Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Naik Gunung Lawu Lewat Jalur Raja Majapahit Moksa

Konon, jalur ini adalah rute pelarian Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V, yang kemudian moksa di Gunung Lawu.

10 Juli 2018 | 15.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dari semua gunung tinggi di Jawa Tengah, cuma Gunung Lawu yang tak punya teman. Slamet punya Sumbing dan Sindoro membentuk kelompok Triple S. Adapun Merbabu dan Merapi berpasangan sebagai Double M.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Barangkali keterpencilannya itu pula yang membuat Lawu kental dibalut nuansa spiritual. Di sana-sini tersebar makam keramat dan petilasan. Banyak pula cerita mistis tentang Lawu, yang secara turun-temurun disampaikan dan dipercaya begitu saja oleh manusia. Tidak sedikit pula yang menjadikan Lawu sebagai tempat menyepi demi mendapat petunjuk Ilahi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi saya, Gunung Lawu punya tempat tersendiri di hati. Hargo Dumilah, titik tertinggi Gunung Lawu, adalah puncak ketiga yang saya capai di Jawa, setelah Kenteng Songo Merbabu dan Puncak Buntu Sumbing.

Petualangan saya pertama kali ke Lawu juga sangat berkesan. Pada awal 2007, di dekat Sendang Drajat, saya bersama tiga kawan duduk menggigil kedinginan selama beberapa jam—hanya berbalut mantel kelelawar—menunggu pagi datang. Padahal di samping kami ada gua yang bisa dijadikan tempat berlindung. Saya bersyukur sekali kami tidak kena hipotermia dan bisa tiba di puncak dengan selamat.

Namun yang paling segar dalam ingatan saya adalah saat kami turun dari Lawu. Kami sampai di Solo tak berapa lama setelah kereta Prameks terakhir ke Yogyakarta sore itu berangkat. Kereta selanjutnya berangkat sekitar pukul delapan atau sembilan malam, sementara keesokan harinya kami harus ujian kalkulus I.

Di ujung stasiun, tampak sebuah kereta pengangkut bahan bakar minyak sedang terparkir. Lokomotifnya sudah dihidupkan dan sesaat lagi kereta itu akan berjalan. Tanpa pikir panjang, kami berempat melompat naik ke gerbong kereta minyak itu. Tiga jam kemudian, dari kereta yang bergerak sekitar 20-30 kilometer (km) per jam itu, kami meloncat turun di Stasiun Lempuyangan—dan keluar dari stasiun lewat bak sampah.

Jalur pendakian Lawu yang paling mistis

Bagi saya, Lawu adalah nostalgia. Tanpa ragu, beberapa hari yang lalu, saya menerima ajakan senior di organisasi pencinta alam kampus untuk naik ke Lawu via Candi Cetho, yang disebut-sebut sebagai jalur pendakian Gunung Lawu yang paling mistis. Konon, jalur ini adalah rute pelarian Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V, yang kemudian moksa di Gunung Lawu.

Sebelumnya, saya pernah lewat jalur ini sekali pada 2014. Menanjak pada awal musim kemarau, saya dan dua kawan mesti rela "diberkahi" sisa-sisa air musim penghujan yang turun dengan "marah" bersama badai.

Tak main-main, hujan badai itu bergejolak selama sehari semalam. Badai yang meraung-raung membuat pendakian lintas jalur kami itu berlangsung selama 4 hari 3 malam. Positifnya, kami tidak kekurangan air.

Namun yang bikin pendakian via Cetho menyenangkan adalah jalur ini lebih sepi dibanding dua jalur populer lain di Gunung Lawu, yaitu Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu (pada pendakian 2014, saya dan kawan-kawan tidak bertemu rombongan pendaki lain selama 4 hari 3 malam). Selain paling mistis, jalur ini memang lebih panjang, yakni sekitar 15 km. Karena mistis dan panjang, orang biasanya berpikir dua kali sebelum naik lewat Cetho.

Pendakian kemarin sama saja. Naik pada Sabtu, kami hanya berjumpa dengan beberapa rombongan. Saling salip di jalan, lama-lama kami menjadi familiar satu sama lain. Tegur-sapa pun lama-lama berubah jadi senyum dan candaan. Enaknya naik lewat jalur yang sepi, kita tidak perlu khawatir kehabisan tempat untuk berkemah.

Jalur Cetho tak banyak berubah sejak 2014

Kali ini, saya ke base camp Lawu via Cetho naik mobil pribadi bersama kawan-kawan sesama purna dan anggota aktif di organisasi pencinta alam kampus. Dibanding mengeteng, tentu naik mobil pribadi lebih menyenangkan (kecuali bagi yang menyetir, barangkali). Saya bisa lebih leluasa menikmati pemandangan Perkebunan Teh Kemuning yang terhampar luas di kaki Gunung Lawu. Waktu ke sana dulu, alih-alih menikmati perjalanan, saya mesti konsentrasi supaya tidak terjengkang dari ojek—Suzuki Bravo—yang terseok-seok kepayahan menaklukkan tanjakan mengerikan menuju candi.

Absen lewat Cetho beberapa tahun, saya lumayan pangling dengan perubahannya. Dulu, pos perizinan pendakian digabung dengan loket tiket Candi Cetho. Jadi, sebelum masuk jalur, pendaki bisa berkeliaran dulu di sekitar Candi Cetho. Sekarang mesti melipir dan perizinan diurus di loket khusus pendakian.

Selepas pos retribusi itu, saya dan kawan-kawan mesti melewati setapak beton di luar pagar Candi Cetho. Setelah lewat Candi Kethek, barulah pendakian sebenarnya dimulai.

Jalur Cetho punya lima pos dan interval waktu tempuh antarpos lumayan seragam, antara 1,5-2 jam. Dari Pos 1 sampai Pos 4, ada bangunan sederhana yang bisa dijadikan tempat berteduh, sementara Pos 5 cuma berupa lahan terbuka di sebuah lembah di sabana.

Pos 3 dan 4 lagi-lagi membuat saya pangling. Dulu, karena baru saja dilanda kebakaran, kedua pos itu lumayan terbuka. Tidak ada pepohonan rindang yang menghalangi pemandangan ke arah punggungan di seberang. Sekarang, baik Pos 3 maupun Pos 4 sudah kembali hijau. Sebelum Pos 3 juga sudah ada kran yang bisa digunakan pendaki untuk menambah persediaan air.

Selain itu, jalur Cetho tidak banyak berubah. Treknya masih asri dan di sana-sini menjulang pohon-pohon tinggi. Menjelang ketinggian 2.900 meter di atas permukaan laut (mdpl), vegetasi mulai berkurang. Pohon-pohon yang hidup di dataran rendah mulai digantikan tumbuhan konifera, seperti cemara. Cantigi dan edelweiss juga mulai berjejeran memagari jalur pendakian.

Kemping di padang rumput

Pada pendakian kemarin, barulah saya tahu bahwa Cemoro Kembar tempat saya berlindung dari terjangan badai pada 2014 lalu sekarang sudah single. Terletak di pelana, dari Cemoro Kembar suara badai terdengar stereo karena kanan-kirinya adalah lembahan. Untung saja Sabtu kemarin kami memulai perjalanan lebih awal sehingga tak kemalaman dan harus kemping di sana.

Dari sebuah spot dengan trek yang tidak terlalu terjal memudahkan saya dan kawan-kawan melipir punggungan saja di bawah rimbunnya pepohonan cemara. Satu-dua anggrek mengintip dari dahan cemara. Matahari sore bersinar elok menimpa rerumputan yang bergoyang ke sana-kemari ditiup angin sepoi-sepoi. Tak berapa lama kami tiba di sabana, yang sekarang berupa cokelat yang disaput sedikit hijau. Maklum, puncak musim kemarau.

Saya bersama Gawuk terus berjalan menuju Pos 5, yang hanya selemparan batu dari sana, meninggalkan teman-teman yang sibuk mengabadikan momen pertama mereka di sabana Gunung Lawu.

Setiba di Pos 5, Bulak Peperangan, saya langsung mengeluarkan sarung tangan dan bergegas mendirikan tenda bersama kawan-kawan. Senja sudah tiba dan dingin mulai datang. Tak berapa lama, tenda-tenda pun selesai didirikan. Semua masuk untuk menghangatkan badan sembari menunggu makanan disajikan. Sekitar jam delapan malam, saya sempat keluar sebentar dari tenda dan tersenyum-senyum sendiri melihat Bimasakti yang misterius mengambang di angkasa raya.

Tidak seperti pendakian perdana ke Lawu dulu, tenda yang layak dan jaket tebal membuat malam itu saya tidur nyenyak meskipun angin kencang bertiup tanpa henti di luar. Pukul tiga pagi saya bangun, bersiap-siap, lalu berjalan bersama kawan-kawan dalam gelap menuju Hargo Dumilah, Puncak Gunung Lawu.

 

Artikel ini sudah tayang di TelusuRI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus