Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mitsubishi Pajero Sport hitam bernomor AB-1110-TE meluncur membelah hujan di Perumahan Klodran Indah Tengah, Kelurahan Klodran, Kecamatan Colomadu, Karanganyar, Selasa malam pertengahan Juni lalu. Sang pengemudi, Denny Nur Cahyanto, malam itu hendak menjemput putrinya yang baru kelar mengikuti pelatihan Pasukan Pengibar Bendera di Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, sekitar 15 menit perjalanan dari kediamannya. Suasana perumahan yang sunyi sama sekali tak membuat Denny waswas. Ia sudah biasa melalui kawasan tersebut.
Tapi kenyamanan perjalanan Ketua Umum Dewan Muda Complex-Barisan Muda Indonesia itu serta-merta berubah ketika ia bersua dengan dua pengendara sepeda motor Honda Beat yang berhenti di dekat tempat pembuangan sampah. Melihat kendaraan Denny melintas, sang pembonceng mengeluarkan pistol. Dor, sebuah peluru menerjang kaca depan kendaraan Denny. Peluru itu tak tembus, hanya mengenai wiper.
Denny belum sepenuhnya mafhum apa yang terjadi. Pria 46 tahun itu baru sadar menjadi sasaran penembakan setelah sebuah letusan kembali terdengar disertai suara pecahan kaca. Kali ini sebuah peluru menerjang kaca pintu tengah bagian kanan kendaraannya dan menembus kaca pintu depan kirinya. Denny langsung tancap gas. Namun para pengendara itu justru mengejarnya.
Lari ke arah Kota Solo, Denny dan para pemburunya terlibat aksi kejar-kejaran selama beberapa saat. Tak dapat mengelak, pria yang akrab dipanggil Dencis itu lantas menginjak rem secara mendadak di depan sebuah minimarket di Jalan Adisumarmo. Aksinya berhasil. Para pemburunya kaget dan menabrak bagian belakang kendaraan Denny. Mereka terpelanting, tersungkur.
Melihat sejumlah orang yang ada di minimarket itu, Denny berteriak minta tolong. "Maling... maling!" Teriakan calon anggota legislatif dari Partai Persatuan Pembangunan itu memancing perhatian Juli Siswanto, pedagang kebab di depan minimarket. Nahas, pria 22 tahun yang berupaya menghalangi kedua pemburu Denny itu justru menjadi korban. Salah satu dari kedua orang itu menembak lengan kanan Juli. Mereka lalu meninggalkan sepeda motor Honda Beat yang tergeletak, kabur melalui gang di samping minimarket. Juli dibawa ke rumah sakit. Malam itu, setelah diobati, ia diperkenankan pulang.
Pelaku penembakan terhadap Denny itu sempat dikejar oleh petugas Kepolisian Resor Kota Solo, yang beberapa saat kemudian tiba di lokasi kejadian, tapi tak berbuah hasil. Hingga sekarang, polisi masih kesulitan menemukan siapa penembak Denny itu. Meskipun demikian, kepolisian sudah meningkatkan kasus ini dari tahap penyelidikan ke penyidikan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Surakarta Komisaris Guntur Saputro mengatakan peningkatan status tanpa penetapan tersangka ini lazim dilakukan. Tujuannya, kata dia, agar penyidik bisa mengumpulkan alat bukti dan keterangan dengan lebih intensif. Menurut dia, kerja polisi terhambat karena saksi pemilik sepeda motor yang digunakan untuk melakukan penembakan itu tak pernah memenuhi panggilan polisi. "Saksi yang merupakan warga Boyolali itu saat ini tengah berada di Jakarta. Hingga kini polisi belum punya gambaran siapa pelaku penembakan," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Denny sendiri menyatakan tak mau lagi mengingat-ingat kejadian itu. Ditemui Tempo di kediamannya, dia mengaku tak tahu siapa penembaknya dan motifnya. "Saya enggak punya musuh, jadi saya enggak pernah kepikiran siapa pelaku penembakan itu," ucapnya.
Kendati ditangani polisi, kenyataannya kasus ini seperti jalan di tempat. Setidaknya inilah yang dirasakan pengacara Denny, Arif Sahudi. "Bahkan informasi mengenai penembakan itu simpang-siur," katanya. Sejumlah informasi yang diterimanya menyatakan kasus ini kini sudah dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Atas informasi itu, pihaknya mengirim surat ke Polres Surakarta. "Kami ingin mengetahui apa masih di Polres atau benar sudah dikirim ke Polda Jawa Tengah," ujarnya. Surat itu belum mendapat balasan.
Menurut Arif, polisi seharusnya tak kesulitan menemukan pelaku penembakan itu. Dia mengatakan kliennya pernah mengungkapkan beberapa fakta tentang penembakan pada Juni lalu itu, termasuk memberitahukan kemungkinan pelakunya. Namun dia menolak memberitahukan siapa orang yang dimaksud. "Tetap harus ada alat bukti yang kuat dan saksi yang menguatkan. Tidak bisa asal tuduh," katanya.
Kepada Tempo, seorang rekan Denny mengatakan sejumlah alat bukti yang dimiliki polisi mengarah kepada seseorang bernama Edi Santoso. Itu diperoleh dari nomor polisi AD-4431-QS yang tertempel pada sepeda motor Honda Beat yang digunakan saat penembakan Denny. Nomor itu, menurut dia, tercatat milik sepeda motor Yamaha Jupiter dengan nama pemilik Edi Santoso. Sedangkan Honda Beat tersebut diketahui milik seorang perempuan bernama Indah. "Edi itu tangan kanan Kodik, personel Kopassus yang kena kasus Cebongan. Kalau Indah itu pacarnya Kodik," ujarnya.
Kodik yang dimaksud adalah Kopral Satu Kodik, satu dari 12 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura, yang terlibat kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta, Maret 2013. Peristiwa berdarah tersebut dipicu oleh tewasnya rekan Kodik, sesama anggota Kopassus, Sersan Kepala Heru Santoso, di Hugo's Cafe, Yogyakarta. Heru tewas setelah terlibat perkelahian dengan kelompok Komando Inti Keamanan (Kotikam) pimpinan Hendrik Benyamin Sahetapy alias Deki.
Polisi saat itu sebenarnya sudah menangkap Deki dan tiga anak buahnya: Yohanis Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Kodik cs rupanya tak puas terhadap penanganan kasus ini oleh polisi. Mereka pun membunuh keempat tersangka di LP Cebongan, tempat Deki dan kawan-kawan ditahan.
Pengadilan militer sudah menghukum para penyerang Cebongan tersebut. Pada September 2013, Kodik divonis enam tahun penjara. Majelis hakim juga memerintahkan Kodik dan dua rekannya, yang disebut sebagai dalang penyerangan Cebongan, dipecat dari Kopassus. Dua anggota Kopassus itu adalah Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon, yang divonis sebelas tahun, dan Sersan Dua Sugeng Sumaryanto,yang divonis delapan tahun penjara. Ketiganya mengajukan permohonan banding atas vonis tersebut.
Selain tiga orang itu, sejumlah anggota yang terlibat penyerangan dijatuhi hukuman-kendati tak seberat yang diterima Kodik atau Ucok. Sersan Satu Tri Juwanto, Sersan Satu Anjar Rahmanto, Sersan Satu Martinus Robert Paulus Benani, Sersan Satu Suprapto, dan Sersan Satu Herman Siswoyo, misalnya, masing-masing dihukum satu tahun sembilan bulan penjara.
Menurut seorang penegak hukum di Yogyakarta, jejak Kodik cs juga tercium dalam sejumlah peristiwa penembakan yang terkait dengan peristiwa Cebongan di Yogyakarta. Mei lalu, Ketua Kotikam Harun Al Rasyid menjadi korban penembakan di pelataran parkir Cafe Nevada, Yogyakarta. Harun dan Deki adalah dua pentolan Kotikam. Pria 60 tahun itu ditembak di dalam kendaraannya oleh orang tak dikenal. Hingga kini, pelaku penembakan terhadap Harun masih gelap.
Agustus 2013, sipir Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Agus Susatyo, juga tewas ditembak orang tak dikenal di halaman rumahnya. Dia dikenal dekat dengan Deki, yang sempat dua kali mendekam di penjara itu. Agus juga berada di Hugo's Cafe saat Heru dan Deki bertikai. "Peluru yang digunakan oleh penembak Agus, Harun, dan Denny sama. Sembilan millimeter, jenis pistolnya FN," ujarnya.
Seorang tokoh Kotikam di Yogyakarta menyatakan Kodik dan sejumlah rekannya kerap terlihat di daerah perbatasan antara Yogyakarta dan Kalasan, Jawa Tengah. "Mereka, terutama, sering nongkrong di daerah seputaran Prambanan," tuturnya.
Pekan lalu Tempo menghubungi Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal M. Fuad Basya perihal berkeliarannya Kodik cs. Fuad membantah kabar bahwa anggota Kopassus yang terlibat kasus penyerbuan dan penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan masih berkeliaran di luar jeruji penjara. Dia menjamin mereka tengah menjalani hukuman sesuai dengan putusan hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.
Fuad juga membantah jika mereka disebut terlibat sejumlah peristiwa penembakan di Yogyakarta dan Solo. Perihal banding mereka, ia mengaku belum tahu hasilnya. "Kalau sudah tetap hukumannya, mereka pasti mendekam di Cimahi," kata Fuad, menyebut penjara khusus militer itu.
DI kalangan masyarakat Solo, Denny Nur Cahyanto bukan nama biasa. Menjejakkan kaki di Solo sejak 1996, ia sempat bekerja sebagai agen asuransi sebelum banting setir ke dunia "tagih-menagih utang". Pada 2003, Denny membentuk kelompok bernama Distrik Minapa di Cangakan, yang belakangan berubah menjadi Dewan Muda Complex-Barisan Muda Indonesia (DMC-BMI). Dalam waktu sekejap, DMC berubah menjadi kelompok besar. Mereka menguasai bisnis jasa pengamanan di sejumlah tempat hiburan di Solo sekaligus kerap terlibat bentrokan dengan kelompok lain. Sejumlah anak buah Denny juga tak jarang berhadapan dengan aparat kepolisian. "Singkat kata, mereka jadi semacam kelompok preman terorganisasi," ujar seorang tokoh masyarakat Solo kepada Tempo.
Kebesaran nama DMC-BMI membuat kelompok ini memiliki banyak musuh. Salah satunya kelompok Boyolali, yang belakangan kerap berseteru dengan kelompok Denny. Kelompok Boyolali disebut-sebut sebagai "binaan" Kodik cs. Meskipun berjumlah lebih kecil, mereka dianggap memiliki nyali yang besar lantaran tak segan-segan menggunakan senjata api dalam aksinya.
Hubungan kedua kelompok ini pasang-surut. Menurut sumber Tempo yang mengenal dua kelompok itu, Kodik beberapa kali sempat bertandang ke rumah Denny, sekadar bertamu atau "minta upeti". Kendati demikian, di lapangan, gesekan di antara dua kelompok itu terus memanas. Sepanjang April-Juni lalu, misalnya, belasan kali dua kelompok ini terlibat gesekan, yang beberapa di antaranya nyaris berujung pada baku hajar. Menurut sumber itu, kelompok Kodik berupaya menggeser Denny cs dari Solo. "Ini sebenarnya hanya masalah wilayah dan duit," kata sumber ini.
Meningkatnya eskalasi konflik kedua kubu membuat Denny merasa nyawanya terancam. Menurut sumber Tempo, atas nasihat sejumlah orang, ia kemudian berangkat ke Jakarta, meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Karena dia sangat merasa tidak aman, terancam," ujar sumber ini. Denny menolak dimintai konfirmasi soal ini.
Pekan lalu Tempo menemui Komisioner LPSK Edwin Partogi. Dia adalah "pintu gerbang" penerima pengaduan saksi atau korban yang ingin meminta perlindungan ke LPSK. Edwin membenarkan kabar bahwa lembaganya menerima laporan Denny. "Laporannya kami terima 11 Juli lalu," katanya. Ketika ditanya bentuk perlindungan apa yang diberikan kepada Denny, Edwin menggeleng. "Kami tak bisa membeberkan seperti apa laporannya dan perlindungannya," ujarnya.
Febriyan, Indra Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo