Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Menyambut Ramadan: Tradisi Padusan di Jawa Tengah dan Yogyakarta

Masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta biasa melaksanakan tradisi padusan menjelang Ramadan. Bagaimana prosesinya?

23 Februari 2025 | 09.38 WIB

Suasana Umbul Sungsang di Pengging, Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (8/4/2021). Tempat pemandian itu biasa menjadi tempat warga melaksanakan padusan menjelang Ramadhan. (ANTARA/Bambang Dwi Marwoto)
Perbesar
Suasana Umbul Sungsang di Pengging, Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (8/4/2021). Tempat pemandian itu biasa menjadi tempat warga melaksanakan padusan menjelang Ramadhan. (ANTARA/Bambang Dwi Marwoto)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Padusan merupakan salah satu tradisi yang telah menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat Jawa, terutama dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Tradisi ini memiliki makna simbolis sebagai proses pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, sebelum memasuki bulan penuh berkah. Oleh karena itu, sehari sebelum bulan Ramadan dimulai, masyarakat biasanya berbondong-bondong menuju sumber air seperti kolam renang, pantai, atau mata air alami untuk melaksanakan ritual ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Secara historis, tradisi padusan sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada masa itu, padusan disebut sebagai “amertabhujangga,” yang berasal dari bahasa Sanskerta dan memiliki arti mandi di air suci.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tradisi ini awalnya dilakukan oleh kalangan bangsawan dan raja-raja sebagai bentuk menjaga kebersihan serta kesucian tubuh mereka. Air yang digunakan pun harus berasal dari mata air yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan. Selain aspek kesehatan, padusan juga dianggap sebagai bagian dari ritual keagamaan yang dilakukan untuk memohon berkah dari dewa-dewi.

Mengenal Tradisi Padusan

Dalam bahasa Jawa, istilah "padusan" berasal dari kata "adus" yang berarti mandi. Seperti namanya, tradisi ini berfokus pada mandi atau berendam di mata air yang mengalir. Tradisi ini masih lestari di berbagai daerah, terutama di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Bagi masyarakat Jawa, padusan bukan hanya sekadar aktivitas mandi, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Ritual ini menjadi sarana untuk membersihkan diri dan merefleksikan kehidupan di masa lalu, sehingga mereka dapat menyambut bulan puasa dengan hati dan jiwa yang lebih suci.

Sejarah mencatat bahwa tradisi padusan diperkirakan sudah ada sejak era Kerajaan Majapahit. Setelah Islam masuk ke Nusantara, tradisi ini mulai disesuaikan dengan ajaran Islam. Para Wali Songo berperan besar dalam mengadaptasi padusan agar tetap sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Sejak saat itu, masyarakat Jawa menjalankan padusan sebagai bagian dari persiapan spiritual menjelang Ramadhan.

Air dalam tradisi padusan memiliki makna simbolis yang mendalam. Sebagai elemen yang melambangkan kesucian, air dipercaya mampu menghilangkan kotoran, baik secara lahir maupun batin, serta menghapus dosa-dosa masa lalu. Oleh karena itu, mandi dalam ritual padusan bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi juga menjadi refleksi spiritual agar seseorang dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh kekhusyukan.

Di Yogyakarta, dikutip dari laman jogjaprov, terdapat beberapa tempat yang sering dijadikan lokasi padusan, salah satunya adalah Umbul, yakni mata air alami yang tetap terjaga kejernihannya dan bebas dari pencemaran. Selain itu, Pantai Parangtritis juga menjadi pilihan favorit masyarakat karena pemandangannya yang indah dan suasananya yang menenangkan.

Lebih dari sekadar ritual keagamaan, padusan juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Tradisi ini mencerminkan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun dan masih tetap dilestarikan hingga kini. Dengan menjaga dan melaksanakan padusan, masyarakat tidak hanya menjalankan kewajiban religius, tetapi juga ikut serta dalam mempertahankan warisan budaya Jawa yang kaya akan makna dan nilai spiritual.

Aulia Ulva dan Muhammad Rafi Azhari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus