Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebutir ekstasi membuatnya harus mendekam di penjara selama empat tahun. Dira, bukan nama sebenarnya, masih mengingat jelas peristiwa yang membuat ia terdampar di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang, Banten. Dua tahun lalu, bersama sejumlah temannya, ia merayakan pesta tahun baru 2007 di Pulau Bidadari, pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang paling dekat dengan Jakarta.
Pada malam tahun baru itulah temannya menyorongkan sebuah pil merah muda, ekstasi. ”Saya disuruh mencicipi,” ujar remaja 18 tahun ini kepada Tempo, di LP Anak Tangerang, Selasa pekan lalu. Malang, saat itu aparat keamanan menggelar operasi antinarkoba. Dira tertangkap karena di kantongnya ditemukan sebutir pil ekstasi. Ia dijebloskan ke tahanan Polres Jakarta Utara. Dira dijerat dengan Pasal 62 Undang-Undang Psikotropika. Pasal ini memberikan ancaman hukuman pidana maksimal lima tahun bagi siapa pun yang memiliki, menyimpan, atau membawa psikotropika.
Pada pertengahan 2007 vonis untuk Dira pun jatuh. Hakim menghukumnya empat tahun penjara, persis dengan tuntutan jaksa. ”Saya kaget sekali, tidak bisa membayangkan bagaimana masa depan saya,” ujarnya. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.
Kisah mirip Dira dialami pula oleh Adi—juga bukan nama sebenarnya. Remaja 17 tahun ini tertangkap membawa satu linting ganja tatkala aparat menggelar operasi narkoba. Polisi menemukan barang haram itu di dalam bungkus rokoknya. Pertengahan tahun lalu majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang menghukum remaja ini empat tahun penjara. Artinya, ia akan bebas paling cepat pada 2010 nanti.
PARA pemakai narkoba seperti Dira dan Adi inilah yang kini banyak memenuhi penjara di Indonesia. Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, kasus seperti Dira dan Adi—yang dihukum karena terbukti memiliki beberapa biji pil ekstasi atau selinting ganja—banyak ditemukan. ”Mereka ini korban lingkungannya,” ujar Kepala LP Anak Tangerang, F. Haru Tamtomo.
Dua pekan lalu, dengan pertimbangan, antara lain, agar tidak semua kasus narkoba berujung ke penjara, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran yang isinya meminta hakim menempatkan pemakai narkoba ke panti terapi dan rehabilitasi.
Dalam surat yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa pada 17 Maret 2009 itu, disebutkan bahwa pemakai pertama narkoba yang tertangkap tangan dengan barang bukti satu kali pakai hendaknya divonis dengan mengirimkannya ke panti rehabilitasi. Jumlah barang bukti ”satu kali pakai” yang diatur dalam surat itu: heroin atau putauw maksimal 0,15 gram; kokain 0,15 gram; morfin 0,15 gram; ganja satu linting; ekstasi satu butir, dan sabu 0,25 gram.
Menurut juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, ada sejumlah alasan Mahkamah mengeluarkan surat tersebut. Selain untuk menempatkan pengguna narkoba sebagai korban, juga lantaran kondisi lembaga pemasyarakatan kita yang jauh dari memadai untuk proses pemulihan korban narkoba. ”Jadi, daripada dihukum, lebih baik ditempatkan di panti rehabilitasi,” ujar Djoko.
Ketentuan baru ini, kata Djoko, mengacu pada Undang-Undang Narkotika (UU No. 22/1997) dan Undang-Undang Psikotropika (UU No. 5/1997), yang menyatakan hakim dapat memerintahkan terdakwa kasus narkoba memperoleh fasilitas perawatan. ”Jadi, kami memberikan gambarannya kepada hakim,” kata Djoko. ”Ini mengikat secara internal.”
Haru Tamtomo menyambut positif surat edaran tersebut. Menurut Haru, para pemakai narkoba memang harus disembuhkan, bukannya dimasukkan ke penjara. ”Kami bukan ahlinya menyembuhkan pemakai narkoba,” ujarnya. Menurut Haru, dari 225 anak penghuni LP Pria Tangerang, 72 anak atau sekitar 30 persen adalah pemakai pemula. Mengirim anak-anak korban narkoba ke penjara, kata Haru, justru bisa membawa dampak buruk bagi para bocah tersebut. ”Hak tumbuh dan berkembang mereka terhambat.”
Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Untung Sugiono mengatakan, dari sekitar 136 ribu narapidana di Indonesia, 40 persennya (sekitar 50 ribu) terkait kasus narkoba. Dari jumlah itu, sekitar 40 ribu orang pengguna narkoba tingkat awal. Menurut Untung, seharusnya mereka ini dimasukkan ke panti rehabilitasi, sekaligus tidak semakin membuat sesak penjara. ”Mestinya lembaga pemasyarakatan menjadi pilihan terakhir untuk mereka yang melakukan kejahatan,” kata Untung.
Kendati sudah dilansir dua pekan lalu, tak semua hakim ternyata mengetahui perintah penting terbaru dari Mahkamah Agung itu. ”Saya belum tahu,” kata Suharto, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. ”Nanti, kalau sudah terima, akan saya pelajari,” ujarnya lagi. Adapun hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sugeng Riyono, menyatakan bahwa penerapan surat edaran itu harus ekstra-hati-hati. ”Ini bisa berbenturan dengan hukum positif yang ada,” tuturnya.
Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika, kata Sugeng, memang menyebutkan hakim dapat memerintahkan terdakwa narkoba memperoleh perawatan. Namun, ujarnya, di sisi lain undang-undang tersebut juga mengatur sanksi pidana bagi mereka yang membawa dan memiliki barang haram tersebut. Nah, hakim, ujarnya, selalu mempertimbangkan pandangan masyarakat terhadap bahaya laten narkoba dan tuntutan yang diajukan jaksa. Jaksa, katanya, biasanya juga akan mengajukan banding jika putusan yang dijatuhkan hakim kurang dari dua pertiga tuntutan. ”Kalau begini, perkara akan bertumpuk,” katanya.
Kekhawatiran juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan. Menurut Jasman, surat edaran Mahkamah itu rawan disalahgunakan. ”Bisa saja seseorang mengaku korban, tapi sebenarnya dia pengedar, atau jangan-jangan bahkan bandar narkoba,” katanya.
Celah seperti ini, kata Jasman, bisa juga digunakan oleh oknum aparat penegak hukum yang menangani kasus narkoba. Jasman mengaku hingga kini memang belum ada jaksa yang menuntut terdakwa dengan pasal-pasal dalam UU Psikotropika atau UU Narkotika agar terdakwa divonis mendekam di panti rehabilitasi narkoba. ”Karena pasal ancaman pidananya masih berlaku,” ujarnya.
Namun Djoko tak setuju jika surat edaran Mahkamah itu disebut rawan disalahgunakan. Menurut dia, di persidangan akan terungkap, seseorang itu korban, pengedar, atau bandar. ”Boleh saja mengaku sebagai pemakai pertama, tapi kan ada saksi dan bukti lain,” katanya. Djoko menegaskan, para hakim juga harus selektif menerapkan aturan ini. ”Kalau tidak masuk kategori untuk masuk rehabilitasi, ya, jangan dihukum dengan dikirim ke rehabilitasi,” ujarnya. Status rehabilitasi sendiri, kata Djoko, merupakan hukuman bagi terdakwa narkoba.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo