Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jemparingan adalah olahraga panahan khas Kerajaan Mataram Islam yang berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Eksistensi jemparingan dapat ditarik jauh sejak awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raja pertama Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I menggerakkan pengikutnya untuk belajar panahan sebagai langkah menjadi seorang ksatria dengan sifat percaya diri disertai rendah hati, semangat, tanggung jawab, dan konsentrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, olahraga ini hanya dilaksanakan di lingkungan keluarga Kerajaan Mataram dan menjadi perlombangan para prajurit kerajaan dengan menggunakan bambu. Namun, selama perkembangannya, jemparingan semakin banyak digemari oleh golongan rakyat biasa.
Selama berjalannya waktu, beberapa daerah mulai menerapkan jemparingan sebagai olahraga dan bentuk kebudayaan Yogyakarta yang harus dilestarikan. Salah satu daerah yang masih menerapkan jemparingan berada di Dusun Soka, Bantul.
Awal mula hadirnya jemparingan di dusun ini sangat unik yang bermula dari wisata gowes dengan memiliki akses dua pintu dalam satu rute perjalanannya. Lalu, selama wisatawan melalui rute yang berada di dusun ini, pengelola jemparingan setempat menampilkan aksi jemparingan secara langsung.
Aksi ini bertujuan agar dapat menarik para wisatawan gowes untuk melakukan jemparingan sebagai bentuk pelestarian kebudayaan Jawa. Saat ini, peminat jemparingan di Dusun Soka cenderung banyak diikuti oleh kelompok ibu pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) setempat.
Pelaksanaan jemparingan yang dianggap sebagai olahraga kerajaan ini memakan waktu cukup lama. Sebab, jemparingan dilakukan dengan ketepatan ukuran dan konsentrasi yang tinggi. Anak panah dengan busur yang digunakan ketika jemparingan harus diarahkan dengan tepat agar sesuai sasaran. Penerapan konsentrasi ini yang membedakan jemparingan dengan panahan dan olahraga lain. Tingkat fokus seseorang juga diuji dalam jemparingan. Pasalnya, para pemanah harus mengetahui berapa kemiringan dan kecepatan anak panah untuk bisa tepat sasaran.
Selain itu, para pemanah jemparingan tidak membidik anak panah untuk jatuh tepat sasaran dengan mata, tetapi memosisikan busur di hadapan perut yang dilandaskan pada perasaan pemanah. Posisi ini memiliki makna agar cita-cita seseorang dapat tercapai sesuai dengan konsentrasi masing-masing. Semakin tinggi tingkat konsentrasi, semakin besar pula cita-cita dapat terwujud.
Selain itu, saat membidik, anak panah juga dapat diposisikan sedikit miring sehingga dapat dibidik dengan mata. Biasanya, jemparingan dilakukan dengan cara duduk bersila yang menjadi perbedaan paling utama dengan olahraga lainnya.
Selain waktu, jemparingan yang terlihat mudah untuk dilakukan juga membutuhkan banyak tenaga.
“Banyak orang yang mengira bahwa jemparingan mudah dilakukan dan tidak melelahkan. Padahal, jemparingan yang hanya dimainkan tiga kali saja sudah membuat seseorang lelah, terutama pemula,” kata Sugiyanto, pengelola jemparingan di Dusun Soka, Bantul pada 31 Juli 2023.
Adapun, alat-alat yang digunakan untuk melakukan jemparingan sebagai berikut, yaitu:
- Busur atau gandewa yang terdiri dari pegangan busur, lar (bilah), dan tali busur,
- Sasaran anak panah atau bandulan,
- Bola kecil sebagai pengurangan nilai bagi pemanah yang mengenakannya.
Bagi para pemula yang ingin melakukan jemparingan penting untuk mengikuti setiap tata cara, mulai dari sikap memegang busur sampai melepaskan anak panah. Sebab, tata cara tersebut harus diterapkan untuk menjaga keamanan para pemanah. Setiap cara jemparingan di Dusun Soka, Bantul ini masih berlandaskan pada filosofi jemparingan sebagai sarana melatih konsentrasi yang dibawa dari Kerajaan Mataram Islam. Dengan demikian, jemparingan bukan sekadar sebuah olahraga dan menarik wisatawan, melainkan juga bentuk pelestarian kebudayaan Jawa sejak Raja Pertama Yogyakarta.
Pilihan Editor: Mengenal Jemparingan, Olahraga Panahan Tradisional ala Kerajaan Mataram