Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Mengenal The Last of the Mohicans Bissu Bone

bissu harus menunjukkan sikap bijak dalam kehidupan sosial, menjadi penengah ketika terjadi perbedaan pendapat dan bisa menerawang kehidupan.

29 Juni 2023 | 12.54 WIB

Imam utama bissu, Puang Matoa Ancu di rumahnya di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023. Foto| TEMPO|Shinta Maharani.
Perbesar
Imam utama bissu, Puang Matoa Ancu di rumahnya di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023. Foto| TEMPO|Shinta Maharani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Bone - Puang Matoa Ancu, imam utama bissu atau gender kelima Bugis di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan menangis sesenggukan karena mengingat perjalanannya menjadi bissu yang penuh liku. Masyarakat Sulawesi Selatan mengenal bissu sebagai tokoh spiritual penjaga tradisi dan punya kedudukan terhormat pada masa kerajaan di Sulawesi Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Puang Matoa Ancu bisa dibilang sebagai The Last of the Mohicans atau generasi terakhir bissu. Kisah Puang menjadi bissu dimulai sejak dia berumur belasan tahun atau bersekolah di sekolah menengah pertama. Saat itu, Puang Matoa Ancu telah merasakan jiwanya sebagai perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Puang muda suka menari, menggunting rambut, memasang bunga di sanggul, merias, merangkai janur dan bunga. Kegemarannya itu ia lakukan bersama perempuan dan seniman di Taman Bunga Arung Palakka di jantung kota Watampone, Bone. “Saat itu saya belum terpanggil menjadi bissu,” ujar Puang Matoa Ancu ditemui Tempo di rumahnya di Watampone, Bone, Senin, 26 Juni 2023.

Saya menemui Puang, menempuh perjalanan darat dari Makassar ke Bone selama hampir lima jam selepas mengisi acara pelatihan bertema jurnalis keberagaman yang digelar Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK). Kami mengobrol sembari menikmati sajian makan malam masakan khas bissu Bella yang menemani Puang. 

Puang menjelaskan jiwa feminimnya makin terasa saat dia bersekolah di sekolah menengah atas. Dia suka mengenakan selendang dan kipas dengan rambut pendeknya.

Orang Tua Puang Matoa Ancu Menolak dan Dicap Anak Durhaka

Sejak saat itu, Puang menyadari dirinya seorang waria atau laki-laki keperempuanan (calabai). Menjadi waria bagi Puang tak mudah. Menurut dia, orang tuanya yang konservatif dan fanatik tidak menerima identitasnya. Keluarganya menyebut Puang sebagai pendosa, anak durhaka, dan membawa petaka. “Saya hampir mati dicambuk dan dipukul. Tapi, saya pasrah kepada Dewata,” tuturnya.

Imam utama bissu, Puang Matoa Ancu di rumahnya di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)

Dewata merupakan Tuhan yang dipercaya para bissu dalam kepercayaan kuno Bugis. Puang meyakini Dewatalah yang menetapkan dirinya sebagai waria yang kemudian ditahbiskan menjadi pemimpin bissu. Untuk menghindari kemarahan, pukulan, dan cambukan ayahnya, Puang kerap pergi dari rumah untuk bersembunyi. Dia menumpang dari satu kawan ke kawannya di sekitar Sulsel. Puang memiliki 13 saudara. Selain ayahnya, saudara laki-laki Puang juga kerap memukulinya.

Setelah lulus SMA pada 1985, Puang melanjutkan kuliah diploma tiga di jurusan pariwisata di Akademi Pariwisata di Makassar. Ia membiayai kuliah dengan cara bekerja mendekorasi pelaminan dan merias pengantin. Puang lulus diploma Tahun 1988.

Selepas lulus, ia bekerja keras mengumpulkan modal untuk membuka jasa rias dan dekorasi pengantin. Sedikit demi sedikit, dia mengumpulkan uang untuk menabung dan membeli peralatan  untuk jasa itu. Ketekunan dan kegigihannya membuahkan hasil. Puang kemudian mendirikan jasa rias dan dekorasi pengantin di rumahnya. Sejak saat itulah, orang mulai kerap menggunakan jasanya.

Selanjutnya Mulai Belajar Menjadi Puang

Mula Belajar Menjadi Puang

Tahun 1990, ia bertemu dengan Puang Loloningo dan Puang Husein. Keduanya merupakan bissu utama yang pernah berperan penting di kerajaan. Bissu punya kedudukan penting dalam menyiapkan pranata pelantikan raja, membersihkan pusaka kerajaan, dan menyiapkan pernikahan anak raja. Puang Husein merupakan bissu keturunan raja Bone. “Keduanya menggembleng saya, termasuk mengajari baca lontar I La Galigo dan menari tari bissu,” kata Puang Matoa Ancu.

Sejak 35 tahun lalu, Puang Matoa Ancu menjadi bissu dan menggantikan Daeng Tawero yang meninggal, imam utama bissu. Untuk menjadi bissu, puang harus memenuhi 13 persyaratan.

Puang Matoa Ancu mengisi tradisi ritual bissu di Bone, Sulawesi Selatan (foto dokumentasi Puang Matoa Ancu).

Bissu harus menguasai mantra-mantra bahasa Torilangi sebagai sumber bahasa etnis Bugis, Toraja, Makassar, Mandar, dan Gorontalo yang kerap dikaji peneliti asing. Bahasa Torilangi ada dalam karya sastra I La Galigo yang mengisahkan penciptaan peradaban Bugis.

Selain itu, bissu harus menunjukkan sikap bijak dalam kehidupan sosial, menjadi penengah ketika terjadi perbedaan pendapat dan bisa menerawang kehidupan. Bissu juga wajib menjauhi kehidupan duniawi, memperbanyak ibadah dan melatih ketenangan jiwa. “Syarat yang berat itulah yang membuat tak semua waria bisa menjadi bissu,’ kata dia.

Sejak ditahbiskan menjadi bissu di rumah adat Bone, Bola Soba itulah, kehidupan Puang Matoa Ancu berubah drastis. Orang tuanya yang ikut menyaksikan puang ditahbiskan mulai menerimanya sebagai waria.

Puang kerap diundang untuk mengisi acara penyambutan tamu-tamu penting, di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri yang datang ke Makassar. Puang pernah tampil membawakan tarian penyambutan di hadapan Presiden SBY saat bertandang ke Makassar.

Sejak saat itu, puang menjadi tulang punggung keluarga. Dia mampu membuktikan dirinya mandiri dan bisa membiayai pendidikan saudaranya dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Puang Matoa Ancu mengisi tradisi ritual bissu di Bone, Sulawesi Selatan (foto dokumentasi Puang Matoa Ancu).

Kepada puang, ayah dan bundanya pernah berujar menyesal. “Mereka bilang kalau membunuhku siapa lagi yang jadi tulang punggung keluarga,” ujar puang.

Seiring dengan tugas puang menjaga tradisi Bugis, usaha dekorasi dan rias pengantin yang dia dirikan semakin maju. Puang yang pernah menjabat sebagai Ketua Kerukunan Waria Kabupaten Bone ini juga kerap menampung waria di rumahnya. Mereka menjahit, merias, mendekorasi, memotong rambut, dan mengajari menari anak-anak.

Regenerasi Mandek, Bissu di Ambang Kepunahan

Kini, Puang menghadapi tantangan yang kian berat yakni regenerasi bissu. Dia khawatir, keberadaan bissu menuju gerbang kepunahan karena pembatasan gerak mereka dalam ritual tradisi Bugis. Selama dua tahun terakhir misalnya, bissu tak lagi dilibatkan dalam hari jadi Bone.

Pembatasan gerak bissu membuat waria tak banyak yang tertarik menjadi bissu karena tidak menjanjikan. Tekanan ekonomi membuat mereka tak fokus menjadi bissu. Pembatasan gerak itu berdampak pada pendapatan bissu. Sebagian orang kini enggan mengundang mereka untuk merias pengantin dan menangani pranata pernikahan keturunan bangsawan.

Jumlah bissu semakin melorot. Di Bone misalnya hanya tersisa satu imam utama bissu dan sepuluh bissu yang menjadi penari maggiri atau tusuk diri. 

Konservatisme yang semakin menguat membuat bissu terancam. Kebencian dan persekusi terhadap Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender menurut puang juga berdampak terhadap mereka. “Semoga saya bukan bissu generasi terakhir,” ujar dia.

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus