Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) memberikan catatan penting di Hari Ulang Tahun ke-78 Tentara Nasional Indonesia. Sepanjang 2018-2022 terdapat 338 kasus kekerasan melibatkan TNI meliputi penganiayaan, penyiksaan, penembakan, hingga tindakan tak manusiawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Walau terdapat berbagai kasus kejahatan sipil mulai dari yang ringan hingga pelanggaran HAM berat, bahkan yang viral dibicarakan publik, mayoritas kasus tidak diselesaikan dengan baik, dibiarkan begitu saja dan berujung impunitas,” kata Ketua PBHI, Julius Ibrani, dalam keterangan tertulis pada Jumat, 6 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Julius, TNI seolah tak tersentuh dan berlindung di balik peradilan militer yang tak kunjung direvisi. Padahal di Undang-Undang menegaskan semua orang berhak atas perlakuan sama di hadapan hukum. “Sudah 25 tahun reformasi, tapi perlakuan khusus terhadap oknum TNI masih dilanggengkan,” tutur dia.
Julius menuturkan, perlakuan khusus itu menjadikan peradilan militer sarang impunitas. Karena penolakan dalam pemenuhan proses hukum yang adil melalui peradilan umum selalu ditolak dengan dalih hanya tunduk pada hukum militer. Penolakan ini didasari pada Pasal 74 UU Peradilan Militer, mengatakan: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat UU Peradilan Militer baru diberlakukan. (2) Selama UU Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Julius menjelaskan, ketentuan ini menjadikan peradilan militer sebagai sarang impunitas yang menyebabkan oknum TNI tidak dapat diadili melalui peradilan umum. UU Peradilan Militer, tutur dia, sebagai produk warisan Orde Baru yang otoriter dan militeristik. “Hingga hari ini belum direvisi dan masih berwatak anti-reformasi,” kata dia.
Selain itu, TNI mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi supaya batas usia pensiun diganti menjadi 60 tahun bagi perwira, dan 58 tahun untuk bintara dan tamtama. Julius mengatakan gugatan ini sarat dengan muatan politik dan upaya membuka peluang bagi individu tertentu menempati jabatannya lebih lama.
“Padahal dalam jangka panjang hal ini berpotensi memperbanyak perwira non-job yang akan melahirkan konflik antar-personil,” ucap dia.
Pilihan Editor: Panglima TNI Siap Pensiun pada 26 November, Ingin jadi Petani