Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kubangan Racun di Sungai Bekasi

Pencemaran sungai-sungai di Bekasi sudah keterlaluan. Tapi kenapa dari 3.000 pabrik cuma dua yang ditindak?

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIADA lagi bedanya sungai dengan septic tank. Itulah keadaan sungai-sungai di Bekasi, Jawa Barat. Sungai-sungai itu ditumpahi buangan dari jamban di sepanjang sungai dan limbah sabun rumah tangga. Namun, yang lebih mengerikan, sembilan sungai itu bagai bak sampah bagi limbah cair dari ratusan pabrik di sekitarnya.

Contohnya Sungai Bekasi, yang paling parah kondisinya. Sungai berwarna kecokelatan itu seperti ular berbisa yang menakutkan. Dan itu bukan hanya bagi manusia. Ikan-ikan penghuninya pun kini lenyap. ”Dulu orang masih sering memancing di sini. Sekarang yang ada cuma ikan sapu-sapu,” kata Yanto, yang tinggal di Kampung Teluk Buyung, Bekasi.

Meski tempat tinggalnya berhadapan dengan sungai, Yanto tak pernah memanfaatkan air sungai. Sungai itu sepuluh tahun lalu masih bisa digunakan untuk mandi dan cuci, tapi kini hanya bisa untuk tempat pembuangan sampah. Anak-anak pun kini menjauhi sungai yang dulu berair tenang dan sering dipakai sebagai tempat bermain itu.

Menurut Yanto, penduduk sekarang takut dengan sungai. Apalagi di Bekasi saat ini terdapat ratusan industri yang membuang limbahnya ke sungai.

Agaknya ketakutan Yanto dan segenap warga lainnya tidaklah berlebihan. Sebab, empat bulan lalu, sebuah lembaga swadaya masyarakat, Pusat Peranserta Masyarakat Bekasi, menguji kadar pencemaran di sembilan sungai yang mengalir di Bekasi. Mereka mengujinya di laboratorium Sucofindo, sebuah lembaga surveyor. Hasilnya, ”Semua sungai di Bekasi tercemar,” kata Abid Marzuki, koordinator Pusat Peranserta Masyarakat Bekasi.

Semua sungai? Ya, sembilan sungai itu ternyata sudah diracuni pelbagai zat kimia yang melampaui ambang batas. Zat kimia dimaksud antara lain amonia, besi, tembaga, dan nikel. Bahkan kadar biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) berlipat kali dari ambang batas (lihat tabel). Selain itu, meski dalam jumlah kecil, sungai-sungai itu menggotong merkuri.

Pencemaran itu, menurut Abid, jelas bisa mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat dan produktivitas lahan. Jika masyarakat mengonsumsi air sungai itu, akibatnya adalah penyakit kulit dan pencernaan. Bersamaan dengan itu, petani di wilayah Bekasi Utara juga makin kesulitan memperoleh pasokan air bagi lahannya.

Bulan lalu, Pusat Peranserta Masyarakat Bekasi bersama Pemerintah Daerah Bekasi segera melaporkan temuan itu ke Menteri Lingkungan Hidup. ”Limbah industri di Sungai Bekasi sudah keterlaluan,” kata Bupati Bekasi, Wikanda Darmawijaya.

Saat ini, industri yang beroperasi di Bekasi berjumlah sekitar 3.000 perusahaan. Itu sebabnya Bupati berharap pemerintah pusat menjatuhkan sanksi pada industri pencemar. Anehnya, Menteri Lingkungan malah menyerahkan masalah itu ke daerah.

Akhirnya, dua pekan lalu, muncul vonis dari Subdinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi. Dua perusahaan yang diduga sebagai pencemar, yakni PT Godin Nusantara Asri dan PT AHA, ditutup.

Godin, perusahaan pembuat pelat aksesori kendaraan dan elektronik, dianggap terbukti membuang nikel dan tembaga—dua logam yang masuk kategori limbah beracun—melalui pipa ke lahan warga, selokan, dan kali di sekitar lokasi pabriknya. Perusahaan ini diharuskan membongkar pipa pembuangan limbah cair dan menutupnya secara permanen. Sementara itu, PT AHA, yang memproduksi pemecah plastik, dinilai telah menyebabkan polusi suara. Kedua perusahaan itu harus berhenti beroperasi sampai mereka berhasil mengatasi pencemaran.

Selain itu, 39 perusahaan lain mendapat kartu kuning. ”Masih ada 200 perusahaan lagi yang kami curigai,” kata Ady Miftah, Kepala Subdinas Lingkungan Hidup Bekasi. Saat ini sebuah tim pemantau pencemaran lingkungan sedang menyurvei ratusan perusahaan tersebut.

Sekalipun demikian, Ady masih berargumentasi bahwa pencemaran sungai Bekasi tidak hanya berasal dari industri di Bekasi. Sungai-sungai di Bekasi, katanya, merupakan muara dari sejumlah sungai yang menjadi tempat pembuangan industri di Purwakarta, Karawang, dan Bogor. Inilah yang menyebabkan pencemaran menumpuk di Bekasi. Misalnya pencemaran di Sungai Cileungsi yang berasal dari sejumlah pabrik penyamakan kulit dan cat di Bogor. ”Kami harus berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Bogor untuk menyelesaikan kasus Sungai Cileungsi,” ujar Ady.

Persoalannya: efektifkah law enforcement tersebut? Buktinya, menurut pengamatan Pusat Peranserta Masyarakat Bekasi, sampai kini dua perusahaan yang ditutup tadi, PT Godin dan PT AHA, masih beroperasi. Keduanya juga tetap membuang limbah ke sungai.

Lebih dari itu, sepertinya sanksi hukum administrasi di atas tak berarti buat beberapa perusahaan besar di Bekasi. Perusahaan-perusahaan besar ini, misalnya PT Kertas Bekasi Teguh, juga cuma dikenaki peringatan. Padahal hasil uji limbah di pipa pembuangan pabrik kertas itu menunjukkan kandungan amonia dan COD-nya tujuh kali lipat di atas ambang batas.

Toh, pemimpin pabrik PT Kertas Bekasi Teguh, Ali Purmono, membantah temuan itu. Ia bersikukuh bahwa pabriknya tak mencemari Kali Bekasi. Menurut dia, pabrik di kawasan Bekasi Utara itu sudah memiliki instalasi pengolah limbah. ”Sampai saat ini, hasilnya selalu di bawah ambang batas yang ditentukan,” ucapnya.

Sementara itu, Sudarsono, Deputi Penegakan Hukum di Kementerian Lingkungan Hidup, lebih melihat masalah pencemaran sungai di Bekasi karena faktor kesalahan daerah dalam merancang peruntukan wilayah. Soalnya, sungai di Bekasi sebenarnya hanya mampu menampung buangan dari 35 industri. Tapi, ”Kenyataannya rata-rata setiap sungai menanggung beban dari 200 pabrik,” kata Sudarsono.

Akan halnya pencemaran berbagai bahan kimia di sungai-sungai Bekasi, menurut Utomo Dewanto, ahli toksikologi (ilmu tentang racun) di Universitas Indonesia, belum perlu dikhawatirkan masyarakat. Kadar amonia, BOD, dan COD, umpamanya, tak akan meracuni manusia. Itu bila air sungai tak dikonsumsi secara langsung oleh warga. Pencemaran akan menjadi amat berbahaya bila ada merkuri atau timbel dalam air sungai. ”Sekecil apa pun, kedua zat ini akan menumpuk dalam tubuh dan meracuni,” kata Utomo.

Agung Rulianto, Agus Hidayat, Budi Riza (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus