Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Temanggung - Hamparan tanaman tembakau hijau menyambut para pengunjung yang datang ke Kabupaten Temanggung di lereng Gunung Sindoro. Selama perjalanan, hawa sejuk dan aroma wangi kopi yang diseduh di warung-warung bisa dirasakan pengunjung. Selain pemandangan alam yang indah, lereng Gunung Sindoro menyimpan banyak peninggalan sejarah. Salah satunya Umbul Jumprit yang terletak di Desa Tegalrejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umbul Jumprit adalah kawasan mata air dan bangunan bersejarah yang berada 26 kilometer di sebelah barat laut Kota Temanggung. Secara geografis, itu merupakan hulu dari Sungai Progo. Umbul Jumprit terletak di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut sehingga mata air ini tetap dingin meski saat siang hari.
Sejarah Umbul Jumprit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut penelusuran Tempo, untuk mencapai Umbul Jumprit, para pengunjung harus melewati beberapa tikungan yang cukup tajam dan berkelok. Setibanya di lokasi tersebut, pengunjung akan disambut ratusan monyet yang berada di sekitar patirtan, pintu masuk dan makam Ki Jumprit. Menurut cerita, Ki Jumprit adalah ahli nujum Kerajaan Majapahit.
Menurut sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS), Rendra Agusta, Umbul Jumprit pernah disebut dalam Serat Centhini. "Nama Jumprit ini muncul pada Serat Centhini saat membahas perjalanan Cebolang ketika tiba di Gunung Sindoro," kata Rendra saat dihubungi Tempo, Sabtu, 17 Juni 2023.
Menurut Rendra, dalam pengembaraannya, Cebolang (pemuda pengembara dalam Serat Centhini) bertemu dengan seorang pejabat berpangkat kentol atau demang yang menceritakan sosok Ki Jumprit. "Di situ di sebut, Ki Jumprit tadinya adalah seseorang yang sedang menderita sakit, badannya lemas hingga tak berdaya," ujarnya.
Umbul Jumprit Hulu Sungai Progo (Tempo.co/Arimbihp)
Kemudian, dalam kesakitannya, Jumprit mendapat menerima wangsit untuk bertapa saka tunggal. Tapa saka tunggal adalah bertapa dengan cara berdiri menggunakan satu kaki di tempat tertentu.
"Dalam pertapaannya, Jumprit mendapat bisikan, jika dirinya ingin sembuh dan sehat lagi, maka harus mencari Sirah Progo (Kepala atau Hulu Sungai Progo)," kata Rendra.
Dari bisikan tersebut, Jumprit lantas mencari letak Hulu Sungai Progo yang dimaksud hingga menemukan mata air di kaki Gunung Sindoro. "Setibanya di mata air tersebut, Jumprit menceburkan diri dan ternyata benar, badannya sehat serta bugar kembali, penyakitnya hilang," kata Rendra.
Atas kesembuhan tersebut, Jumprit kemudian melakukan tasyakuran di dekat mata air itu. "Sampai ia akhirnya memutuskan tinggal, bertani dan merawat mata air tersebut," kata Rendra.
Cerita tentang kesembuhan Jumprit pun akhirnya tersebar luas, hingga banyak masyarakat yang datang untuk berbagai kepentingan. "Jumprit pun akhirnya kondang sebagai tetua hingga wafat di tempat tersebut, untuk mengenangnya, mata air itu diberi nama Umbul Jumprit," kata Rendra.
Kera di Umbul Jumprit
Banyaknya kera juga tak lepas dari cerita tentang Ki Jumprit yang bertapa di mata air untuk mencari kesembuhan. Rendra mengatakan, selama bertapa, tinggal hingga wafat, Ki Jumprit memiliki peliharaan kera bernama Kyai Dipa.
Tak hanya itu, kera tersebut akhirnya dianggap sebagai penghantar orang-orang yang mau mendapatkan berkah atau ilmu di Umbul Jumprit. "Ki Dipa ini yang meneruskan menjaga Umbul Jumprit bersama ribuan kera yang lain hingga tempat tersebut menyerupai kerajaan kera," kata Rendra.
Rendra mengatakan, pada Serat Centhini juga disebut bahwa Ki Dipa adalah titisan Sugriwa dalam cerita Ramayana.
Pilihan Editor: Melihat Prosesi Pengambilan Air Berkah Waisak di Umbul Jumprit