Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Jalan Sunyi Bissu Terakhir Bone

Dahulu, bissu mengelola sawah kerajaan dan menjaga tradisi kerajaan Bugis, di antaranya mengatur tata cara pelantikan raja.

29 Juni 2023 | 06.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Imam utama bissu, Puang Matoa Ancu di rumahnya di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Watampone - Rumah yang sempit itu penuh sesak pakaian-pakaian adat Bugis dalam almari, pernak pernik tradisi, buket pengantin, dan benda pusaka. Puang Matoa Ancu atau imam utama bissu menunjukkan detail prosesi pernikahan keturunan bangsawan dan cara berbusana adat Suku Bugis, Senin sore, 26 Juni 2023 di Watampone, Bone, Sulawesi Selatan.

Keberadaan Bissu dalam I La Galigo

Dalam tradisi kuno Bugis, bissu berarti pandita waria sakti. Bissu memiliki kedudukan terhormat sejak zaman kerajaan Sulawesi Selatan pra-Islam. Kisah bissu disebut dalam I La Galigo, karya sastra legendaris yang berisi penciptaan peradaban Bugis. Sureq Galigo merupakan epos terpanjang yang menjadi warisan UNESCO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masyarakat Sulsel mengakui adanya lima gender. Mereka memandang bissu sebagai orang suci. Selain laki-laki (oroani) dan perempuan (makkunrai), masyarakat Bugis pra-Islam menerima kehadiran perempuan kelaki-lakian (calalai), laki-laki keperempuanan (calabai), dan bissu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Professor Sharyn Graham Davies, antropolog dari Auckland University of Technology Selandia Baru menyebutkan tradisi bissu dan konsep lima gender menjadi bagian budaya Bugis selama enam abad.

Regenerasi Bissu Macet 

Ditemani bissu Bella, Puang Matoa Ancu menceritakan kegelisahannya tentang macetnya regenerasi bissu. Salah satu pemicunya adalah larangan bissu tampil mengisi peringatan Hari Jadi Bone yang memasuki usia 693 tahun pada 6 April lalu. Larangan bissu tampil itu adalah kali kedua. “Kami terpukul dan merasa dikucilkan ,” tutur Puang Matoa Ancu kepada Tempo.

Bola mata puang berkaca-kaca sembari mengingat larangan itu. Di rumahnya yang juga menawarkan jasa rias pengantin, puang menyebutkan saat itu bersama sepuluh bissu hanya berkumpul, berdoa, dan menjalani tradisi Maccera atau memotong hewan kurban untuk dibagikan kepada warga sekitar.

Puang Matoa Ancu mengisi tradisi ritual bissu di Bone, Sulawesi Selatan (foto dokumentasi Puang Matoa Ancu).

Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman dan Bupati Bone Andi Fashar Mahdin Padjalangi dalam dua tahun terakhir melarang bissu tampil mengisi Hari Jadi Bone. Kepada sejumlah media massa, keduanya tidak menjelaskan alasan melarang bissu tampil.

Dampak dari larangan itu menurut Puang Matoa Ancu membuat nasib bissu makin suram. Kini tak banyak waria yang berniat menjadi bissu karena sejumlah pembatasan itu. Di Bone, hanya tersisa sepuluh waria yang menjadi anak didik Puang Matoa Ancu.

Menurut puang, jumlah bissu kian menurun. Dahulu, di sejumlah kecamatan di Bone terdapat 40 bissu yang menjalani ritual tradisi Bugis. Dahulu mereka kaya karena kerajaan menjamin hidup mereka. Bissu mengelola sawah kerajaan dan tinggal di istana bissu Arajang. Bissu menjaga tradisi kerajaan Bugis, di antaranya mengatur tata cara pelantikan raja.

Jumlahnya menyusut saat terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Sulsel Tahun 1948. Melalui operasi Toba atau Tuabat, bissu menjadi sasaran karena dianggap bertentangan dengan Islam, mennyembah berhala, dan anggota PKI. Bissu dikejar-kejar, diburu, dibunuh, dan dipaksa menjadi laki-laki. “Dampaknya terasa hingga sekarang. Kami dipersekusi hingga diusir,” kata puang.

Kini, sebagian waria tak lagi tertarik menjadi bissu karena tak menjanjikan dari sisi pemenuhan kebutuhan ekonomi dan harus menjalani berbagai pantangan yang berat. Mereka sebagian besar bekerja di salon, merias pengantin, dan kafe. Puang khawatir bissu menghadapi kepunahan.

Peran Penting Bissu di Hari Jadi Bone

Bissu berperan penting dalam proses ritual Hari Jadi Bone. Ada proses berpuasa sebelum menjalani prosesi Hari Jadi Bone, mengambil air di tujuh sumur. Selanjutnya, bissu melakukan ritual membersihkan benda-benda pusaka peninggalan kerajaan, dan membawakan tari maggiri atau tusuk diri menggunakan keris.

Puang Matoa Ancu mengisi tradisi ritual bissu di Bone, Sulawesi Selatan (foto dokumentasi Puang Matoa Ancu).

Mereka melantunkan mantra-mantra bahasa Torilangi, bahasa Galigo atau bahasa dewa yang membuat tubuh mereka kebal terhadap senjata tajam. Bahasa Torilangi menjadi sumber bahasa etnis Bugis, Toraja, Makassar, Mandar, dan Gorontalo yang kerap dikaji peneliti asing.

Majalah Tempo pernah menulis bahwa Gilbert Harmonic, antropolog sosial dari Universitas Sorbonne, Prancis khusus meneliti lagu-lagu dan mantra yang dilantunkan para bissu. Nyanyian para bissu itu berisi kisah perjalanan ke dunia dewata.

Mereka mendendangkan perjalanan ke pulau aneh, negeri orang mati, dan langit. Lirik-lirik bissu dipengaruhi kebudayaan dan agama yang datang selanjutnya. Lagu-lagu bissu menyebut nama dewa mitos I Lagaligo, menyebut Allah, Muhammad, dan Adam.

Seperti pada lagu-lagu itu, Puang Matoa Ancu meyakini Islam sebagai agama yang ia pilih sejak lahir karena orang tuanya menganut agama itu. Malam itu, azan Magrib berkumandang. Puang bergegas ke masjid dekat rumahnya untuk menunaikan salat dengan mengenakan sarung dan kopiah.

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus