Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Magelang - Magelang, kota yang memiliki banyak cerita sejarah dan bangunan Belanda yang melegenda. Salah satu cerita yang cukup melegenda tentang kehidupan masa Hindia Belanda di Kota ini adalah tentang anak-anak kolong dan pergundikan atau moentji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik pergundikan pernah menjadi fenomena sejarah yang ironi, lantaran meninggalkan luka dan marwah perempuan. Gundik atau moentji adalah perempuan yang tinggal di dalam tangsi bumiputra atau Indo Eropa yang memiliki peran sentral dalam kehidupan rumah tangga serdadu.
Kehadiran Moentji dalam Keluarga Serdadu
Pegiat sejarah Magelang, Chandra Gusta mengatakan, pekerjaan para moentji beragam, mulai dari memasak, mencuci, belanja, tidur dan melahirkan anak - anak hasil pergundikan. "Moentji hadir di dalam tangsi dari berbagai cara, mulai dari permintaan serdadu, menawarkan diri, diambil alih dari rekan serdadu lain atau ditawarkan sendiri oleh keluarga," kata Gusta saat ditemui Tempo, usai acara Bedah Sejarah Van der Steur di Museum BPK Magelang, Ahad, 9 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, menjadi Moentji adalah cara pragmatis untuk keluar dari kemiskinan meskipun secara sosial masyarakat di luar tangsi mereka dianggap rendah. Para moentji yang tinggal di dalam tangsi militer kebanyakan berusia 12 - 35 tahun.
Usia 30 tahun dianggap sebagai usia yang tua dalam dunia pergundikan tangsi. Maka dari itu, jika mereka sudah dianggap tidak berguna lagi, para moentji ini akan diberi "surat lepas" yang artinya mereka diusir dari tangsi dan akan kehilangan segala fasilitas dan kenyamanan tangsi.
Nasib Anak Moentji
Lebih lanjut, Gusta menuturkan, ada empat kemungkinan nasib moentji dan anak - anak hasil pergundikan yang akan mereka terima di Indonesia. Pertama, kata Gusta, moentji dan anak - anaknya akan ikut pindah tugas atau pulang ke Eropa. Kedua, moentji dan anak - anak diserahkan ke rekan serdadu lain.
"Ketiga, sang serdadu akan membawa anak - anak hasil hubungannya dengan moentji ke suatu tempat agar sang moentji bisa menjadi gundik serdadu lain atau kembali ke kampung tanpa anak - anak," tuturnya. Terakhir, Gusta menuturkan, sang serdadu akan meninggalkan mereka begitu saja tanpa memberi apa-apa.
Moentji dan Anak Kolong
Selain masalah moentji, ada persoalan lain dari kisah keluarga serdadu di tangsi di zaman Hindia Belanda. Gusta menuturkan, kala itu, sebuah keluarga serdadu yang tinggal bersama dalam barak harus rela berdesakan menjejali tiap jengkal yang ada sebagai ruang untuk mereka tinggal. "Termasuk juga kolong ranjang yang dijadikan tempat tidur anak - anak hasil pergundikan," ujarnya.
Anak kolong ini berasal dari berbagai macam etnis. Mereka ada yang beretnis Jawa, setengah Tionghoa, Afrika, dan Indo-Eropa.
Akhir Pergundikan
Menurut Gusta, protes keras praktik pergundikan tangsi mulai muncul pada 1880-an ketika kecaman disampaikan Uskup Agung Batavia dan masyarakat yang prihatin terhadap eksploitasi perempuan bumiputra. Di sisi lain, panglima militer Hindia Belanda adalah pendukung utama praktik pergundikan karena alasan peningkatan moral bertempur serdadu dan memperkecil perilaku penyimpangan seksual di dalam tangsi. "Selain itu biaya menjadi dasar lain kenapa pergundikan tangsi dilestarikan," ucapnya.
Sejak 1913, praktik pergundikan tangsi mulai mengalami penurunan akibat derasnya kecaman pada pihak militer. Pada 1918, Komandan KNIL Hindia Belanda mengeluarkan pernyataan, pergundikan tangsi harus segera diakhiri. "Lonceng kematian pergundikan tangsi militer benar - benar berdentang ketika Gubernur Jendral Johan Paul van Limburg Stirum secara resmj menyatakan larangan pergundikan tangsi militer pada 1919," ujarnya.