Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Randy Lester Samusamu sedang makan siang tatkala sahabatnya, Dian Yudha Negara, meneleponnya hari itu, 24 November 2010. Dian meminta juniornya di Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung itu menemui seorang calon pembeli iPad. Karyawan perusahaan teknologi informasi itu sudah dua pekan menawarkan iPad alias sabak pintar di situs Kaskus.com.
Menurut cerita Randy, Dian menerima pesanan delapan Apple iPad-1 3G berkapasitas 16 dan 64 gigahertz. Karena itu, Dian menghubungi Randy, yang diketahui baru pulang dari pelesiran ke Singapura dan memborong enam tablet canggih tersebut. Dian, 42 tahun, dan Randy sudah lama akrab karena aktif di mailing list jurusan. "Dian tak bisa menemui pemesan karena ada rapat di kantornya," kata Randy, 28 tahun.
Randy pun meluncur dari kantor perusahaan minyak tempatnya bekerja di Jalan T.B. Simatupang ke kawasan Jalan Sudirman, Jakarta. Ia tahu pemesan itu bernama Eben Patar Opusunggu setelah BlackBerry keduanya terkoneksi. Eben meminta bertemu di WaÂroeng Kita di Citywalk saat makan siang. Lantai atas restoran itu adalah kantor tempat Dian bekerja.
Di restoran itu, Randy melihat Eben duduk bersama seorang temannya. Setelah berkenalan, Eben mulai bertanya soal iPad yang dibawa Randy. Enam sabak yang dibawanya masih terbungkus kardus putih. "Apa ada manual bahasa Indonesianya?" tanya Eben.
Randy menggeleng. Saat itulah Eben mengeluarkan secarik kertas berkop Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya. Eben mengaku sebagai polisi yang sedang ditugasi menyelidiki penjualan iPad. Teman yang duduk di sampingnya juga mengaku sebagai polisi yang satu tim dengan Eben. Polisi ini lalu membacakan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentang kewajiban manual dalam produk barang. "Saya kaget bukan main," kata Randy.
Ia kian terkejut manakala para lelaki di meja sebelah yang sebelumnya duduk cuek ikut bergabung. Semuanya mengaku sebagai polisi. Kini tujuh polisi mengerubungi Randy. Eben kemudian meminta Randy menelepon Dian agar turun dan bergabung dengan mereka. Dian pun turun dan, kepada alumnus Institut Teknologi Bandung angkatan 1988 itu, Eben kembali menunjukkan surat tugasnya. Tak lama kemudian, Eben meminta diantar ke kantor Dian, di lantai dua.
Polisi memeriksa kantor Dian. Mereka menyangka kantor itu gudang penyimpanan iPad ilegal. "Mungkin itu namanya penggeledahan," ujar Randy dengan polosnya. Tapi barang yang dicari tak ditemukan. Polisi lalu meminta Randy dan Dian ikut mereka ke kantor Polda Metro Jaya.
Hari itu juga Randy dan Dian diperiksa seputar penjualan iPad yang mereka tawarkan lewat Kaskus. Setelah berdiskusi dan berkonsultasi dengan atasan mereka, para penyidik ini menetapkan keduanya sebagai tersangka. Namun, dengan alasan keduanya harus bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta, polisi tak menahan mereka. Hanya, keduanya wajib melapor sepekan sekali.
Polisi menyusun pasal tuduhan setelah meminta keterangan pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika. Direktur Sertifikasi Kementerian Komunikasi Subagyo menerangkan, menurut Undang-Undang Telekomunikasi, iPad termasuk barang yang harus bersertifikat jika akan dijual.
Dian dan Randy pun didakwa dua pasal berlapis. Dakwaan utama adalah melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dakwaan subsidernya melanggar Pasal 52 Undang-Undang Telekomunikasi. Akumulasi hukuman untuk dua pasal ini adalah penjara lima tahun.
Kasus Dian dan Randy baru terendus media massa ketika keduanya mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa dua pekan lalu. Padahal mereka sudah menghuni Rumah Tahanan Salemba sejak 3 Mei 2011, yakni ketika berkas pemeriksaan dari polisi telah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut. Keduanya terpaksa mengajukan permohonan cuti di luar tanggungan ke kantor masing-masing, selama 20 hari masa tahanan.
Polisi pun dikecam berlebihan menangani kasus ini. Masalahnya, tak ada motif yang jelas untuk apa kasus ini disidik dan diproses ke pengadilan. Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Baharuddin Jafar, menyebutkan penangkapan penjual iPad itu untuk menelusuri jaringan penyelundupan barang elektronik dari luar negeri dan melindungi kepentingan konsumen. Tapi dakwaan yang dikenakan pada Dian dan Randy bukan soal penyelundupan.
Didit Wijayanto, pengacara Randy dan Dian, mengatakan dakwaan dua pasal yang resmi dituduhkan telah mementahkan alasan polisi menangkap kliennya. Guru besar hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, berpendapat sama. Menurut Romli, polisi semestinya menjerat Randy dan Dian dengan Undang-Undang Kepabeanan jika motivasinya soal memberantas penyelundupan. Itu pun penyelidikan dan penyidikannya dilakukan oleh petugas Bea dan Cukai, bukan polisi.
Kesaksian Inspektur Polisi Dimas Ferry Anuraga di depan sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memunculkan "motif lain" dari penangkapan ini. Dimas adalah polisi yang meneÂmani Eben tatkala "menjebak" Randy di Citywalk. Ketika hakim Samawi dalam sidang Selasa pekan lalu bertanya apa tujuan menangkap Randy dan Dian, Dimas—lulusan terbaik Akademi Kepolisian tahun 2008—menjawab tegas: "Untuk menyelamatkan perekonomian negara." Seratusan pengunjung sidang pun tertawa, karena semakin kabur apa motif polisi sebenarnya.
Kecaman kepada polisi pun kian kencang. Apalagi ketika Kementerian Perdagangan menjelaskan bahwa iPad tidak termasuk barang yang diwajibkan dilengkapi buku manual. Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu hanya mengatur secara umum bahwa semua barang harus dilengkapi panduan.
Dalam hal ini, Menteri Perdagangan pada 1999 mengeluarkan peraturan nomor 19 untuk menjelaskan pasal 52 itu. Peraturan ini dengan jelas membaÂtasi hanya 45 jenis barang elektronik dan telematika yang wajib dilengkapi buku panduan pemakaian. "IPad belum termasuk di dalamnya," kata Nus Nuzulia, Direktur Jenderal Standardisasi Kementerian Perdagangan.
Adapun dakwaan subsider soal sertifikasi iPad juga dinilai janggal. Undang-Undang Telekomunikasi memang mewajibkan barang untuk komunikasi harus mendapat sertifikat dari Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Tapi kewajiban ini hanya untuk pabÂrikan dan distributor, bukan untuk perorangan. "Untuk perorangan, sertifikasi jadi masalah kalau digugat oleh pembeli," kata Gatot Dewa Broto, juru bicara Kementerian Komunikasi.
Pengacara Randy dan Dian menyodok juga soal yang lebih gawat: penangkapan. Menurut Didit Wijayanto, penangkapan dua kliennya melanggar hak asasi karena mereka dijebak. Penjebakan, kata Didit, hanya boleh dilakukan polisi untuk tersangka tiga kejahatan serius: narkotik, terorisme, dan kejahatan terorganisasi.
Dari kesaksian Dimas di sidang, penangkapan itu terlihat kacau-balau. Menurut Dimas, surat tugas untuk tujuh polisi itu diteken Kepala Unit Kriminal Khusus Ajun Komisaris Besar Sandi Nugroho pada 24 November 2010. Masalahnya, surat tugas itu dibuat berdasarkan "laporan masyarakat" tentang transaksi iPad di Citywalk pada hari yang sama. Siapa yang melaporkan?
Lebih aneh lagi laporan para penyidik tentang penangkapan itu. Dimas, Eben, dan teman-temannya mengaku saling memeriksa sebagai saksi fakta pada pukul 12.00-12.30. "Padahal penangkapan terjadi pukul 13.00. Apa polisi punya mesin waktu?" tanya Didit.
Didit dan tim pengacara Randy-Dian berencana menggugat tindakan sewenang-wenang polisi itu. "Ini fatal, polisi tak paham dan banyak melanggar hukum acara," katanya. "Kasus ini harus dihentikan demi hukum."
Untunglah, hakim berlaku bijak. Pada sidang pekan lalu, hakim mengabulkan penangguhan penahanan yang diajukan kedua terdakwa. Randy dan Dian bisa menghirup udara bebas—entah sementara entah selamanya.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo