Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Perempuan makin sering menjadi korban penganiayaan dan berakhir dengan kematian.
Pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh perbedaan gender dikategorikan sebagai femisida.
Hukum Indonesia belum mengenal istilah femisida.
HALO, kakak pengasuh Klinik Hukum Perempuan. Belakangan ini makin sering diberitakan tentang perempuan yang menjadi korban penganiayaan dan berakhir pada kematian. Sering kali perbuatan itu dilakukan oleh orang dekat korban, yaitu suami atau pacarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa terbaru yang sedang viral adalah pembunuhan disertai mutilasi terhadap seorang perempuan di Ngawi, Jawa Timur. Mayat korban dimasukkan ke koper. Belakangan, polisi menangkap tersangka yang tidak lain adalah pacar korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena ini tentu memprihatinkan sekaligus menakutkan bagi perempuan. Adapun hal yang saya tanyakan, apakah kejahatan semacam ini termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)? Atau cukup dikategorikan sebagai pembunuhan? Saya mohon penjelasan, karena dalam pandangan saya, perbuatan semacam ini sangat kejam.
Rina
Jakarta
Jawab:
Halo, Rina. Terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami prihatin atas meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan yang kerap berujung pada kematian. Oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan berbagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan, kejahatan tersebut disebut femisida.
Dalam sidang umum Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), femisida didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh rasa kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, dan penikmatan. Perbuatan pelaku juga didasari oleh pandangan yang menganggap perempuan sebagai “barang” kepemilikan sehingga boleh diperlakukan sesuka hati.
Pembunuhan yang berlatar femisida memiliki muatan berbeda dengan pembunuhan biasa. Pada femisida terdapat aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, atau opresi. Femisida adalah produk budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi di ranah privat, komunitas, ataupun negara.
Berdasarkan data PBB, sebanyak 80 persen pembunuhan berencana terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekat. Di antaranya adalah suami atau mantan suami, pacar atau mantan pacar, saudara, dan orang tua.
Di Indonesia, walau sudah sering disosialisasi oleh Komnas Perempuan, istilah femisida belum dikenal oleh masyarakat ataupun aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Bahkan media massa lebih sering menyebut kasus semacam ini sebagai bentuk KDRT atau pembunuhan biasa. Begitu pula dalam konteks hukum. Belum ada aturan khusus yang mengatur tentang femisida. Dengan demikian, perbuatan ini dimasukkan ke pidana biasa, yaitu “merampas nyawa orang lain”.
Untuk itu, penanganan kasus femisida perlu didorong untuk mendapat perlakuan khusus, paling tidak dimulai dari kepolisian. Dengan perlakuan khusus ini, setiap kasus femisida dapat dipetakan berdasarkan penyebab, pola, dan pelaku. Data yang diperoleh dari hasil pemetaan itu nanti dapat menjadi acuan dalam menyusun langkah-langkah sistemik untuk mencegah femisida di masa mendatang.
Kasus pembunuhan yang terjadi di lingkungan rumah tangga selama ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Dalam ketentuan Pasal 44 undang-undang (perhatikan ayat 2) tersebut dinyatakan:
- Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta.
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta.
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta.
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.
Selain itu, perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP baru). Adapun KUHP baru mulai berlaku pada 2026. Untuk pembunuhan yang melibatkan anggota keluarga (ayah, ibu, suami, istri, atau anak) secara khusus diatur dalam Pasal 458 (perhatikan ayat 2) yang bunyinya sebagai berikut:
- Setiap orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
- Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap ibu, ayah, istri, suami, atau anaknya, pidana dapat ditambah 1/3.
- Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu Tindak Pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, atau untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Berdasarkan UU PKDRT, KUHP, dan KUHP baru, dapat disimpulkan bahwa tindakan KDRT yang menyebabkan korban meninggal ditentukan oleh unsur kesengajaan (opzet) pelaku. Terdapat tiga gradasi opzet dalam hukum pidana, yaitu:
- Opzet als oogmerk, yaitu kesengajaan yang memang ditujukan kepada orang yang dimaksud.
- Opzet bij zekerheids of zeker bewustzijn, yaitu kesengajaan yang secara pasti diketahui oleh pelakunya bahwa kesengajaan itu mempunyai akibat sampingan.
- Opzet bij mogelijkheidsbewustzijn atau voorwaardelijk opzet, yaitu kesengajaan yang mungkin menyebabkan akibat samping atau kesengajaan bersyarat.
Dengan demikian, pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan oleh suami dapat dikatakan sebagai bentuk KDRT apabila terdapat kesengajaan (opzet) untuk melakukan kekerasan fisik. Kesengajaan itu tidak mengarah pada pembunuhan meski akibat dari kekerasan tersebut berujung pada kematian korban.
Dalam beberapa kasus, tidak jarang hakim melihat kasus itu sebagai konsepsi pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP. Hal ini terjadi karena KUHP mengandung unsur delik yang lebih jelas dan mudah diterapkan ketimbang UU PKDRT. Atau bisa saja hakim mengabulkan dakwaan jaksa yang bersifat kumulatif, yakni adanya dakwaan primair dan subsidair dari Pasal 338 KUHP, Pasal 351 ayat (3) KUHP, serta Pasal 44 ayat (3) UU PKDRT.
Sedangkan pada pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan oleh mantan suami, pacar, atau mantan pacar, karena dipandang tidak berada dalam lingkup rumah tangga, sepenuhnya diatur dalam KUHP sebagai berikut ini:
- Pasal 338 KUHP mengatur tentang pembunuhan biasa, yaitu perbuatan merampas nyawa orang lain dengan sengaja. Pelaku pembunuhan biasa diancam pidana penjara paling lama 15 tahun.
- Pasal 339 KUHP mengatur tentang pembunuhan yang disertai, diikuti, atau didului oleh perbuatan pidana. Pelaku pembunuhan yang diatur dalam pasal ini diancam pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.
- Pasal 341 KUHP mengatur tentang pembunuhan bayi, yaitu perbuatan seorang ibu yang merampas nyawa anaknya sendiri. Pelaku pembunuhan diancam pidana penjara paling lama 7 tahun.
- Pasal 340 KUHP yang mengatur tentang pembunuhan berencana. Pasal ini menyatakan siapa pun yang dengan sengaja dan merencanakan lebih dulu perbuatan merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Semoga kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan dalam kategori femisida dapat menjadi perhatian pemerintah dan aparat penegak hukum.
Sri Agustini
Advokat Probono LBH APIK Jakarta