Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 2025 menjadi momen istimewa bagi dunia sastra Indonesia karena merayakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer melalui gerakan #SeAbadPram. Semasa hidupnya, Pramoedya adalah sosok yang patut dikenang. Dengan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke 42 bahasa, Pramoedya adalah lambang harapan, perlawanan, dan keberanian melawan ketidakadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pramoedya adalah sosok penting yang patut dikenang. Karya dan kiprahnya memberikan insight relevan untuk hari ini dan masa depan Indonesia,” kata Budayawan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Hilmar Farid, pada 21 Januari 2025, seperti dikutip Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perayaan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer digagas oleh Pramoedya Ananta Toer Foundation bersama Komunitas Beranda Rakyat Garuda dengan festival peluncuran akan digelar di kota kelahiran Pram, Blora, pada 6-8 Februari 2025. Acara ini akan meliputi pemancangan nama jalan Pramoedya Ananta Toer, memorial lecture, diskusi, pameran cetak ulang buku, screening film, pementasan teater, dan konser musik bertajuk Anak Semua Bangsa yang menghadirkan musisi nasional.
Perayaan ini menjadi langkah strategis untuk menghargai sosok Pramoedya sebagai sastrawan, pemikir, jurnalis, dan pejuang bangsa. Merayakan Pram adalah merayakan kekayaan intelektual dan semangat perlawanan yang tetap relevan sampai sekarang kini.
Profil Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan legendaris Indonesia era 1940-an. Dilansir ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Pramoedya merupakan anak sulung dari pasangan M. Toer dan Siti Saidah yang lahir pada 6 Februari 1925, di Blora, Jawa Tengah. Ayahnya merupakan seorang guru yang awalnya bertugas di HIS Rembang, lalu menjadi guru sekolah swasta Boedi Oetomo, dan menjadi kepala sekolah. Sementara itu, ibunya adalah anak penghulu di Rembang.
Sastrawan yang akrab disapa Pram ini menempuh pendidikan sekolah dasar di Instituut Boedi Oetomo di Blora. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya selama satu setengah tahun di sekolah teknik radio Surabaya (Radiovakschool Surabaya) pada 1940-1941. Lalu, pada 1942, ia memutuskan untuk pergi ke Jakarta dan bekerja di Kantor Berita Domei. Sambil bekerja, ia mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942-1943), kursus Sekolah Stenografi (1944-1945), dan menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945) untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, serta Sejarah.
Pada 1958, Pramoedya memutuskan untuk bergabung sebagai anggota Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan Pram ini menjadi awal polemiknya, baik dengan sesama seniman golongan lain yang tidak sealiran maupun Pemerintah Indonesia saat masa Orde Baru. Kemudian, pada 1962, Pram diangkat sebagai redaktur Lekra.
Namun, pada 13 Oktober 1965, Pram ditangkap akibat peristiwa Gerakan 30 September yang menggoreskan kenangan pahit dalam kehidupannya. Selama ditangkap, ia mendapatkan perlakuan tidak terpuji dan dipenjara di Salemba, Cilacap, hingga Pulau Buru. Selama 10 tahun, ia hidup dalam pengasingan.
Setelah pengasingan berakhir, Pramoedya Ananta Toer menghasilkan banyak karya melalui buku, di antaranya Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000). Beberapa di antara karyanya diterjemahkan ke Bahasa Belanda dan Inggris.
Naomy A. Nugraheni turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Pramoedya Ananta Toer: Saya Tidak Pernah Jadi Budak