Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir Sebuah Penjara

LP Pondok Bambu kosong setelah dua pengacara mempersoalkan statusnya ke pengadilan. Kamtib DKI dan pengadilan telah melanggar hukum. (hk)

15 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAGA Pemasyarakatan (LP) Pondok Bambu, Jakarta Timur, untuk pertama kalinya selama sepuluh tahun ini, kosong melompong. Sebab, 69 orang penghuninya yang terakhir, Jumat pekan lalu, meninggalkan tempat tahanan itu, setelah sekitar sebulan mereka mengimap di sana. Pembebasan oleh Hakim A.A. Daulay dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu tidak akan pernah terjadi jika tidak ada dua orang pengacara, Nyonya Zubaida L. Warouw dan Henry Yosodiningrat, tiba-tiba memprotes penahanan yang mereka anggap sewenang-wenang oleh Kamtib DKI di LP itu. Aparat penegak hukum seperti baru tersadar bahwa selama ini terjadi skandal besar dalam penegakan hukum. Tidak kurang dari 34.000 orang pernah ditahan di tempat itu selama 10 tahun ini dengan bermacam-macam alasan. Awal Agustus lalu, misalnya, petugas Kamtib melakukan razia besar-besaran di daerah pertokoan Proyek Senen. Setiap oran yan dicuriai di pasar itu diperiksa KTP-nya. Dalam operasi yang disebut Operasi Gelar itu, 114 orang tertangkap. Mereka terdiri dari orang-orang yang dicurigai sebagai pemeras, calo bis, pedagang kaki lima, tukang rokok, tukang semir sepatu, penjual koran, penjual teh botol, dan orang yang berbelanja tanpa membawa kartu identitas. Hampir semua dari mereka, 95 orang, hari itu juga dikirim ke LP Pondok Bambu. Sisanya, yang diduga penjahat, ditahan di Polsek Senen. Tidak semua yang ditahan di LP Pondok Bambu diadili. Mereka yang sempat diurus keluarganya, dengan izin tertulis dari Kamtib Jakarta Timur dibebaskan kembali. Hanya mereka yang tidak punya keluarga atau tidak diketahui keluarganya bahwa dia terjaring Kamtib, yang tetap mendekam di dalam LP sampai diadili. Salah seorang dari mereka yang bernasib baik adalah Darso, 24, yang dibebaskan dua hari setelah ditangkap. Menurut Darso, yang mengaku sebagai pelajar, ia tengah berbelanja dengan dua temannya di Proyek Senen pada hari razia itu. Dua orang temannya karena kebetulan membawa KTP, dilepaskan, sedangkan ia ditangkap karena hanya bisa menunjukkan kartu pelajar STM yang sudah kumal. Kakak Darso, Danny A., penduduk Kampung Mampang, Depok, yang mendengar kabar tentang penangkapan adiknya itu, kemudian melapor ke Kamtib Jakarta Timur. Baru dua hari kemudian ia memperoleh izin untuk membebaskan adiknya dari aparat Pemda DKI itu. Izin itu keluar setelah Danny mengurus surat keterangan dari kelurahan dan surat pernyataan di atas segel, yang menyatakan bahwa Darso memang benar adik kandungnya. "Dua hari saya tidak masuk kerja untuk mengurus adlk saya itu," ujar Danny kepada TEMPO. Nasib Darso masih jauh lebih baik. Sebab, yang lain, karena tidak ada yang mengurus, tetap ditahan tanpa proses hukum yang wajar. Bahkan kepala mereka pun digunduli. Beberapa orang di antaranya anak-anak di bawah umur. Hal yang demikian itu terjadi bertahun-tahun. Barulah, Jumat dua pekan lalu, keadaan berubah. Seorang pengacara, Nyonya Zubaida Warouw, mengunjungi sidang para tahanan Kamtib itu di LP Pondok Bambu. Hakim Roestam Effendi, seperti diberitakan harian Sinar Harapan, mengadakan sidang massal yang unik. Enam puluh delapan orang tersangka hari itu ditanya slapa yang punya kartu identitas. Yang menjawab tidak punya, 64 orang, langsung divonis: tiga hari kurungan. Padahal, mereka sudah ditahan antara 20 dan 30 hari di LP itu. Empat orang yang dibebaskan hakim itu ternyata punya KTP. Nyonya Alimah, salah satu di antaranya, ketika ditangkap memang tidak membawa "azimat" itu. Tapi, setelah keluarganya tahu bahwa ia ditahan di LP Pondok Bambu, KTP Alimah disusulkan. Keempat orang yang dibebaskan itulah yang kemudian membuat geger. Sebab, melalui pengacara, Nyonya Zubaida, mereka menuntut ganti rugi atas penahanan yang tidak sah selama 21 hari di LP itu. "Dalam KUHAP ditentukan, setiap orang yang ditahan harus diberi surat penangkapan, dan penangkapan itu diberitahukan kepada keluarganya," ujar Zubaida. Setelah Zubaida, pengacara lain, Henry Yosodiningrat, muncul mempertanyakan nasib 69 orang tahanan yang masih mendekam di dalam. Menurut Henry, berbagai pelanggaran hukum telah terjadi dalam proses penanganan tahanan Kamtib di Pondok Bambu. Penangkapan, kata Henry, hanya bisa dilakukan petugas terhadap orang yang diduga keras melakukan kejahatan. Itu pun pihak penyidik haruslah mempunyai bukti-bukti permulaan yang kuat. Untuk pelanggaran peraturan daerah, seperti yang dltuduhkan kepada para pedagang kaki lima, menurut Henry, tidak ada hak bagi petugas untuk melakukan penahanan. Lebih penting dari itu, kata Henry menambahkan, pelaku kejahatan hanya bisa ditangkap dan ditahan oleh polisi. Yang lebih mengherankan, pelanggaran juga dilakukan para hakim pada proses peradilan. Ternyata, hakim, selain tidak mempertanyakan status penahanan, juga bersedia bersidang tanpa kehadiran jaksa. Bahkan hakim di Jakarta Timur bersedia mengadili para tahanan yang berdomisili dan ditangkap di wilayah lain, yang bukan wewenang hakim itu untuk mengadili. Upaya Henry itu berhasil. Jumat pekan lalu ke-69 orang kliennya itu dibebaskan Hakim A.A. Daulay yang bersidang hari itu. "Ternyata Kamtib telah melanggar KUHAP secara keterlaluan - terbukti, selain menangkap mereka juga memeriksa tahanan," kata Henry. Akibatnya, banyak berita acara pemeriksaan yang sembrono. Misalnya, ada pula dituduh melanggar pasal yang menyangkut WTS. Orang-orang yang ditahan sewenang-wenang itu senng pula menjadi obyek pemerasan. Menurut Henry, biasanya para gelandangan bisa lepas dari razia asal bayar Rp 500. Sebab itu, di kalangan gelandanan ada istilah "bebas kamtib". Bagi yang tidak punya uang nasibnya lebih celaka. Untuk keluar LP Pondok Bambu tanpa diadili, konon, diperlukan biaya yang lebih besar. Kepala Urusan Ketertiban Jakarta Timur Ratag, membantah tuduhan itu. Menurut Ratag, LP Pondok Bambu, yang didirikan pada 1974, bukanlah tempat penahanan, tapi penampungan. Ia juga membantah melakukan penangkapan. Kejadian seperti di sekitar Proyek Senen, awal Agustus lalu, "Itu razia," kilah Ratag. Para pengemis, gelandangan, atau WTS, yang merupakan penghuni terbesar di LP itu, kata Ratag, terpaksa ditampung untuk memudahkan peradilan terhadap mereka. "Coba, kalau tidak ditampung, apa mungkin memanggil mereka yang di kolong jembatan untuk lsldang?" ujar Ratag.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus