Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#CC3300>Penyitaan Pesawat</font><br />Burung Besi Terkurung Utang

Pengadilan memerintahkan tujuh pesawat Batavia disita lantaran maskapai itu memiliki utang ke Garuda. Untuk pertama kalinya ada penyitaan pesawat.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan dari Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, itu menjadi bahan pertimbangan­ majelis hakim Pengadilan Niaga menunda putusan perka­ra PT Garuda Maintenance Faci­lity ­(GMF) Aero Asia melawan PT Me­tro Bata­­via. Isi laporan: juru sita pengadilan ke­sulitan menemukan sebagian pesa­wat Batavia yang menjadi obyek sita ja­minan. Maka, Rabu pekan lalu, majelis pun mengetukkan palu: menunda sidang hingga dua pekan ke depan.

Perintah sita pesawat itu sudah keluar sejak awal Maret lalu. Berlarut larutnya proses penyitaan lantaran panitera Pengadilan Negeri Tangerang tidak memiliki panduan perihal tata cara eksekusi sita jaminan aset bergerak seperti pesawat. Itu memang kasus pertama penyitaan pesawat di negeri ini. Alhasil, pengadilan pun melibatkan Departemen Perhubungan untuk melakukan pencatatan register pesawat yang disita.

Tak hanya dalam hal penyitaan, sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Niaga juga bimbang mengabulkan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) yang diajukan GMF Aero Asia terhadap PT Metro Batavia pada 4 Maret lalu. Penyitaan ini merupakan bagian dari gugatan GMF sehubungan dengan utang jatuh tempo perawatan pesawat yang belum dilunasi Batavia yang besarnya US$ 1,192 juta (Rp 18,3 miliar). GMF meminta sepuluh unit pesawat 737200 milik Batavia—benarbenar milik Batavia dan bukan lea­sing—di­sita sebagai jaminan pembayaran utang 29 kontrak perawatan pesawat yang jatuh tempo pada medio 2008.

”Kami sempat raguragu apakah pesawat bisa jadi obyek sita,” kata Sugeng Riyono, ketua majelis hakim kasus ini, kepada Tempo pekan lalu. Sebab, ujar Riyono, ketentuan tentang ini belum diatur dalam UndangUndang Perdata di Indonesia. UndangUndang Pener­bangan? Sama saja. Majelis lantas meminta pandangan dua saksi ahli: pakar hukum perdata M. Yahya Harahap dan pakar hukum penerbangan K. Martono.

Dalam kesaksiannya, Yahya mengatakan, berdasarkan tafsir UndangUndang Hukum Acara Perdata Pasal 27 dan UndangUndang Hukum Perdata Pasal 1131, pesawat bisa jadi obyek sita jaminan. Pasal 196 UndangUndang Hukum Perdata, menurut Yahya, juga menyebutkan pesawat bukan merupakan alat perdagangan yang tergolong ”perkakas” dalam menjalankan mata pencarian debitor.

Martono menguatkan hal itu. Ia berpendapat, konvensi internasional penerbangan seperti Cape Town Convention, yang telah diratifikasi Indonesia, tidak melarang penyitaan pesawat. Hukum Acara Perdata, ujarnya, juga memberikan penafsiran, pesawat udara untuk kepentingan komersial boleh disita. Hanya, ujarnya, karena memiliki kepentingan pelayanan publik, pesawat yang disita tetap boleh beroperasi. ”Sita itu kan hukum perdata, beroperasi itu hukum administrasi,” kata Martono.

Urusan perdata, menurut Martono, ditangani pengadilan. Sedangkan ihwal operasi ditangani Departemen Perhubungan. Pengadilan, ujarnya, tidak punya wewenang menghentikan opera­si pesawat. Menurut dia, semua jenis pesawat milik maskapai dianggap laik disita sebagai jaminan. ”Khusus pesawat, bisa disita tetapi masih bisa dioperasikan,” kata Martono.

Karena sita jaminan tidak berlaku ­untuk barang yang mudah dipindah pindahkan, Yahya memberikan catatan. Ia meminta penyitaan pesawat harus diikuti pembatasan wilayah terbang, yaitu hanya di wilayah Indonesia. Tujuannya, untuk mempermudah eksekusi sita jaminan. ”Pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan sita jika pesawat berada di luar negeri,” kata Yahya.

Keterangan dua saksi inilah yang menguatkan keyakinan majelis hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan GMF untuk menyita pesawat Batavia. Cuma, dari sepuluh pesawat yang diminta GMF, hanya tujuh yang disita. Nilainya dianggap bisa menutup utang Batavia. Tujuh pesawat itu terlebih dahulu dicatat dan diperiksa nomor serinya, register pesawat, mesin, dan auxiliary power unit. Semua informasi ini masuk berita acara sita. ”Putusan diambil jika berita acara pelaksanaan sita selesai,” kata Sugeng.

Tapi prakteknya memang tak mudah menyita burung besi itu. Menurut kuasa hukum GMF, Sadly Hasibuan, kesulitan eksekusi terjadi untuk tiga pesawat Batavia lainnya yang sering berpindahpindah karena sedang dioperasikan. Juru sita tidak pernah menemukan tiga pesawat itu di lokasi eksekusi, antara lain di hanggar Batavia di Bandara SoekarnoHatta. Jadi, hingga kini baru empat pesawat yang sudah rampung menjalani proses eksekusi sita­­nya. ”Kami minta, saat pelaksanaan sita, pesawat di lokasi,” kata Sadly. ”Setelah itu boleh terbang lagi.”

Lain GMF, lain pula Batavia. Menurut kuasa hukum Batavia, Samuel L. Tobing, juru sita pengadilan dan GMF tidak punya tata krama dalam melaksanakan sita jaminan. Eksekusi ke hanggar Batavia, misalnya, dilakukan tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Menurut Samuel, para penyita itu datang bak debt collector. Samuel menilai mereka menyalahgunakan penetapan sita jaminan. ”Karena datang tidak sesuai prosedur, kami tolak,” kata Samuel.

Maskapai penerbangan ini sejak awal memang keberatan terhadap turunnya penetapan sita pesawat tersebut. Penetapan ini, menurut Samuel, bertentang­an dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 1975, yang menyatakan aset yang disita nilainya tidak jauh dari nilai gugatan. Tujuh pesawat oleh PT Metro Batavia diklaim total sekitar US$ 7 juta (sekitar Rp 107 miliar), hampir tujuh kali lipat utang Batavia. ”Jadi, ini aneh sekali,” ujar Samuel.

Hakim Sugeng Riyono menyatakan, tujuh pesawat tersebut belum tentu semuanya laik jual. Menurut dia, jikapun kelak ada kelebihan, nilai kelebihan itu dikembalikan ke Batavia. ”Sebaliknya, jika kurang, GMF boleh mengajukan permohonan sita lagi,” ujarnya. Pihak GMF sendiri tidak yakin tujuh pesawat itu bisa dijual dengan harga tinggi. Apalagi salah satu pesawat, menurut Sadly, tak ada mesinnya. ”Jadi, praktis tinggal enam. Itu pun cuma laku di Afrika.”

Menurut Sadly, kasus penyitaan pesawat itu tak akan terjadi jika saja Batavia tak mengajukan gugatan kerusakan dua engine pesawat mereka. ”Mereka menggugat GMF wanprestasi, sedangkan Batavia sendiri wanprestasi soal utang perawatan,” kata Sadly.

Batavia sebelumnya memang menuding anak perusahaan PT Garuda Indonesia ini mengingkari kontrak perbaikan mesin pesawat mereka yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1.000 jam terbang. Saat itu Batavia meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai 300 jam sudah ngadat. GMF menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesa­lahan pengerjaan. Menurut Sa­dly, belakangan diketahui, mesin ngadat itu juga bekas mesin pesawat Adam Air yang hard landing di Surabaya pada Februari 2007.

Ini yang membuat pihak Batavia naik pitam. Pada April 2007 Batavia pun meng­gugat GMF US$ 5 juta (Rp 76 miliar) ke Pengadilan Negeri Tangerang. Me­diasi sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu. Pada Agustus 2008 Ba­tavia mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebulan kemudian GMF melakukan pembalasan, membawa perkara utang Batavia itu ke meja hijau.

Di meja hijau, Batavia keok. Gugatannya ditolak pengadilan satu pekan setelah pengadilan menetapkan sita ja­minan. Namun maskapai yang berope­rasi sejak 2002 itu tetap menggunakan alasan klaim engine ini untuk tidak membayar kewajibannya. ”Kami tunda pembayaran utang sebelum ke­wajiban GMF dipenuhi,” kata Samuel.

Majelis hakim Pengadilan Niaga meng­anggap alasan ini tidak masuk akal. Menurut Sugeng, jika jalan damai ditempuh, perkara utang tidak perlu dilanjutkan. Tapi tampaknya Batavia ­memang memi­lih bertempur terus di meja hijau.

Anton Aprianto

Mesin Rusak Gugatan Keluar

Juni 2006
Batavia membeli mesin ESN 857854 dan ESN 724662 dari Debisin Air Supply Pte. Ltd. Singapura. Lalu dimasukkan ke GMF untuk memenuhi standar nasional.

12 September 2007
Mesin selesai diperbaiki dan digunakan untuk pesawat rute Jakarta-Balikpapan.

23 Oktober 2007
Mesin ESN 857854 rusak setelah terbang 300 jam terbang. Dimasukkan ke bengkel garansi, tetapi ditolak GMF. Mesin ESN 724662 tidak rusak.

25 April 2008
Batavia menggugat GMF ke Pengadilan Negeri Tangerang atas kasus mesin ini.

5-10 Agustus 2008
Batavia memindahkan gugatan mereka ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

25 September 2008
GMF Aero Asia menggugat Batavia soal utang perawatan.

4 Maret 2009
Pengadilan mengabulkan permohonan sita jaminan pesawat Batavia atas perkara utang

11 Maret 2009
Gugatan Batavia perkara mesin ditolak pengadilan.

1 April 2009
Sidang putusan utang perawatan ditunda karena BAP sita belum masuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus