INI perkara Dokter Mikael Bharya yang lain. Sementara kasus pembunuhan putranya, Roy Irwan Bharya, belum terungkap tuntas, Mahkamah Aung memutuskan bahwa dokter saraf itu kalah dalam sengketa perdata dengan kompanyonnya, Nyonya Osmania. Sebab itu, seperti juga putusan peradilan bawahan sebelumnya, Mahkamah memerintahkan Bharya mengembalikan modal Osmania di Rumah Sakit Dharma Sakti, Jakarta Pusat, sebesar Rp 25 juta - berikut keuntungan sebesar Rp 500 ribu sebulan sejak Agustus 1978. Direktur RS Dharma Sakti itu juga diwajibkan membayar kembali utangnya sekaligus. Keputusan Mahkamah Agung, yang diterima Bharya pada akhir Agustus lalu, itu merupakan akhir jelek suatu kerja sama yang semula muluk. Sekitar enam tahun lalu, Osmania berkenalan dengan Bharya, dan keduanya sepakat mendirikan rumah sakit jiwa dan saraf di Jalan Kaji, yang kemudian bernama Dharma Sakti. Osmania punya modal, Bharya punya keahlian. Pada 25 Agustus 1978, kedua orang itu menghadap Notaris Bebasa Daeng Lalo, yang membuat akta perjanjian bahwa Osmania menyerahkan modal Rp 25 juta. Sebagai imbalannya, nyonya itu dijanjikan akan mendapat keuntungan 12,5% sebulan dari hasil bersih rumah sakit. Untuk itu, Osmania berhak mengawasi jalannya rumah sakit itu. Juga diperjanjikan bahwa rumah sakit itu berikut tanahnya merupakan iaminan bagl utang Bharya. Kecuali itu, Osmania juga diberi hak mencabut kembali modalnya setelah setahun, kapan pun ia menginginkan. Jika Bharya tidak sanggup mengembalikan, maka dokter itu wajib menjual rumah sakltnya selambat-lambatnya tiga bulan. Rapi. Ternyata, janji tinggal janji. Osmania, menurut pengacaranya, Rusdi Nurima, tidak pernah mendapat bagian keuntungan seperti dlperjanjikan. juga tidak pernah diperkenankan memerlksa administrasi rumah sakit yang dimodalinya. "Bahkan klien saya didepak begitu saja dari rumah sakit itu," ujar Rusdi Nurima. Nama Osmania tidak dicantumkan dalam kepenurusan rumah sakit. Sebab itu, Rusdi berkesimpulan bahwa kliennya ditipu Bharya. Alasan Rusdi, kliennya terbujuk oleh janji-janji sang dokter. Karena itu, Rusdi berniat pula menuntut Bharya dalam perkara pidana penipuan. Kemenangan dalam gugatan perdata, menurut Rusdi, tidak akan membuat kliennya puas. Sebab, rumah sakit yang dipersengketakan itu, sementara perkara berjalan, ternyata telah dialihkan pemilikannya oleh Bharya ke sebuah yayasan. Menurut seorang pegawai rumah saklt, yayasan itu diketua Bharya sendiri. Salah seorang pengurus tercantum nama pengacaranya, Odi Cornelis, dari kantor pengacara Albert Hasibuan. Dokter Bharya, yang masih dalam suasana berkabung, membenarkan adanya sengketa itu. Sebenarnya, menurut Bharya, semula ia merencanakan membuat semacam klinik multipelayanan. Tapi rencana itu macet terbentur peraturan. "Sebelum rumah sakit itu tinggal landas, Nyonya Osmania menagih uangnya. Ia rupanya tidak sabar dan menuduh saya sebagai penipu," ujar Bharya, yang juga mengaku pendiri Rumah Saklt Dharma Jaya dan Rumah Sakit Ongko Mulyo. Padahal, menurut Bharya, kalau hanya untuk mendapatkan uang Rp 25 juta, ia tidak perlu menipu. Relasinya, baik di luar maupun di dalam negeri, ada yang menawarkan modal kepadanya. Apalagi, menurut Bharya, rumah sakit yang disengketakan itu sampai kini masih ada. "Barang-barangnya, meski sebagian sudah saya jual, juga masih ada. Jika Osmama mau menuntut terus, silakan cabut ubm lantai rumah sakit itu," katanya. Ia malah berkesimpulan bahwa kompanyonnya itu bukan idealis. "Membuka rumah sakit itu 'kan usaha sosial," kata Bharya. Keputusan Mahkamah Agung yang mengalahkannya, menurut Bharya, akan diterimanya. "Saya bersedia membayar, asal dicicil," kata Bharya. Bila dituntut pidana? "Wah itu tidak bisa. Semua orang juga tahu bahwa ini perkara perdata," kata Bharya di ruang pra teknya yang dihiasi foto-foto putranya, Almarhum Roy Irwan Bharya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini