Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masjid Lautze dengan dominasi warna merah dan kuning itu sekilas tak seperti bangunan masjid. Berbaur dengan bangunan ruko khas kawasan pecinan, masjid itu tak memiliki kubah layaknya masjid di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak heran, sebab masjid itu semula memang merupakan ruko sewaan yang menjadi kantor pertama beroperasinya Yayasan Karim Oei. Yayasan itu didirikan untuk mengenang jasa dari Karim Oei atau Oei Tjeng Hien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karim Oei adalah seorang pria berlatar belakang etnis Tionghoa dan memilih menjadi mualaf hingga akhirnya benar- benar mencintai dan mendedikasikan hidupnya untuk Tanah Air Indonesia. Ia bahkan menjadi tokoh kenamaan di Muhammadiyah di eranya, ia pun sempat bertanggung jawab atas operasional Masjid Agung Istiqlal sebagai pimpinan harian pada era 70-an.
Dari ruko yang awalnya berfungsi sebagai pusat informasi untuk warga Tionghoa mengenal Islam, lambat laun dorongan serta dukungan menghadirkan tempat ibadah di kawasan pecinan itu pun akhirnya tumbuh. “Alhamdulillah dalam perkembangannya, pemilik ruko menawarkan kami untuk membeli gedung ini dibanding menyewa," kata Yusman Iriyansah, salah seorang pengurus Masjid Lautze.
Pengurus sempat kebingungan untuk membeli ruko itu karena kurangnya dana. Bantuan kemudian datang dari BJ Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). "Dia beli rukonya dan dihibahkannya ruko ini kepada Yayasan Karim Oei,” kata Yusman.
Pemilihan warna hingga bentuk Masjid Lautze yang terkesan mirip bangunan di kampung pecinan atau mengikuti ornamen Kelenteng rupanya memang dipilih pengurus Masjid Lautze agar warga beretnis Tionghoa yang baru mau mengenal Islam saat bertandang tidak merasa canggung. Interior ruangan bagian dalam masjid didominasi warna putih dengan setiap sisi tembok diberi ornamen kayu berwarna merah yang dibentuk menyerupai kubah.
Tidak hanya melakukan penyesuaian dari segi warna, berbagai ornamen khususnya kaligrafi dengan aksara Mandarin pun cukup banyak menghiasi bagian dalam gedung setinggi empat lantai itu.
Dengan penyesuaian yang dilakukan Masjid Lautze itu, semakin banyak warga Indonesia beretnis Tionghoa yang berkunjung mulai dari belajar mengenal Islam hingga memutuskan mengambil keputusan percaya pada ajaran Nabi Muhammad SAW itu sepenuhnya.
Meski berawal sebagai pusat informasi pengenalan agama Islam bagi warga Tionghoa, namun rupanya lambat laun Masjid Lautze menjadi lokasi pembelajaran toleransi antar warga.
Contohnya pada saat pelaksanaan Halal Bi Halal di masa lebaran sebelum adanya pandemi COVID-19, Masjid Lautze menggandeng pemeluk agama lainnya untuk bersilaturahmi mengisi kegiatan lewat seni musik hingga seni tari. Berangkat dari kabar itu akhirnya makin banyak orang yang tertarik untuk melihat dan merasakan langsung beribadah di Masjid Lautze.
Sampai kini, banyak wisatawan yang datang ke masjid Lautze untuk melihat bangunannya yang unik atau sengaja untuk mengikuti ceramah mingguan yang mengajarkan kebaikan tanpa adanya batasan terkait latar belakang pengunjung.