Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Memperkuat Poros Perlawanan

Iran mengirimkan pasukan elitenya untuk membantu rezim Bashar al-Assad. Membuka peluang pecahnya konflik kawasan.

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKA-teki mengenai keberadaan pasukan Iran di Suriah terjawab sudah. Meski tidak diungkap detail, Garda Revolusioner Iran mengakui pasukan elitenya telah bercokol di negeri yang sedang dikoyak perang saudara itu. ”Mereka hanya memberikan nasihat kepada Bashar Assad (Presiden Suriah),” ujar komandan Garda Revolusioner, Jenderal Mohammad Ali Jafari, Ahad pekan lalu. Menurut dia, keberadaan anggota Pasukan Quds—pasukan khusus di Garda Revolusioner—tak mencerminkan kehadiran militer Iran di Suriah.

Selama ini kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Suriah menyatakan memiliki informasi intelijen dan dokumen yang membuktikan anggota Garda Revolusi membantu rezim Assad. Namun Iran selalu membantahnya.

Iran merupakan penyokong setia Assad sejak gelombang Musim Semi Arab menghantam negeri itu 18 bulan lalu. Iran menganggap Suriah sebagai poros utama perlawanan terhadap Barat dan negara-negara Sunni lainnya, seperti Arab Saudi dan Qatar. Poros lainnya adalah kelompok bersenjata Hizbullah di Libanon dan Hamas di Palestina. ”Iran tak akan membiarkan poros perlawanan pecah,” ujar Saeed Jalili, Sekretaris Dewan Agung Keamanan Nasional Iran, yang berkunjung ke Damaskus beberapa waktu lalu.

Iran dan Suriah menuding negara-negara asinglah yang menyulut pemberontakan untuk menghancurkan poros itu. ”Apa yang terjadi di Suriah bukan isu internal, melainkan konflik antara poros perlawanan dan musuh regional serta global,” kata Jalili.

Suriah salah satu sekutu terdekat Iran. Dalam perang Irak-Iran pada 1980-an, Suriah tak mendukung tetangganya, Irak, melainkan Iran. Selama perang, untuk mendukung Iran, Suriah menutup jalur pipa minyak Irak yang menuju Mediterania. Lewat wilayah Suriah pula Iran menyalurkan bantuan persenjataan ke Hizbullah di Libanon dan Hamas di Palestina.

Kejatuhan Assad akan menjadi kekalahan besar bagi Iran. Tak mengherankan bila Iran kemudian memberikan bantuan dana, persenjataan, dan nasihat kepada pemerintahan Assad.

Robin Mills, kepala konsultan di Manaar Energy, lembaga yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab, mengatakan Suriah bukan negara kaya minyak. Sebelum pemberontakan pecah, pendapatan negara itu dari minyak hanya US$ 4 miliar (setara dengan Rp 38 triliun) per tahun atau sepertiga dari anggaran pemerintah.

Namun posisi Suriah penting karena menjadi tempat lalu lintas minyak dan gas di kawasan itu. Juli tahun lalu, di tengah kecamuk perang saudara, Iran, Irak, dan Suriah menandatangani perjanjian pembangunan pipa gas senilai US$ 10 miliar.

Pipa gas yang akan dibangun sampai 2016 itu menghubungkan ladang-ladang gas di Iran dan Irak dengan pelabuhan-pelabuhan di tepi Laut Mediterania, seperti Baniyas, Latakia, dan Tartus. Tujuannya, melancarkan ekspor ke Eropa. Selama ini Eropa bergantung pada pasokan gas dari perusahaan Rusia, Gazprom.

Pipa tersebut akan melewati wilayah pegunungan yang dikuasai sekte Alawi—keluarga Assad berasal dari sekte ini. Irak berkepentingan menjaga hubungan baik dengan Assad untuk menjamin keamanan pengiriman minyaknya.

Pembangunan jalur pipa ini merupakan bagian dari Kebijakan Empat Lautan, yakni sebuah konsep jaringan energi yang menghubungkan Laut Mediterania, Laut Kaspia, Laut Hitam, dan Teluk. Kebijakan ini dicanangkan Assad dua bulan sebelum pemberontakan pecah.

Pada 2010, Suriah menandatangani nota kesepahaman dengan Irak untuk membangun jalur pipa gas dari Kirkuk di Irak hingga Banyas, yang tertunda akibat invasi Amerika Serikat pada 2003. Target pasarnya lagi-lagi Eropa.

Bukan cuma Iran dan Irak yang tak mau rezim Assad tumbang. Rusia juga berkepentingan terhadap kelangsungan pemerintahan Assad. Bahkan Rusia—bersama Cina—dua kali memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa perihal sanksi terhadap Suriah. Mereka tak mau Amerika Serikat dan sekutunya menggulingkan Assad serta menghancurkan Suriah.

Bagi Rusia, tumbangnya Assad akan mempengaruhi bisnis persenjataan mereka karena Suriah merupakan pembeli utama senjata Rusia di wilayah itu. Selain itu, pengaruh Rusia di kawasan Timur Tengah akan terkikis.

Moskow tentu saja tak mau kehilangan pelanggan terbaik dan satu-satunya sekutu di Timur Tengah itu. Sejak dulu Damaskus membeli senjata dan kebutuhan militer dari penyalur Rusia. Sanksi ekonomi dari negara-negara Barat membuat Suriah makin bergantung pada Rusia. Tak mengherankan bila Rusia ogah memberikan lampu hijau kepada PBB untuk mengambil tindakan tegas kepada Suriah.

Rusia juga menggunakan pangkalan angkatan laut di Tartus sejak era Uni Soviet. Pelabuhan air dalam itu digunakan untuk melabuhkan kapal selam dan kapal lain lewat perjanjian pada 1971. Kala itu, Uni Soviet merupakan penyalur senjata utama Suriah. Semua persenjataan itu dikirim melalui Tartus.

Skuadron Mediterania Kelima Soviet juga menggunakan dok di pangkalan itu untuk mengisi bahan bakar dan perbekalan. Rusia tetap menggunakan Tartus setelah Uni Soviet pecah pada 1991.

Namun kebijakan Rusia untuk bersikap lunak kepada Suriah demi mempertahankan bisnisnya dianggap berbahaya. Dengan situasi yang tak menentu, Rusia akan merugi alih-alih mengeruk keuntungan. ”Mempertahankan hubungan dengan rezim lama membuat Rusia kehilangan popularitas,” ujar Ildar Davletshin, analis energi di Renaissance Capital, seperti dikutip The Daily Beast, Ahad tiga pekan lalu.

Menurut Georgy Mirsky, peneliti senior di Russian Academy of Sciences, dengan memperlambat campur tangan internasional di Suriah, Rusia ikut andil memperkuat Al-Qaidah menancapkan pengaruhnya di negara itu. Pada saat yang sama, kata dia, Rusia mendekati konflik besar antara Syiah Iran dan oposisi Suriah, yang menganut Sunni. Menurut dia, ini kebijakan berbahaya. ”Rusia akan dipandang sebagai sekutu Iran,” ujarnya.

Bagi negara-negara di sekitarnya, Suriah memainkan peran strategis dalam menjaga perdamaian di kawasan Timur Tengah. Negara itu berada di tengah rivalitas regional, etnis, dan agama. ”Suriah satu-satunya negara tempat Musim Semi Arab dapat mengubah konsep geostrategis wilayah itu,” kata Olivier Roy, pakar Timur Tengah asal Prancis.

Ia mencontohkan, di negara-negara lain, seperti Mesir dan Tunisia, pemimpin baru tetap menjalin aliansi dan posisi geopolitik dengan sekutu pendahulunya. ”Namun di Suriah, kalau rezim jatuh, kita akan memiliki tatanan baru,” ujarnya.

Selama beberapa dekade, Suriah merupakan poros tatanan keamanan Timur Tengah. Posisinya membuat Rusia dan Iran leluasa meluaskan pengaruh mereka. Bahkan Amerika Serikat puas terhadap rezim Assad, yang bisa menjaga stabilitas di perbatasan Israel.

Namun perang saudara yang tak kunjung reda mengubah paradigma itu, menempatkan Rusia dan Abang Sam beserta sekutunya di posisi berlawanan. Pemberontakan berkembang menjadi konflik sektarian: antara Syiah dan Sunni serta Iran dan Arab Saudi beserta negara-negara Teluk.

”Yang membuat Suriah lebih rumit ketimbang Libya adalah isu-isu strategis sama menonjolnya dengan isu-isu moral,” ujar Anne-Marie Slaughter, profesor dari Universitas Princeton dan Direktur Perencanaan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Karena itu, kata dia, perang saudara tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Jika dibiarkan, perang akan meluas menjadi perang antara Arab Saudi beserta sekutunya dan Iran.

Abang Sam sangat berkepentingan terhadap situasi di Suriah karena negara itu berbatasan langsung dengan Israel. Karena itu, Amerika bersikap jauh lebih berhati-hati ketimbang menghadapi situasi di Libya.

Menurut Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Rodham Clinton, membandingkan Suriah dengan Libya merupakan analogi yang salah. Sebab, Libya hanya pertunjukan tambahan di tengah gelombang Musim Semi Arab yang gaduh. Sedangkan Suriah merupakan panggung utamanya. Menumbangkan Assad hanya akan menarik perhatian internasional.

Israel juga punya kepentingan terhadap stabilitas keamanan di Suriah. Meski tak senang terhadap kedekatan Suriah dengan Iran, Hizbullah, dan Hamas, selama puluhan tahun Israel telah bekerja sama dengan Suriah dalam menjaga stabilitas keamanan di Dataran Tinggi Golan.

Sapto Yunus (AP, Yalibnan, The National,The New York Times, Time)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus