Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Duit yang Mengalir dari Doha

Di satu sisi, Qatar dituduh menyokong berbagai kelompok teroris. Di sisi lain, negara itu dibutuhkan sebagai "penengah" dalam perundingan.

20 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepintas, orang mungkin tak menyangka pemilik beberapa restoran di Doha yang selalu penuh tamu kalangan atas itu dulu adalah penyokong dana bagi kelompok milisi antirezim Bashar al-Assad di Suriah. Di puncak perlawanan pada 2012-2013, sebanyak 13 ribu milisi di bawah kendalinya menguasai Deir Ezzor, kota di bagian timur Suriah.

"(Mereka) bagian dari Free Syrian Army (FSA/Tentara Pembebasan Suriah). Mereka setia kepada saya," kata Hossam, pengusaha bidang kuliner itu, kepada Foreign Policy. "Saya memiliki tim yang bagus untuk bertempur."

Hossam adalah pria setengah baya asal Suriah. Dia meninggalkan negeri kampung halamannya pada 1996 setelah tak tahan dengan tekanan terus-menerus akibat dukungannya kepada Al-Ikhwan al-Muslimun. Di Qatar, perlahan ia membangun bisnisnya hingga berhasil memiliki beberapa restoran di Ibu Kota Doha.

Ketika perang saudara meledak di Suriah pada 2011, dan Qatar tak mendukung Assad, Hossam mulai turun tangan. Ia bergabung dengan para "penengah" atau mediator yang ditugasi Doha mendukung kebijakan mereka, menyokong oposisi Suriah. Saat itu, karena belum ada kelompok yang terorganisasi, orang-orang di Qatar membantu orang asing dan pengusaha yang menjanjikan bisa mengumpulkan "pejuang" dan senjata.

Hossam pun langsung menyumbangkan tabungannya. Dana ini lalu digabungkan dengan sumbangan dari berbagai sumber lain, bahkan termasuk dari orang-orang di bawah pengawasan Menteri Luar Negeri Khalid bin Mohammad al-Attiyah. Pada saat itu, uang begitu mudah dia gelontorkan. Rakyat sipil tersentuh sumbangan mereka, yang biasanya berbentuk makanan, selimut, obat-obatan, bahkan rokok.

Namun "pemerintah" Qatar tak bisa terus menyumbang. Pada pertengahan tahun lalu, dukungan dana mulai menipis. "Duit memainkan peran besar di FSA. Dan, pada titik itu, kami tidak punya lagi," ujar Hossam. Dia menyatakan tak lagi mengirimkan sumbangan ke Suriah.

l l l

Hossam hanya salah satu tokoh pinggiran dalam jaringan tempat bersandarnya kelompok perlawanan juga milisi bersenjata, bahkan teroris di beberapa negara muslim, di antaranya Suriah, Libya, Somalia, Afganistan, dan Yaman. Kelompok ini tak hanya berisi orang-orang swasta, tapi juga individu yang bekerja di kantor pemerintah. Seperti yang dilansir The Telegraph sekitar sepekan lalu, Amerika Serikat merilis informasi bahwa salah satu penyokong dana Al-Qaidah, Salim Hasan Khalifa Rashid al-Kuwari, adalah pegawai di Kementerian Dalam Negeri Qatar.

Qatar, menurut Brahma Chellaney, profesor studi strategis di Centre for Policy Research di New Delhi, dalam tulisannya di Project Syndicate, telah menjadi penggerak kelompok-kelompok Islam radikal. Masjid Agung yang megah di Doha menjadi saksi pengiriman milisi militan ke Suriah, Yaman, dan Tunisia.

Qatar juga menjadi penyetor dana dan senjata ke berbagai negara, seperti Afganistan, Palestina, dan Pakistan. Bahkan Doha juga menjadi "rumah" bagi beberapa kelompok militan yang kadang masuk kategori teroris versi Amerika atau Perserikatan Bangsa-Bangsa. Misalnya Hamas dan Taliban. Tak jarang Doha menjadi tuan rumah pertemuan dan perundingan yang melibatkan beberapa kelompok radikal, seperti pemberontak Darfur dengan pemerintah Sudan.

Negeri yang dipimpin emir berusia 34 tahun, Tamim bin Hamad al-Thani, itu menjadi pesaing Arab Saudi, negeri Wahabi yang selama ini dikenal sebagai negara "penyokong" ekstremis Islam di berbagai penjuru dunia. Dilansir Foreign Policy, Doha telah menjadi pusat sumber dana dan senjata bagi kelompok ekstremis Islam sejak awal 2000-an. Namun, baru pada 2003, Kongres Amerika menyadari sejumlah kelompok sosial di Qatar banyak membantu kelompok yang terkait dengan Al-Qaidah.

Ketika gerakan prodemokrasi Arab Spring mewabah di Timur Tengah, sentuhan tangan jaringan Qatar pun melebar. Libya sasaran pertama. Kebetulan Qatar, bersama Uni Emirat Arab, segaris dengan koalisi Barat: membantu menyingkirkan pemimpin Libya, Kolonel Muammar al-Gaddafi.

Tapi Doha tak mau serangan udara saja. Mereka juga membantu di darat, membangun kekuatan pemberontak. Koran The Wall Street Journal menyebutkan jaringan Qatar berhasil mengumpulkan puluhan juta dolar Amerika dan 20 ribu ton senjata. Seorang pejabat Barat mengungkapkan, menjelang penggulingan Gaddafi, Qatar mengirimkan pesawat kargo penuh senjata untuk "Libyan Dawn" di Misrata, sekitar 160 kilometer dari Tripoli. "Bahkan, setelah jatuhnya pemerintah Libya, Qatar masih mencoba menerbangkan senjata ke Misrata," katanya kepada The Telegraph.

Tangan-tangan dari Qatar kemudian menjalar ke Suriah saat Arab Spring menular ke negeri di bawah Al-Assad ini. Washington menyeru Assad agar mundur. Tak lama setelah itu, Qatar "masuk". "Ketika kami memulai batalion kami (pada 2012), Qatar mengatakan kirim kepada kami daftar anggota kalian. Kirim daftar apa yang kalian inginkan-gaji dan dukungan yang diperlukan," ucap Hossam.

Sahabat-sahabat jaringan Qatar di luar negeri ikut bekerja. Pada Juni 2012, Kementerian Urusan Sumbangan dan Islam Qatar mengundang ulama Salafi muda Kuwait, Hajjaj al-Ajmi, untuk berceramah di Kota Al-Khor, sekitar 34 kilometer dari Doha. Saat itu, ulama yang dituduh Departemen Keuangan Amerika sebagai penyokong Jabhat al-Nusra ini menyatakan sumbangan kemanusiaan tak akan menjatuhkan rezim Suriah. "Tahukah kalian bahwa menjatuhkan Damaskus tidak akan memakan biaya lebih dari US$ 10 juta," katanya. Jadi, "Prioritasnya adalah mendukung kelompok jihad dan mempersenjatai mereka."

Setelah itu, banyak orang Qatar mengalirkan sumbangannya lewat orang Ajmi, Mubarak al-Ajji.

Di Suriah, Qatar bersisian dengan Barat dan beberapa negara Arab lain, menyumbang kelompok penentang Bashar al-Assad. Qatar mengirim senjata dan dana kepada kelompok Ahrar al-Sham, yang menurut Menteri Luar Negeri Qatar Khalid al-Attiyah merupakan kelompok asli Suriah.

Ahrar al-Sham memainkan peran penting dalam pertempuran di Aleppo, bersama-sama dengan Jabhat al-Nusra-yang oleh Amerika dimasukkan ke daftar teroris. Ahrar al-Sham sempat sekubu dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), tapi berpisah tahun lalu.

Tak mengherankan, tudingan mengongkosi Jabhat al-Nusra diarahkan ke Doha. "Mereka bertanggung jawab atas sebagian uang, senjata, dan segala keperluan Jabhat al-Nusra," ujar seorang diplomat kepada The Telegraph. Tudingan bahwa Qatar menyokong kelompok-kelompok teroris pun tak terelakkan.

Dalam kenyataannya, pemerintah Qatar selalu menyangkal. Lewat sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri Khalid bin Mohammad al-Attiyah mengatakan: "Negara Qatar tidak memberikan dukungan, dalam bentuk apa pun, kepada kelompok-kelompok radikal yang meneror warga sipil tak berdosa dan menggoyahkan kawasan Timur Tengah. Seperti yang terus kami katakan berulang-ulang, kami meyakini bahwa tindakan mereka adalah jahat, mengundang kebencian, dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam."

l l l

Keberadaan orang-orang seperti Hossam dan teman-temannya, juga pemerintah Qatar, cukup unik di mata Barat. Di satu sisi, negeri kaya berpenduduk 2,1 juta orang itu dituding memainkan peran sangat besar dalam kekisruhan di berbagai negara dan memperkuat pertumbuhan kelompok-kelompok radikal Islam, terutama yang bersenjata. Di sisi lain, Qatar juga dianggap mitra penting.

Doha memberikan berbagai "fasilitas", seperti penggunaan pangkalan udara Al-Udeid untuk menampung 8.000 personel militer Amerika dan 120 pesawat, termasuk supertanker untuk pengisian bahan bakar pesawat mereka. Fasilitas ini sangat penting bagi operasi Amerika dan sekutunya ke kawasan Irak dan Suriah untuk membasmi ISIS.

Selain itu, Doha menyediakan fasilitas lain, kamp As-Sayliyah, sebagai markas Komando Pusat Amerika. Pada Juli lalu, Qatar menyetujui pembelian senjata dari Amerika seharga US$ 11 miliar.

Bahkan Doha selalu dikontak bila Amerika dan sekutunya memerlukan bantuan dalam berurusan dengan teroris. Qatar-lah yang membantu pertukaran tentara Amerika, Bowe Bergdahl, yang ditawan Taliban, dengan lima tokoh Taliban yang ditahan di fasilitas Amerika di Teluk Guantanamo. Untuk memfasilitasi negosiasi, Qatar sampai menyediakan sebuah rumah, dengan dukungan Amerika, untuk misi diplomatik Taliban. Mereka juga menampung lima tokoh penting Taliban yang baru dibebaskan dari Guantanamo.

Doha juga yang dimintai tolong saat Jabhat al-Nusra menawan jurnalis Amerika, Theo Curtis, yang kemudian dibebaskan pada Agustus lalu. Informasi yang diperoleh Foreign Policy menyebutkan bahwa kepala intelijen Qatar, Khalifa al-Kubaisi, mengirim pesan pendek yang memang singkat, done, ditambah simbol jempol, setelah pembebasan Curtis beres. Washington menyebut Qatar sebagai "mitra berharga bagi Amerika Serikat".

"Amerika memiliki alat untuk memonitor transfer uang dari pemerintah atau kelompok terkait dengan pemerintah suatu negara ke kelompok ekstremis. Tapi intelijen adalah satu hal, dan bagaimana bereaksi adalah hal lain," kata Jean-Lousi Bruguiere, mantan kepala Program Pelacakan Pendanaan Teroris Departemen Keuangan Amerika-Uni Eropa, yang sekarang bermarkas di Paris.

Sekutu dekat Amerika, Inggris, juga tak unjuk kegalakan kepada Qatar. Investasi negeri Tamim bin Hamad al-Thani di Inggris sangat besar. Harrods yang terkenal itu dimiliki pengusaha Qatar. Begitu pula banyak properti di Inggris, di antaranya I Hyde Park, blok apartemen paling mahal di London, dan Shard, gedung tertinggi di ibu kota Inggris itu.

"Kami mendorong kemajuan upaya mencegah pendanaan terorisme dari orang-orang di kawasan Teluk. Kami melakukan percakapan yang jujur dengan semua mitra di Teluk, termasuk Qatar," ucap seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Inggris.

Tapi negeri tetangga sangat gusar. Tahun lalu Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab mulai marah besar karena peran Qatar dalam berbagai kericuhan di Timur Tengah. Mereka bahkan mengancam menutup perbatasan darat dan mendepak sementara Qatar dari Dewan Kerja Sama Teluk. Puncaknya, Maret lalu, mereka menarik duta besarnya di Doha.

Doha kemudian menunjukkan respons positif. Pada September lalu, mereka meminta tujuh tokoh Al-Ikhwan al-Muslimun Mesir meninggalkan ibu kota.

Qatar juga menunjukkan iktikad mengatasi terorisme. Misalnya Kementerian Keuangan dan bank sentral bekerja sama dengan pemerintah negara lain menghalangi pengiriman dana ke kelompok teroris. Bulan lalu, pemerintah mengeluarkan perundangan yang mengatur sumbangan sosial dan mencegah kelompok penyumbang terlibat dalam kegiatan politik.

Sedangkan Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan Interpol dan aparat keamanan internasional lain. "Kami juga anggota forum antiterorisme global," kata Menteri Luar Negeri Khalid bin Mohammad al-Attiyah.

Selain itu, di Washington, Doha mengontrak perusahaan pelobi Portland PR Inc untuk bekerja selama enam bulan. Mereka ditugasi menjelaskan kepada Kongres di Washington, juga ke media. Qatar berupaya mempercantik citra.

Purwani Diyah Prabandari (Foreign Policy, The Telegraph, Project-Syndicate.org)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus