Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Doa Berujung Resah

Dua pemeluk agama Bahai dihukum karena dituduh mengubah agama sejumlah anak di kampung mereka. Di tingkat kasasi, hukuman pengadilan negeri itu dikuatkan.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulut Rusmini komat-kamit merapal doa. Matanya terpejam. Tangannya mendekap buku doa yang hampir setahun ini selalu dibawa ke mana pun ia pergi. Sesekali ia melirik isi buku itu. Di sampul buku tertulis Panduan Berdoa Kerohanian Bahai. Setelah membaca kalimat dalam buku tersebut, mata perempuan 42 tahun itu terpejam kembali. Wajahnya terlihat tenang. Lalu ia membuka matanya, tersenyum kepada Tempo.

Perempuan berkulit putih ini mengaku kerap menenangkan dirinya dengan cara begitu. Ia kerap diliputi rasa waswas. Karena itu, ia tak betah berlama-lama tinggal di rumahnya di Desa Sidorejo, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur. Ia memilih menghabiskan waktu di toko sepeda atau toko jamu miliknya di pasar, yang terletak sekitar satu kilometer dari rumahnya. "Saya masih trauma," katanya. Kekhawatirannya makin menjadi-jadi lantaran sang suami, Syahroni, kini dipenjara di Rumah Tahanan Sukadana, Lampung Timur. Syahroni mendekam di sana sejak Juni 2010.

Cak Roni, panggilan akrab Syahroni, 50 tahun, bersama sejawatnya, Iwan Purwanto, 36 tahun, menjadi terpidana karena dituduh mengubah agama anak-anak tetangga mereka di Sidorejo. Keduanya penganut agama Bahai. Hakim Pengadilan Negeri Lampung Timur memvonis keduanya pada November 2010 lima tahun penjara plus denda Rp 50 juta.

Menurut hakim, keduanya terbukti melanggar Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi Lampung, tapi kalah. Lantas mengajukan kasasi. Mei lalu kasasi itu ditolak Mahkamah Agung.

Yulius Setiarto, pengacara Cak Roni dan Iwan, menyebut pihaknya kini tengah mempersiapkan pengajuan peninjauan kembali atas putusan kasasi itu. Menurut Yulius, polisi dan jaksa memeriksa kliennya di bawah tekanan masyarakat yang tak memahami kasus ini. Yulius menilai hakim juga menggunakan konstruksi hukum yang salah untuk menangani perkara itu. "Jaksa juga tidak bisa membawa saksi yang menyebut keduanya mengajarkan Bahai kepada anak-anak itu."

Kasus ini bermula saat cucu Roni, berinisial Z, 9 tahun, mengajak lima belas temannya mengikuti bimbingan belajar di rumah kakeknya pada Juni tahun silam. Saat itu Z juga mengajak anak Iwan Purwanto yang berusia 14 tahun. Menurut Rusmini, yang diajarkan di sana menggambar, bermain, dan berperilaku baik. Pengajarnya didatangkan dari Jakarta. "Kami tidak mengajarkan agama Bahai kepada anak-anak itu," kata Rusmini.

Warga mulai gempar ketika tiga anak SD makan di sebuah warung mi ayam di pasar Desa Sidorejo. Mereka mendengar ketiganya berdoa sebelum makan dengan kalimat dan nada yang asing di kuping. "Doanya, jadikanlah intisari kebersihan di antara umat manusia," kata Asep Suhendri, mengutip bunyi doa itu. Asep adalah salah satu orang tua yang menduga anaknya telah diberi pelajaran Bahai. Warga langsung menginterogasi ketiga anak itu. Mereka mengaku mendapat pelajaran itu dari rumah Roni.

Warga pun berang. Mereka ramai-ramai mendatangi rumah Roni. Mereka menyeret pria yang kerap menjadi pembawa acara di Desa Sidorejo tersebut ke Kepolisian Resor Lampung Timur. Roni langsung ditahan. Dua pekan kemudian giliran Iwan Purwanto yang ditahan polisi. Seperti Roni, ia dituduh mengajari agama Bahai kepada anak-anak. Menurut Yulius, warga sempat menawarkan kedua orang itu pindah masuk agama Islam jika tak ingin kasus itu diperpanjang. "Keduanya menolak dan memilih melanjutkan kasus ini," kata Yulius.

Mursid Rifai, Sekretaris Desa Sidorejo, menyebut tindakan Roni sangat mengganggu kenyamanan warga. Desa mereka, katanya, adalah permukiman yang rukun. Masjid dan gereja berdiri berdampingan. Mereka tak pernah saling mengganggu. Roni selama ini juga dikenal sebagai warga yang dermawan dan selalu terlibat kegiatan desa. "Kami kecewa karena baru sekarang mereka mengaku beragama Bahai," katanya.

Wakil Majelis Rohani Nasional Bahai, Sheila Soraya, menyatakan tak mungkin Roni dan Iwan merahasiakan identitas mereka. Ajaran Bahai mewajibkan umatnya melakukan sosialisasi kepada lingkungan sekitar bahwa mereka pemeluk Bahai. "Itu wajib hukumnya," kata Soraya. Majelis Rohani, ujar Soraya, juga tak percaya keduanya telah mengubah agama anak-anak itu. Ini, menurut Soraya, karena dalam Bahai ada peraturan yang sangat tegas, jika ada anak-anak masuk agama Bahai, harus ada persetujuan tertulis dari orang tuanya.

Roni menegaskan dirinya tak pernah mengubah keyakinan anak-anak seperti dituduhkan jaksa. Di pengadilan, pria yang memeluk Bahai sejak 1980 ini menyebut kesalahan utamanya adalah membiarkan anak-anak itu bermain di rumahnya. Saat itu ia mengaku hanya mencoba ramah kepada anak-anak.

Ditemui Tempo di penjara, Roni tak mau bercerita lagi tentang kasusnya. Ia mengaku kini pasrah. "Saat ini tetangga saya sudah tenang. Kami tak mau mereka resah lagi," ujarnya.

Mustafa Silalahi (Jakarta) Nurochman Arrazie (Lampung Timur)


Bukan Agama Sempalan

Di Indonesia pemeluk agama Bahai diperkirakan lima ribu orang. Dari jumlah itu, dua ratus tercatat tinggal di Jakarta. "Sisanya menyebar di berbagai daerah," ujar Sheila Soraya, Wakil Majelis Rohani Nasional Bahai.

Soraya mengakui, penganut Bahai tak banyak. Bahai tak memiliki konsep syiar atawa dakwah. "Bahai memang tak agresif menggalang pengikut baru," ujarnya. Menurut dia, Bahai dalam ajarannya bahkan menyatakan, mengajak orang menganut Bahai merupakan perbuatan terlarang. "Memeluk Bahai harus dengan kesadaran sendiri," kata Soraya. Di seluruh dunia penganut agama ini diperkirakan hanya enam juta.

Agama Bahai muncul di Iran pada 1863. Bahaullah, yang berarti kemuliaan Tuhan, orang pertama yang mendeklarasikan agama ini. Bahaullah menyatakan dirinya rasul. Ia lalu menulis kitab-kitab Bahai dan peraturan hidup yang menjadi pegangan pengikutnya. Semua kitab hasil tulisan tangannya yang berjumlah puluhan itu hingga kini masih tersimpan di Balai Keadilan di Bukit Karmel, Haifa, Israel. Di sana pula Bahaullah dimakamkan. Bahai masuk Indonesia pada 1885, dibawa dua tabib Iran, Jamal Effendi dan Sayyid Mustafa Rumi.

Soraya menegaskan, Bahai bukan agama sempalan dan tak merujuk agama mana pun, kendati istilah Bahai kental dengan budaya Arab. "Wajar karena Bahaullah memang besar di Timur Tengah." Di Indonesia, kata Soraya, banyak orang menganggap Bahai sempalan dari Islam. Adapun di Barat, Bahai justru identik dengan Kristen.

Seperti agama Islam, Bahai mengenal konsep puasa, yakni dari 2 hingga 20 Maret. Setelah itu, mereka merayakan hari raya yang disebut Nawruz. Setiap hari mereka melakukan sembahyang tiga kali. Bisa dilakukan dengan berdiri atau sujud sembari membaca doa. Salah satu kitab suci Bahai adalah Aqdas.

Sejumlah negara masih menganggap Bahai tabu. Presiden Sukarno juga sempat melarang agama ini ada di Indonesia. Bahai dianggap sebagai penyimpangan agama Islam. Pada 2002 Presiden Abdurrahman Wahid, lewat keputusannya nomor 69/2002, mencabut larangan itu. Hasran Haraham, Kepala Kejaksaan Negeri Sukadana, Lampung Timur, menyatakan Bahai tak dilarang. "Bahai itu agama mandiri," katanya kepada Nurochman Arrazie dari Tempo.

Kendati sudah tak dilarang, kenyataannya penganut agama itu tetap saja kerap mendapat kesulitan jika, misalnya, mengurus kartu penduduk. Pokok pangkalnya selalu pada kolom agama. Mereka diperintahkan menulis agama Islam atau Kristen, bukan Bahai. Jika mereka menolak, ktp tak keluar. "Saya sudah dua puluh tahun lebih tak membuat surat nikah karena terus dipersulit," kata Soraya.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus