POLISI, percobaan pembunuhan, dan narkotik. Trio itulah tampaknya yang menyebabkan Gedung Mahkamah Militer Denpasar, Bali, dipenuhi sekitar 3.500 pengunjung berjejal dari ruang sidang, teras, pelataran, hingga jalan di depan gedung, Senin pekan ini. Di kursi tertuduh adalah Letkol Mucharam, Kapolres setempat. Lalu Letda Yusfianus Mahar, Kapolsek Melaya, Letda Mohammad Iriawan, Wakil Kapolsek Sanur, dan Sertu Agung Made Suyasa. Keempatnya oleh Oditur Letkol Toto SuDarto dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap Boyke Ishak (TEMPO, 12 April). Sidang pertama untuk kasus yang terjadi November tahun lalu ini memberikan giliran kepada Oditur membeberkan peristiwanya. Toto Suparto berangkat dari suatu hari di bulan November 1985, di ruang kerja Letkol Mucharam, yang dihadiri oleh keempat terdakwa. Pembicaraan waktu itu menyangkut soal operasi pemberantasan narkotik, sampai kemudian menyinggung rencana "membereskan Boyke". Beberapa hari kemudian Letda Iriawan, Wakil Kapolsek Sanur itu, salah seorang yang hadir di ruang kerja Mucharam, mengajak Yudi, adiknya, dan dua rekannya, Daeng Agus Kartoyo dan Herry, minum-minum di Bar Number One, Sanur. Usai minum-minum, mereka berangkat dengan VW Safari perak, untuk, itu tadi, "membereskan Boyke". Singkat cerita, Boyke, konon seorang pengedar narkotik, diambil dari kamar nomor 5 Julie Inn, Kuta, tempatnya menginap. Lalu mereka menuju Bangli. Di dalam VW Boyke, menurut Oditur, "Dipukuli dan diinjak-injak." Sampai di Desa Galiran, Kecamatan Susut, orang yang diculik itu dibuang ke jurang - setelah kepalanya dipelintir, dan ia ditembak. Tapi esok harinya, sekitar pukul 08.00, Mucharam kaget. Ia menerima pemberitahuan lewat telepon dari Kolonel Moh. Saleh, Asisten Intel Polda Nusa Tenggara yang adalah ayah dua bersaudara Iriawan dan Yudi, bahwa Boyke masih hidup, dan kini berada di Polres Bangli. Menurut Oditur, Kolonel Polda itu menyarankan agar Mucharam cepat menyelesaikan persoalan "mumpung belum banyak diketahui orang." Kalimat dari Oditur mi menyebabkan hadirin mengeluarkan seruan. Sidang pun riuh. Mucharam, ditemani Iriawan dan Sertu Suyasa, kemudian menjemput Boyke. Dalam keadaan diborgol Boyke dibawa ke Singaraja, ke tempat seorang "tokoh spiritual" bernama Andi Abdulrachman. Kepada Andi inilah Kapolres Denpasar itu minta agar Boyke "dibereskan", karena ia "terlibat sindikat narkotik internasional dan orangnya kebal." Andi setuju, tapi minta waktu untuk mempelajari apakah Boyke benar jahat. Ia menoreh pundak kanan Boyke. Ternyata, orang itu tidak kebal pundaknya berdarah. Tiga hari waktu yang diberikan Mucharam usai, Boyke tak juga dibunuhnya. Tiga minggu berlalu, kuping - yang diminta Mucharam sebagai bukti bahwa Boyke sudah mati - tak juga dipotongnya. Namun, selama dua bulan itu Boyke tetap di borgol di rumah Andi, sampai kemudian petugas dari Jakarta mengambilnya dari situ. Tak jelas dituturkan Oditur bagaimana tiba-tiba ada petugas dari Jakarta menjemput Boyke. Mucharam membenarkan hampir semua dakwaan itu. Hanya ia mengatakan, tak pernah ada pertemuan di ruang kerjanya untuk merencanakan pembunuhan Boyke. Iriawan juga berkelit dari dakwaan berencana membunuh Boyke malam tersebut. Bahwa Boyke terkapar di bibir jurang dan tertembak telapak kakinya, menurut Iriawan, lantaran Boyke meloncat dari mobil. "Kalau memang mau membunuhnya, saya bisa menembaknya dalam mobil," ujar Iriawan. Bahwa ia mengambil paksa Boyke dari Kuta, kata Iriawan, hanya untuk mendapatkan informasi tempat penyimpanan narkotik. Tapi Iriawan mengatakan bahwa Mucharam pernah memberikan perintah agar Boyke dibunuh. Yustianus dan Suyasa pun membantah. "Dakwaan untuk saya sama sekali tidak benar. Saya tidak tahu sama sekali dari perencanaannya sampai pada pelaksanaannya," ujar Yusti. Sedang Suyasa mengatakan hanya mendapat perintah untuk membunuh Boyke saja, tapi "tunggu perintah saya lebih lanjut," kata Mucharam, yang ditirukan Suyasa dalam sidang. Perintah lebih lanjut ternyata tak kunjung turun. Para pelaku bukan militer - seperti Kartoyo dan Yudi - masih akan diperiksa lebih lanjut untuk bisa disidangkan di pengadilan umum. Memang, semua terdakwa tak diadili bersama dalam sidang koneksitas - suatu sidang yang menurut pembela Letkol (polisi) A. Agung Arioka seharusnya diterapkan untuk perkara ini. Tapi majelis hakim yang diketuai Kolonel Iskandar Kamil beranggapan bahwa Mahkamah Militer Tinggi cukup berhak mengadili keempat terdakwa ini terpisah dari terdakwa lain. Dan dalam sidang pertama ini, para tertuduh dinyatakan tidak terlibat jaringan sindikat narkotik - sebagaimana diduga sementara pihak - melainkan mereka justru pelaku operasi narkotik. Dan bila mereka ingin menghabisi Boyke, karena orang ini dianggap menghambat operasi. Contoh Boyke menghalangi operasi dikemukakan Iriawan. Ia pernah mencoba menangkap turis asal Italia yang hendak melakukan transaksi narkotik, dengan Yudi sebagai umpan. "Tapi gagal. Dan saya melihat ada Boyke di situ," ujarnya. Karena itu, Iriawan melapor kepada Mucharam, yang kemudian Mucharam berkata, "Kalau begitu, Boyke jelas menghambat, dibereskan saja." Boyke Ishak, terlahir sebagai Jo Sing Boy di Sukabumi 22 Oktober 1954, mengaku bekerja wiraswasta, membuat pakaian. Sudah empat tahun ia tinggal di Kuta, dan selama ini tinggal di Julie Inn. Ia kadang tampak minum-minum di berbagai pub, misalnya di Hoppie's. Tentang kejadian itu, Boyke hanya bisa menuturkan patah demi patah kata. Mula-mula kamarnya digedor, lalu pintu pun terbuka, katanya. Lelaki tinggi besar Kartoyo - menyeret Boyke keluar. Di ujung gang, seorang lelaki lain mengacungkan pistol. Di mobil, selain dipukuli, Boyke hendak ditusuk pisau oleh Kartoyo. Ada suara yang melarang, "jangan, nanti darahnya ke mana-mana." Di Bangli, kepala Boyke dipuntir ke kiri dan ke kanan. Boyke lalu menahan napas, pura-pura mati, ternyata ia pingsan benar-benar. Boyke hanya mengaku kenal Iriawan saja. Lainnya tidak. Lelaki 150-an cm itu, yang di persidangan mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang untuk menutupi tato merah biru di sekujur tubuhnya, mengaku tak punya persoalan dengan para terdakwa. Hanya, "saya pernah salah paham dengan Yudi." Entah soal apa, tak dikatakannya. Hingga di sini sejumlah hal memang belum jelas. Bagaimana hubungan kolonel di Polda Nusa Tenggara itu dengan Mucharam, misalnya. Dan mengapa Boyke harus dihabisi, mengapa tak ditahan saja? Atau dibiarkan bebas, guna melacak jaringan narkotiknya, umpamanya? Sidang-sidang berikutnya, tampaknya, akan semakin seru. Zaim Uchrowi, Laporan I Nengah Weja (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini