Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Cerita Lama, Program Baru

Sungai Pesanggrahan, Ciliwung, Citarum, dan sungai-sungai lain di Jawa tercemar. Pemerintah memprioritaskan pemulihan 13 sungai di seluruh Indonesia. Kurang koordinasi.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rio bukanlah Thio Boe Kie dalam trilogi cerita silat karya Chin Yung, yang sanggup berlari berkelebat di atas air. Tapi, dengan enteng, tanpa bekal ilmu meringankan tubuh ala pendekar silat, Rio dan tiga temannya mondar-mandir di atas aliran air Sungai Ciliwung, Jakarta.

Tentu petugas kebersihan di Dinas Pekerjaan Umum Jakarta ini tak bisa berjalan di atas air. Rio dan kawan-kawannya bisa leluasa berjalan di atas aliran Ciliwung dengan menginjak tumpukan sampah yang berjubel di pintu air Manggarai. Setiap hari paling tidak delapan kali truk mengangkut sampah dari pintu air Manggarai. "Tapi sampahnya tak pernah berkurang," kata Rio pekan lalu. Padahal sebagian sampah itu sudah dicegat di beberapa pintu air lain. Keesokan harinya, kasur, gabus, kayu, plastik, karpet, dan segala macam sampah rumah tangga kembali menutupi muka air Ciliwung.

Urusan sungai yang tercemar bukanlah cerita anyar. Perang melawan sampah di sungai ini ibarat "tugas" Sisyphus dalam mitologi Yunani: tak kunjung ada akhirnya. Sepanjang hayatnya, Sisyphus dihukum mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk menyaksikan batu itu kembali menggelundung ke bawah. Di Kali Ciliwung, Pesanggrahan, Citarum, Cisadane, Bengawan Solo, Brantas, dan puluhan sungai lain di Jawa, rupa-rupa ampas rumah tangga dan industri bersatu sejak berpuluh tahun silam.

Dua pekan lalu, Transformasi Hijau menyampaikan hasil penelitiannya di Kali Pesanggrahan yang melintasi Jakarta. Kesimpulannya, Sungai Pesanggrahan sudah tercemar ampas rumah tangga dan kimia. Menurut Manajer Program Transformasi Hijau Hendra Michael Aquan, oksigen terlarut pada air Pesanggrahan hanya 3,2 part per million (ppm). Hanya separuh dari baku mutu normal, 6 ppm. Mereka juga menemukan unsur logam berat timah hitam, merkuri, dan kromium di Pesanggrahan.

Dari hulu hingga berujung di laut, sebagian besar sungai di Jawa memang sudah "sakit" berat. Penelitian Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran menunjukkan bagaimana Sungai Citarum sudah menjadi tempat pembuangan sampah. Di daerah hulu di Kabupaten Bandung, peternak menggelontorkan ampas sapi ke anak sungai Citarum.

Masih di daerah hulu, Citarum melintasi kawasan industri tekstil Majalaya. Deni Riswandani, warga Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, menjadi saksi bagaimana industri tekstil di sekitar rumahnya kucing-kucingan dengan pengawas pemerintah kala menuangkan limbah kimia ke Citarum. "Bahkan ada yang memasang kamera di saluran pembuangan limbahnya," kata Deni beberapa waktu lalu. Ada 359 industri, 252 di antaranya industri tekstil, yang membuang sampahnya ke Citarum.

Di sepanjang aliran Citarum, ada tiga waduk besar, yakni Saguling, Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Sebagian ampas itu tertahan dan terakumulasi di waduk-waduk ini. Sunardi, Koordinator Program Ekologi Perairan Pusat Penelitian Sumber Daya Alam, mengatakan, pada ikan-ikan yang dipelihara di keramba jala apung ditemukan unsur logam berat, seperti merkuri, tembaga, kromium, dan arsenik. Kandungan serupa ditemukan pada ikan liar yang hidup di waduk.

l l l

Empat kali sudah Prigi Arisandi bersama organisasinya, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), melayangkan somasi kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Presiden Indonesia. Surat itu bersambut. Ecoton sempat diundang Kementerian Lingkungan Hidup untuk mempresentasikan sikapnya.

Tapi rupanya empat surat itu belum cukup. "Saya berencana menggugat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Prigi pekan lalu. Dia jengkel, pemerintah dia nilai membiarkan Sungai Brantas di Jawa Timur tercemar berat. Selama bertahun-tahun, Prigi melihat kualitas air Brantas tak kunjung membaik.

Pada awal April lalu, Prigi mendapat penghargaan Goldman Environmental 2011 atas pelbagai upayanya melawan para pencemar Kali Surabaya. Prigi sempat diterima Presiden Amerika Serikat Barack H. Obama di Gedung Putih seusai penganugerahan penghargaan Goldman.

Pemerintah bukannya tak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan sungai-sungai yang tercemar. Dua puluh dua tahun lalu, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim bersama delapan gubernur-DKI Jaya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung-mencanangkan Program Kali Bersih. Para pengusaha yang terbiasa seenaknya memperlakukan sungai seperti kakusnya dipaksa berjanji menghentikan ulahnya. Dalam setahun, mereka harus membangun instalasi pengolah limbah.

Kita sama mafhum, angka-angka menunjukkan para pemilik industri itu tak pernah jera. Ditambah ribuan rumah tangga yang berderet di sepanjang sungai yang menyalurkan hajat mereka ke kali, lengkap sudah status Ciliwung dan teman-temannya sebagai tempat pembuangan akhir.

Dalam Instruksi Presiden Tahun 2010 mengenai Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan, satu di antara agenda utama pemerintah adalah memulihkan 13 daerah aliran sungai yang kondisinya rusak berat. Menurut Jossie Suzanna, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Sungai Kementerian Lingkungan Hidup, di antara sungai itu adalah Ciliwung, Cisadane, Citarum, Bengawan Solo, dan Brantas. Bank Pembangunan Asia sudah bersedia mendanai "pengobatan" Citarum sebesar US$ 500 juta atau Rp 4,3 triliun.

Namun, seperti biasanya, menurut peneliti senior di Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor, Arief Budi Purwanto, masalahnya sangat klasik, yakni koordinasi. Ada banyak sekali institusi pemerintah yang terlibat. Daerah tangkapan air di hulu biasanya menjadi wewenang Kementerian Kehutanan. Infrastruktur sepanjang aliran sungai tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum. Karena sungai-sungai ini melintasi banyak kabupaten dan lintas provinsi, ada puluhan kepala daerah yang terlibat. "Yang di hulu biasanya tak peduli dengan urusan di hilir," kata Arief.

Jika urusan itu tak teratasi, seperti Prigi, kita memang selayaknya jengkel dan pesimistis.

Sapto Pradityo, Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus