Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ada Obat di Dalam Keramik

Terapi seni dipandang efektif untuk menangani problem kejiwaan ataupun nonkejiwaan.

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Kasim. Umur 33 tahun. Hobi? Tak jelas. Yang jelas adalah kelakuannya: suka uring-uringan, curiga berlebihan, bicaranya kacau. Dan jangan tanya pola pikirnya. Kalau ingin mengajak Kasim bercanda, sebaiknya pikir-pikir dulu. Diajak omong biasa-biasa, Kasim mengira diledek. Di-ajak senyum? Dia justru naik darah. Tapi cobalah sodorkan sehelai kanvas. Si Kasim akan menyambar kuas, men-cocokkan ujungnya ke dalam tinta, lalu mencoret-coret kanvas itu dengan garis yang tak tentu arah. Pikirannya tenggelam dalam keasyikan sembari tangannya terus bergerak. Untuk sesaat, dunia di sekitarnya tenang kembali.

Tak jauh dari tempat si Kasim beraksi, seorang dokter jiwa mengamati pelukis dadakan itu dengan penuh perhatian. Adegan di salah satu ruang Rumah Sakit Darma Graha, Tangerang, ini bukan kelas latihan menggambar. Ini metode pengobatan bagi pasien skizofrenia paranoid akut. Bahasa sekolahannya: art therapy alias terapi seni. Materi pengobatan ini pula yang didiskusikan dalam workshop art therapy dua pekan lalu di Kampus Universitas Indonesia, Depok.

Corat-coret yang dihasilkan pasien, betapapun aneh bentuknya, akan diteliti oleh terapis karena apa yang tertera di kanvas adalah cermin emosi mereka. Dari situ, dokter akan mengomentasi hasil karya si pasien melalui dialog-dialog santai sembari melakukan "reparasi" kejiwaan. Dalam kasus Kasim, ia kembali hidup normal setelah empat tahun menerima terapi ini. Prestasi yang lain, ia menghasilkan belasan lembar lukisan selama masa terapi.

Terapi seni tak melulu dipakai untuk gangguan kejiwaan berat. Untuk menangani kasus unik seperti tics—mata berkedip dalam frekuensi tinggi—terapi ini tokcer juga. Itulah pengalaman Monty P. Satiadarma, ahli terapi seni lulusan Emporia State University, Kansas, AS. Caranya? Kliennya yang masih berumur 4 tahun, sebut saja Budi, dimintanya membuat garis. Bagi anak kebanyakan, ini soal gampang. Bagi Budi, ia harus memaksa keras matanya agar tidak berkedip setiap kali mengerjakan tugas itu. Dengan demikian, dia melihat bentuk coretannya sendiri.

Cuma dalam empat pertemuan selama empat pekan— satu jam setiap kali—mata Budi kembali normal. "Kuncinya adalah kasih sayang. Kalau kita menyuruhnya dengan nada marah, matanya bakal makin sering berkedip," ujar Monty. Dia menjelaskan, terapi ini bisa meliputi seni lukis, patung, keramik, dan fotografi. Dan menurut Monty, metode ini efektif untuk mengatasi persoalan kejiwaan ataupun nonkejiwaan manusia.

Tentu saja penerapannya tidak bisa hantam kromo. Karakter pasien harus cocok dengan metode ini. "Terapi seni diberikan karena kita tahu ia amat kreatif," ujar Irmansyah, salah satu dokter spesialis jiwa yang menerapi Kasim. Sebelumnya, Kasim dicekoki obat, di samping mendapatkan sejumlah terapi lain, umpamanya relaksasi, diskusi, dan olahraga. Tapi kesembuhan Kasim dipercepat setelah ia bergaul dengan kanvas lukisan. Kegiatan itu amat membantunya berlatih konsentrasi. Bagi dokter terapis, hasil lukisan pasien tersebut ibarat materi diagnosis untuk mengetahui kondisi emosinya. Pada tahap selanjutnya, si dokter akan memutuskan "reparasi" jiwa model apa yang mesti ditanamkan untuk menghalau habis paranoia yang telah menghunjam jauh-jauh ke diri Kasim.

Urusan berseni-seni ini tak selamanya jitu. Jika pasien yang tak suka seni dipaksa menerima terapi ini, hasilnya justru melenceng alias kian memperburuk kondisi pasien. Di sinilah ketepatan analisis dalam memilih metode terapi menjadi syarat mutlak. "Singkatnya, terapis harus fleksibel," kata Monty, yang sudah menangani sekitar 100 kasus—sebagian di antaranya penderita skizofrenia paranoid akut—dengan terapi seni ini.

Terapi seni belum banyak dikenal dan dipraktekkan di sini. Padahal banyak penderita gangguan kejiwaan yang mestinya bisa ditolong dengan pendekatan tersebut. Sekadar bayangan, di Indonesia sekarang terdapat sekitar dua juta pengidap skizofrenia. Namun, sejauh ini terapi seni masih hanya menjadi salah satu alternatif dibandingkan dengan aneka terapi lain yang sudah jauh lebih dulu dikenal. Selain itu, terapis yang ingin terjun ke bidang ini mesti khatam pula dalam hal seni selain menguasai ilmu-ilmu pokok kejiwaan seperti psikologi dan psikiatri. Alhasil, "Kita amat miskin ahli terapi seni, kecuali kalau orang mau belajar ke luar negeri," ujar Budi Matindas, dosen Jurusan Psikologi Eksperimen Fakultas Psikologi UI.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus