Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRITA Mulyasari terlihat sumringah. Kamis pekan lalu, ketika jam menunjukkan pukul sembilan, ia masih bercengkerama dengan putra bungsunya, Syarif Gufron. Sesekali sambil tertawa diciumnya pipi bocah dua tahun itu. Padahal, biasanya, pada jam seperti itu ia sudah duduk di ruang kerjanya, Bank Sinarmas, di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.
Hari itu, aktivitas kantornya memang baru akan dimulai setelah pemungutan suara pemilihan kepala daerah Jakarta selesai dilaksanakan. Karena itu, ia berangkat kerja agak siang. ”Sekarang saya benar-benar bisa bernapas lega,” kata ibu tiga anak tersebut kepada Tempo, yang menemuinya pekan lalu, di rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang.
Tiga hari sebelumnya, perempuan 26 tahun ini mendapat warta bahagia dari pengacaranya, Slamet Yuwono. Sore itu Slamet menelepon Prita, mengabarkan upaya peninjauan kembali perkara pidananya dikabulkan majelis hakim Mahkamah Agung. Kabar kemenangan Prita itu pun langsung menyebar melalui pemberitaan sejumlah media online. ”Subhanallah, setelah empat tahun menunggu kepastian, akhirnya waktunya datang juga,” ujar Prita.
Senin pekan lalu, majelis hakim peninjauan kembali yang dipimpin Djoko Sarwoko—dengan anggota Surya Jaya dan Suhadi—menyatakan Prita tak bersalah. Hakim menilai pesan elektronik yang ditulis Prita mengenai buruknya pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, Banten, bukan termasuk kategori pidana pencemaran nama baik, tapi hanya sebatas keluhan konsumen. ”Pidananya tak terbukti, jadi Prita harus dibebaskan,” kata Djoko, yang juga Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung.
Tuduhan pencemaran nama baik ditimpakan kepada Prita setelah ia menulis e-mail bertajuk ”Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera, Tangerang”, yang dikirim ke sejumlah temannya pada Agustus 2008. Di situ dia menumpahkan pengalamannya dirawat di rumah sakit milik konglomerat Kaharudin Ongko itu. Prita mengkritik pelayanan rumah sakit dan dokter yang menanganinya, yang menurut dia tidak profesional.
Surat inilah yang kemudian membuat Prita berurusan dengan meja hijau. Atas nama Rumah Sakit Omni, Hengky Gosal dan Grace Hilza mempidanakan Prita. Keduanya adalah dokter yang merawat Prita. Omni juga mengklaim, lantaran e-mail Prita, jumlah pasien yang berobat ke mereka juga menurun.
Jaksa memakai Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat Prita. Pasal ini memberi ancaman maksimal enam tahun penjara bagi mereka yang mencemarkan seseorang lewat sarana elektronik. Dan Prita adalah korban pertama dari undang-undang yang disahkan pada April 2008 itu.
Tapi Pengadilan Negeri Tangerang, Juni 2009, membebaskan Prita. Menurut majelis hakim, e-mail Prita tidak bermuatan pencemaran nama baik. Jaksa melawan putusan itu dengan mengajukan kasasi.
Selain mempidanakan Prita, pada saat yang sama Hengky dan Grace, yang mewakili Rumah Sakit Omni, menggugat perdata Prita untuk membayar ganti rugi Rp 300 miliar. Gugatan ini dikabulkan pengadilan. Prita diwajibkan membayar Rp 204 juta.
Putusan inilah yang memancing reaksi dari masyarakat dan memunculkan gerakan Koin Peduli Prita, gerakan yang sebenarnya lebih untuk mengolok-olok putusan pengadilan. Koin Peduli Prita berhasil menghimpun dana masyarakat sekitar Rp 800 juta.
Pengadilan kasasi kemudian mematahkan putusan banding yang mewajibkan Prita membayar ganti rugi itu. Majelis hakim yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung saat itu, Harifin Tumpa, menyatakan perbuatan Prita mengirim e-mail bukan perbuatan melawan hukum, melainkan hanya kritik. Perkara perdata itu berhenti di sini karena pihak Omni tak mengajukan upaya peninjauan kembali.
Sepuluh bulan berselang setelah kemenangan tersebut, Prita kembali tersandera perkara e-mail-nya. Dia harus gigit jari karena majelis kasasi perkara pidananya, yang dipimpin Zaharuddin Utama, menyatakan bersalah. Majelis menilai perbuatan Prita mengirim e-mail itu masuk kualifikasi pencemaran nama baik. Prita divonis enam bulan penjara, dengan masa percobaan setahun. Kendati tak mesti menjalani hukuman itu, Prita tetap tak menerima jika dirinya dinyatakan bersalah. Dia melakukan upaya hukum terakhir: peninjauan kembali.
Menurut Slamet Yuwono, ada sejumlah alasan Prita mengajukan upaya hukum luar biasa itu. Misalnya, kata dia, adanya kekhilafan hakim menerapkan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Slamet, Prita tak bisa dihukum dengan jerat itu karena tulisannya tak dikonsumsi khalayak umum. ”E-mail itu wilayah pribadi,” katanya.
Alasan lain, kata Slamet, ada bukti baru atau novum. Adanya perbedaan putusan kasasi perdata dan pidana inilah yang dijadikan novum oleh Prita. Menurut Slamet, Pasal 263 ayat 2 butir b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur perkara yang saling terkait tidak boleh bertentangan. Apalagi, ujar dia, dalam kasus Prita itu tuduhan dan subyeknya serupa. ”Ini jelas suatu kekeliruan,” katanya.
Novum yang dipakai Prita rupanya ampuh. Majelis hakim peninjauan kembali menilai seharusnya majelis kasasi pidana Prita tak mengabaikan putusan perkara perdatanya yang sudah berkekuatan hukum tetap. Semestinya, kata Djoko, putusan kasasi pidana Prita paralel dengan putusan kasasi perdatanya. Karena dalam putusan perdatanya gugatan pencemaran nama baik tak terbukti, menurut Djoko, dalam perkara pidananya Prita harus dinyatakan tak bersalah. ”Ini pertimbangan kami membebaskan Prita,” kata Djoko.
Pihak Omni belum mau menanggapi soal kemenangan Prita ini. ”Saya sedang kuliah, maaf ya,” kata salah seorang direktur di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang, Maria Theresia, ketika dihubungi Tempo. Beberapa kali dihubungi untuk dimintai pendapatnya tentang putusan Mahkamah Agung terakhir ini, Grace Hilza tak memberi respons. Didatangi di Rumah Sakit Omni pada Kamis pekan lalu, dia juga tak ada.
Menurut anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Rieke Dyah Pitaloka, kasus Prita menjadi pelajaran penting agar kasus serupa tak terulang. Karena sudah berkekuatan hukum tetap dan merupakan upaya hukum terakhir, Rieke meminta pemerintah memberi sanksi untuk Rumah Sakit Omni, yang telah memberikan pelayanan buruk bagi konsumennya. ”Hak pasien mendapat pelayanan yang baik dari rumah sakit harus diperjuangkan,” kata Rieke.
Guru besar pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy Hiariej, menegaskan, Prita memang sepantasnya bebas. Putusan Mahkamah ini, ujar dia, bisa jadi yurisprudensi untuk kasus serupa kelak.
Prita berharap putusan peninjauan kembali ini benar-benar menjadi akhir dari masalah hukum atas e-mail-nya itu. Ia akan menulis pengalamannya melawan Omni dan berurusan dengan hukum dalam sebuah buku agar menjadi pelajaran bagi orang lain. ”Buku ini juga untuk anak saya. Mereka harus tahu ibunya pernah menderita di penjara hanya karena sebuah keluhan,” katanya.
Anton Aprianto (Jakarta), Joniansyah (Tangerang)
Jalan Panjang Prita
7 Agustus 2008
12 Agustus 2008
15 Agustus 2008
Akhir Agustus 2008
6 September 2008
24 September 2008
11 Mei 2009
13 Mei 2009
3 Juni 2009
4 Juni 2009
25 Juni 2009
3 Desember 2009
29 September 2010
30 Juni 2011
1 Agustus 2011
17 September 2012
Majelis hakim peninjauan kembali menilai seharusnya majelis kasasi pidana Prita tak mengabaikan putusan perkara perdatanya yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Naskah: Anton A | Sumber: Wawancara, Prita, Kejaksaan, MA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo