangnam sempat mendunia berkat aksi musikal Gangnam Style dari artis Korea, Psy.
Melanjutkan perjalanan, kini sepeda dikayuh lebih cepat karena udara mulai terasa panas. Jalanan terus melandai, pertanda mulai menuruni bukit. Menurut panduan peta, kami harus belok ke Jalan Sowol-ro 20 agar memotong jarak. Selain itu, kami memang ingin menghindari jalan utama yang terlalu berisik. Tak lama kemudian, persimpangan itu terlihat. Tanpa berpikir lagi, kami pun belok memasuki Jalan Sinheung-ro.
Jauh dari dugaan, ternyata jalanannya sempit dan menurun curam. Walhasil, sepeda dipaksa bermain gravitasi. Jemari pun harus pandai-pandai memainkan tuas rem agar ban mungil ini tak ngesot di aspal.
Ganjarannya adalah, dalam waktu singkat, kami sudah berada di Noksapyeong-daero, jalan besar menuju Han River. Tanpa dikayuh, sepeda sudah meluncur dengan sendirinya karena kontur jalan ke arah sungai terus menukik. Akhirnya, kami masuk ke jalur sepeda Han River, tepat di kolong Jembatan Banpo.
Begitu ban sepeda menjejak di lintasan Han River, adrenalin pun serasa meledak. Getarannya menjalar ke kaki dan menghasilkan daya dorong pada putaran roda. Kami begitu bersemangat. "Wow, sedap bener ini jalur!" ujar Heru setengah berteriak. Laiknya bocah yang baru bisa bersepeda, kami berempat seakan-akan saling berkejaran memacu kecepatan.
Siang itu, jalur sepeda cukup ramai karena akhir pekan. Entah berapa puluh pesepeda, baik yang rombongan ala peleton, kelompok kecil, maupun sendiri-sendiri, yang berpapasan atau menyusul kami. Kebanyakan dari mereka memakai road bike dan sepeda gunung.
Jika ingin menggeber sepeda, inilah tempatnya. Semua syarat untuk ngebut sudah terpenuhi: permukaan jalan halus, lebar badan jalan kira-kira 4 sampai 8 meter, dan kontur jalan rata, membuat putaran roda lebih konstan.
Satu lagi, di sini goweser tidak banyak menemukan persimpangan, treknya lurus habis. Jadi, tak salah jika banyak pesepeda menjuluki jalur Han River sebagai jalan tol sepeda. Sedikit hambatan justru datang dari angin. Kadang, jika embusan kencang datang dari arah berlawanan, sangat terasa menahan laju sepeda.
Di beberapa sudut terdapat taman, juga plaza yang menghadap sungai, yang diramaikan oleh para pelari yang tengah stretching dan senam. Ada juga rest area yang dilengkapi alat gimnasium luar ruang. Tampak satu-dua pesepeda memarkir tunggangannya untuk memainkan alat tersebut. Kemewahan lain dari jalur Han River adalah adanya toilet yang tersedia di sepanjang jalur.
Tak terasa kami sudah mengayuh sejauh sekitar 10 kilometer di sepanjang Sungai Han. Saatnya keluar dari jalur karena tujuan berikutnya adalah Lotte Tower, yang letaknya 1 kilometer di selatan sungai. Sepeda diarahkan ke Jamsil Railway Bridge. Kami sengaja memilih jembatan ini karena tersedia trek khusus sepeda di samping rel kereta listrik yang menghubungkan dua distrik, Gwangjin dan Songpa.
Melintasi Jamsil Railway Bridge ternyata punya sensasi tersendiri karena kita bisa melihat Han River dari ketinggian. Asyiknya lagi, di ujung jalan disediakan lift khusus pesepeda untuk naik-turun jembatan.
Tak sulit untuk mencapai Lotte Tower karena wujudnya yang menjulang bisa menjadi patokan arah. Gedung setinggi 555 meter ini didapuk sebagai bangunan terjangkung di Korea Selatan sekaligus kelima di dunia. Selepas melewati Stasiun MRT Jamsil, kami mengayuh begitu saja tanpa melihat peta. Sedikit mengandalkan feeling masuk ke jalan kecil, bersambung ke koridor di antara gedung. Eh, tahu-tahu sudah berada di plaza tepat di depan Lotte Tower.
Seperti biasa, setiap sampai tujuan, hal pertama yang dilakukan adalah berfoto. Lucunya, kami berempat langsung asyik mengambil foto sepeda sendiri-sendiri dengan latar gedung Lotte. Tak ada sesi foto bareng-bareng untuk menunjukkan kebersamaan. Semua larut dengan kreasinya masing-masing.
Lotte Tower kini menjadi destinasi favorit baru di Kota Seoul. Sejak dibuka untuk publik pada April 2017, gedung berlantai 123 ini setiap hari mendapat kunjungan 126 ribu orang, atau 7,3 juta turis per tahun. Ini melebihi jumlah pengunjung Menara Eiffel di Paris, yang "cuma" 7 juta orang per tahun. Gedung ini juga tak ujug-ujug berdiri. Lebih dari 10 tahun waktu yang dihabiskan sejak pembuatan fondasi hingga menjadi bangunan raksasa.
Jarum jam menunjukkan pukul 14.10. Waktu makan siang sedikit terlewat. Pantas saja perut terasa melilit. Untungnya, papan informasi menunjukkan bahwa tepat di bawah kami berdiri terdapat food court. Jadi, untuk mencari makan, kami tinggal turun satu lantai ke basement. Nah, karena mengejar waktu, tak ada acara pilih-pilih makanan. Paket burger dan kentang goreng "terpaksa" menjadi pilihan.
Dengan perut sudah terisi, kami meninggalkan area Lotte Tower. Ada satu tempat yang harus kami kunjungi di dekat sini, yaitu Stadion Olimpiade Seoul. Hanya memakan waktu 15 menit, kami pun sudah sampai di kompleks stadion. Tiga puluh dua tahun lalu, di sini digelar pembukaan pesta olahraga terbesar sejagat, Olimpiade Seoul 1988. Pemerintah Korea Selatan tampaknya perlu mengabadikan kenangan itu. Kompleks stadion menjadi bagian dari Museum Olimpiade Seoul.
Sejarah perhelatan akbar ini memang penting dihadirkan kepada generasi berikutnya sebagai cerita keajaiban ekonomi Korea Selatan pasca-perang saudara. Juga kisah sukses Olimpiade di tengah tekanan perang dingin dan ancaman teror Korea Utara. Sejarah mencatat, 10 bulan sebelum Olimpiade digelar, pesawat sipil Korea Selatan, Korean Air, diledakkan dengan bom oleh agen Korea Utara di atas perairan Andaman, dekat Myanmar. Sejumlah media internasional menyebut aksi itu sebagai upaya memboikot Olimpiade Seoul.
Di depan gerbang stadion, tampak sekelompok pemuda kulit hitam sedang berfoto. "Hello, brother. How are you?" kata salah satu dari mereka sembari mendekat. Lalu kami pun bersalaman dan saling mengenalkan diri. Steve, nama pria yang menyapa kami, dan kawan-kawannya adalah pemain sepak bola Tanzania. Sudah sebulan mereka tinggal di Seoul untuk training. "Wow, from Indonesia. Sukarno, yeah," ujar Steve semringah. Ketika saya balas dengan menyebut Julius Nyerere, mereka pun tergelak. Lalu kami berbincang seputar sepak bola, klub favorit, pemain idola, hingga mencoba sepeda lipat. Setelah berfoto bareng, kami meninggalkan Steve cs untuk menyambangi tempat lain di seputaran kompleks stadion.
Jarum jam menunjukkan pukul 16.20, sepeda sudah menggelinding lagi di jalur Han River, dengan tujuan kembali ke pusat kota. Semakin sore, semakin banyak pesepeda melintas. Suasana menjelang senja di tepian sungai terasa romantis. Sinar mentari menguning, berpendar di atas riak air.
Tak ingin melewatkan suasana itu, kami pun singgah di rest area Jamwon. Banyak pesepeda transit di sini. Mereka nongkrong memenuhi kursi dan meja yang tersedia. Kami turut bergabung setelah membeli cappuccino dingin dan kudapan ringan dari minimarket di situ. Yang menarik, rest area ini menempel dengan camping ground, yang pada musim semi yang hangat, warga Seoul ramai mendirikan tenda.
Jika tak diingatkan oleh matahari yang makin tergelincir ke barat, kami pasti terlena untuk tak beranjak dari sini. Kini saatnya menuju kota. Kami pun bergegas mengayuh sepeda agar tidak kemalaman di tepi sungai. Jembatan Banpo sudah kami lalui. Sepeda sempat berhenti di Banpo Hangang Park. Ini lokasi bagus untuk melihat atraksi Banpo Bridge Moonlight Rainbow, pertunjukan air mancur berselubung cahaya yang digelar saban pukul 8 malam. Penasaran? Tentu saja. Namun, karena mesti menunggu satu jam lebih, kami memilih melanjutkan perjalanan. Sungai Han kami seberangi dengan melintasi Jembatan Dongjak, selanjutnya memasuki kota melalui Jalan Seobinggo-ro.
Kami mengagendakan santap malam di Itaewon. Ini adalah kawasan kuliner antarbangsa di Kota Seoul. Aneka rumah makan dari seantero dunia tumplek di sini. Itaewon menjadi surga bagi para petualang rasa. Namun, bagi kami, cita-cita kali ini sederhana saja: makanan halal tapi jangan terlalu biasa. Maka, jatuhlah pilihan pada sebuah restoran Libanon. Ruangannya sempit dan sesak oleh pengunjung. Kami memesan makanan yang dipilih berdasarkan foto di menu karena judulnya begitu asing.
Tak lama menunggu, sang pramusaji muda datang. "Silakan disantap kawan, ini enaknya dimakan panas-panas," ujar dia dalam bahasa Inggris. Dan sepinggan besar sayur hot plate seafood dengan bumbu Timur Tengah itu menjadi penutup perjalanan bersepeda hari ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo