Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM khusus itu sudah siap bergerak ke Makassar. Dibentuk Selasa pekan lalu, tim yang terdiri atas sejumlah anggota Komisi Yudisial tersebut akan menelisik penanganan kasus korupsi di Pengadilan Negeri Makassar. ”Tahap awal, kami akan menghubungi pihak-pihak yang dirugikan dan meminta salinan putusan,” kata anggota Komisi Yudisial, Sukotjo Suparto.
Komisi perlu membentuk tim khusus itu lantaran dua bulan terakhir ini Pengadilan Ngeri Makassar mengeluarkan putusan mengejutkan: membebaskan satu per satu tersangka kasus korupsi. Total, selama dua bulan terakhir, tercatat 35 terdakwa kasus korupsi tersenyum lebar lantaran mendapat ”kado” dari Pengadilan Negeri Makassar.
Putusan inilah yang membuat sejumlah lembaga antikorupsi di Kota Angin Mamiri itu berteriak. Mereka tidak saja mencurigai ada kongkalikong di balik putusan tersebut, tapi juga meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memeriksa para hakim yang menangani kasus korupsi itu. Menurut Soekotjo, semua hasil dan data yang didapat tim itu segera dibahas dalam rapat pleno di Jakarta. ”Nanti baru diputuskan apakah para hakim yang menangani perkara korupsi itu perlu dipanggil atau tidak,” katanya.
Menurut Sukotjo, ada beberapa pertimbangan mengapa Komisi sepakat mengirim tim. Selain kasusnya menjadi perhatian publik, Komisi menangkap rumor adanya permainan uang dalam putusan itu. ”Dalam dua bulan ada 35 terdakwa korupsi dibebaskan. Itu fantastis,” katanya. Komisi juga memiliki rekam jejak para hakim yang membebaskan para tersangka kasus korupsi itu. ”Salah satu anggota majelisnya pernah diperiksa Komisi,” ujar Koordinator Hubungan Antarlembaga Komisi Yudisial tersebut.
Kemarahan para aktivis antikorupsi di Makassar meledak ketika akhir Maret lalu Pengadilan Negeri Makassar menjatuhkan vonis bebas terhadap Basmin Mattayang dan Andi Baso Gani, mantan bupati dan sekretaris daerah Kabupaten Luwu. Adapun terdakwa lain, Muhammad Sabila bin Mangambe, mantan pelaksana tugas kepala bagian keuangan Luwu, ”hanya” dihukum satu tahun plus denda Rp 25 juta.
Sebelumnya, ketiga mantan pejabat itu didakwa menyelewengkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2004 senilai Rp 1 miliar. Dana pos darurat tersebut mereka bagikan kepada anggota Dewan sebagai uang tunjangan purnabakti.
Sebagai penerima duit, 28 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Luwu periode 1999-2004 sudah diajukan ke meja hijau. Mereka dijerat dengan pasal-pasal korupsi. Pada 23 Maret lalu, pengadilan sudah memutus perkara ini. Semua dinyatakan tak bersalah: bebas. Dakwaan primer dan subsider yang disusun tim jaksa dengan anggota Yeni Andriani, Amir Syarifuddin, Amir Rahmat Santoso, dan Imran Yusuf dianggap tak bisa dibuktikan. Jadi, dari 31 terdakwa kasus korupsi dana tak terduga Kabupaten Luwu, hanya Muhammad Sabila yang dihukum.
Putusan ini mengundang protes pihak Sabila, yang merasa diperlakukan tidak adil dan dikorbankan. Wahyuddin M. Nur, pengacara Sabila, menilai terjadi tebang pilih dalam perkara itu. Menurut Wahyuddin, dalam kasus ini kliennya hanya anak buah yang melaksanakan perintah atasan. ”Sebagai kepala bagian keuangan, dia tidak punya kuasa menolak disposisi bupati,” kata Wahyuddin. ”Kenyataannya, ia dihukum, sementara para pemimpinnya dibebaskan.”
Tiga berkas perkara ini ditangani majelis hakim yang sama, yang beranggotakan Syarifuddin Umar, Yulman, Kemal Tampubolon, Goseng Butar-Butar, dan Indra Cahya. Dalam perkara korupsi dana darurat itu, suara majelis terbelah. Syarifuddin Umar, Yulman, dan Indra Cahya menyatakan dakwaan jaksa tak ada yang terbukti. Menurut Sukotjo, Syarifuddin, ketua majelis hakim yang memeriksa kasus tersebut, juga pernah diperiksa Komisi Yudisial lantaran membebaskan tersangka korupsi.
Berbeda dengan tiga rekannya, Kemal Tampubolon dan Goseng Butar-Butar menyatakan dissenting opinion. Meski dakwaan primer, memperkaya diri atau orang lain, tak terbukti, kedua hakim ini menyatakan dakwaan subsider—penyalahgunaan wewenang—terbukti. Tapi, lantaran mereka kalah suara, majelis akhirnya memutus bebas terdakwa. Satu-satunya kesepakatan ”bulat” yang diambil adalah ”status Sabila”. Majelis hakim sepakat Sabila melakukan penyalahgunaan wewenang seperti yang dituduhkan dalam dakwaan subsider jaksa.
Bulan sebelumnya, Pengadilan Negeri Makassar juga membebaskan lima terdakwa kasus korupsi kredit fiktif pembelian mobil pada PT Bank Nasional Indonesia Cabang Makassar. Mereka adalah Direktur PT Tiga Sengkang, Tadjang, dan karyawannya, Basri; pengusaha dealer mobil Jusmin Dawi dan karyawannya, Ashari; serta petugas teller Bank Rakyat Indonesia Somba Opu, Darmawan Daraba. Ketua majelis hakim yang menangani kasus ini juga Syarifuddin Umar. Anggotanya Zainuri dan Goseng Butar-Butar.
Menurut Sukotjo, banyaknya perkara korupsi yang lolos di tangan Pengadilan Negeri Makassar memang menimbulkan sejumlah pertanyaan: apakah karena lemahnya dakwaan yang disusun jaksa atau justru ada sesuatu di balik penanganan perkara itu?
Di Makassar sendiri, khususnya di kalangan wartawan, kini beredar rekaman pembicaraan yang diduga berisi suara mantan anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi dana darurat Luwu itu dan kini telah bebas. Dalam rekaman berdurasi 5 menit 16 detik itu, pemilik suara yang mirip suara mantan anggota Dewan itu mengaku telah mengeluarkan uang tunda Rp 10 juta dan Rp 500 juta untuk hakim. ”Saya bayar di kamar mandi pengadilan,” ujar suara dalam rekaman itu.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Abdul Muttalib, banyaknya terdakwa kasus korupsi yang bebas itu merupakan indikator lemahnya jaksa merumuskan dakwaan dan membuktikan unsur-unsur korupsi. ”Ini dampak tuntutan target menangani kasus korupsi yang diinstruksikan Kejaksaan Agung,” katanya. Menurut dia, tuntutan target itu tak sepadan dengan profesionalisme jaksa. ”Bobot dakwaan cenderung tidak berkualitas. Yang penting target terpenuhi,” katanya.
Kepala Kejaksaan Negeri Makassar M. Isa Ansary menyatakan pihaknya sudah semaksimal mungkin melakukan tugas mereka. Menurut Isa Ansary, bebasnya para terdakwa perkara korupsi dana darurat Luwu itu memang merupakan keganjilan. ”Perbuatan itu dilakukan bersama-sama, tapi hukuman yang didapat berbeda,” ujarnya.
Tudingan kini memang mengarah tajam ke Pengadilan Negeri Makassar. Ketua Pengadilan Negeri Makassar Asli Ginting menyatakan pihaknya kini memang tengah menelaah kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat tersebut. Anggota majelis hakim yang membebaskan para tersangka korupsi itu, ujar Asli, sudah dipanggil pengadilan tinggi.
Sebagai kepala pengadilan, Asli menegaskan tidak pilih-pilih dalam menunjuk hakim yang menangani kasus korupsi. ”Yang saya lihat kemampuannya,” katanya. Soal rekaman pembicaraan yang menyebut-nyebut ada sogokan terhadap hakim, Asli mengaku belum mendengarnya. ”Jika ada, berarti hakim itu sangat tercela,” katanya.
Ramidi, Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo