Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Parlemen dan Krisis Konstitusi

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Widjojanto
  • Anggota Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru

    PARLEMEN tengah menuai masalah. Perubahan konstitusi yang sedang mereka lakukan dipersoalkan oleh beberapa anggotanya sendiri. Lucunya, mereka tidak menggunakan mekanisme prosedural dalam parlemen saat mempersoalkan hal tersebut. Tampaknya kelompok ini hendak "menghinakan" dan "menyabotase" seluruh hasil kerja MPR. Terbukti dari tudingan beberapa anggota parlemen yang juga terlibat dalam proses amandemen bahwa perubahan konstitusi sudah kebablasan. Untuk itu, mereka mengusulkan agar kembali ke UUD 45.

    Sangat mungkin, inilah implikasi yang harus dibayar dari proses perubahan yang kini tengah dilakukan oleh MPR. Pertarungan atas kepentingan politik jangka pendek—yang jelas bukan representasi kehendak rakyat—sulit dihindari. Itu sebabnya, yang mempersoalkan hasil amandemen adalah mereka yang berasal dari kelompok yang berpotensi "tergusur" dari MPR, seperti dari Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polisi.

    Yang menarik untuk disimak, Panitia Ad Hoc I, yang bertanggung jawab atas proses amandemen ini, dipimpin oleh PDI. Begitu juga orang yang menuding amandemen telah kebablasan. Fakta ini mengisyaratkan ada begitu banyak kepentingan personal yang ditutupi menjadi seolah-olah kepentingan partai atau rakyat banyak. Namun, selain problem eksistensi dan kepentingan personal, bukan tak mungkin ada juga tersirat kepentingan strategis untuk perebutan kekuasaan politik tahun 2004. Usulan pasal mengenai proses pemilihan presiden tahap kedua—"... agar dilakukan oleh MPR bila tak ada pemenang mayoritas di putaran pertama..."—pekat dengan warna politis karena berkaitan dengan penguasaan mayoritas suara di majelis. Apalagi bila sebagian anggota majelis masih berasal dari kelompok yang tidak dipilih secara langsung. Itu sebabnya, amandemen pasal yang berkaitan erat dengan definisi dan komposisi susunan serta struktur MPR masih diperdebatkan secara "ketat dan keras".

    Dalam proses ini juga terlihat sikap dan perilaku reaktif serta tidak konsisten atas proses amandemen dari sebagian besar anggota parlemen. Ini bukan sesuatu yang luar biasa. Tahun lalu, tiba-tiba saja presiden mengajukan gagasan tentang perlunya dibentuk komisi konstitusi yang telah disuarakan kalangan organisasi nonpemerintah jauh hari sebelumnya. PDI pun lalu membuat kertas kerja. Gagasan itu tidak hanya "dicemooh" kalangan lainnya, tapi juga dipersoalkan kalangan PDI sendiri. Yang pasti, setelah itu banyak partai lain seperti PPP, Golkar, dan PKB juga mengajukan usul mengenai pembentukan komisi serupa. Be-berapa bulan kemudian, gagasan ini seperti menguap karena tak pernah dibahas tuntas dalam sidang tahunan. Tak ada satu ketentuan pun yang mengatur soal komisi konstitusi dalam Sidang Tahunan MPR lalu. Bahkan kini Ketua MPR menyatakan gagasan soal komisi konstitusi sudah ketinggalan dan tidak relevan lagi.

    Sebenarnya, kebanyakan anggota parlemen mafhum betul bahwa keberadaan mereka di DPR adalah hasil dari reformasi, dan salah satu tuntutan reformasi adalah per-ubahan konstitusi secara mendasar dan komprehensif agar tidak terjadi lagi "manipulasi politik" yang berwujud pada penyalahgunaan kekuasaan. Tindakan "sabotase" atas amandemen agar konstitusi yang dibuat secara demokratis dan partisipatif adalah ahistoris.

    Namun tampaknya ada dua kecenderungan yang kini hadir di parlemen. Pertama, banyak anggota parlemen ingin melanjutkan saja amandemen keempat, apa pun hasilnya. Sikap seperti ini akan menyebabkan meningkatnya ke-tegangan politik karena mereka telah mengambil posisi bagi kepentingan praktis "perebutan kekuasaan" jangka pendek 2004. Ketegangan ini diduga akan diredam dengan kompromi politik, tapi seluruh amandemen akan jadi "compang-camping", tidak komprehensif, dan menimbulkan komplikasi hukum yang rumit.

    Kedua, situasi ini akan diperkeruh oleh kelompok kecil di dalam majelis yang mengklaim bahwa perubahan sudah kebablasan. Kelompok ini mungkin akan mengusulkan kembali ke UUD 45 atau mendesakkan perubahan "tertentu" untuk mengabadikan bersemayamnya kelompok yang tak pernah ikut dalam pemilihan umum. Sabotase melalui dekrit mungkin menjadi salah alternatifnya. Tapi hasil amandemen dari kelompok ini akan sama saja dengan kelompok pertama, bahkan akan kian memperkuat kepentingan kelompok nonreformis dan status quo.

    Kedua kecenderungan di atas tidak akan pernah bisa menghasilkan perubahan konstitusi yang mendasar dan komprehensif guna menjamin terakomodasinya kepentingan dan aspirasi masyarakat secara utuh. Tidak akan pernah ada kontrak sosial baru yang menjamin kedaulatan rakyat tidak lagi "dimanipulasi" bagi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Pada titik inilah diperlukan suatu komisi konstitusi yang independen untuk merumuskan konstitusi yang demokratis, partisipatif, dan tidak terjebak pada kepentingan politik praktis jangka pendek. Anggota komisi berasal dari representasi daerah dan para ahli, bukan anggota partai politik dan parlemen.

    Untuk itu, perlu diusulkan agar Sidang Tahunan MPR tahun 2002 hanya menyatakan bahwa hasil amandemen kesatu hingga keempat adalah konstitusi transisional. Majelis harus memutuskan pembentukan komisi konstitusi untuk merumuskan konstitusi baru. Komisi ini dapat menggunakan konstitusi transisional sebagai salah satu bahan mentah bagi proses amandemen dalam satu kurun waktu tertentu. Kelak, MPR akan memutuskan menerima atau menolak rumusan final hasil komisi konstitusi. Jika MPR menolak, biarlah rakyat yang kelak menentukannya me-lalui proses referendum. Bukankan proses seperti ini, selain menghindari jebakan kriris konstitusi, juga merupakan salah satu cermin dari wujud kedaulatan rakyat?

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus