Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam sepekan terakhir, ada tiga peristiwa penembakan oleh polisi berakibat hilangnya nyawa warga sipil.
Regulasi yang mengatur penggunaan senjata api oleh aparat tak mumpuni mencegah penyalahgunaan.
Polri berjanji mengevaluasi penggunaan senjata oleh anggotanya.
TIGA insiden penembakan oleh polisi terjadi dalam sepekan terakhir. Peristiwa pertama terjadi di Solok Selatan, Sumatera Barat, pada Jumat, 22 November 2024. Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Solok Selatan Ajun Komisaris Dadang Iskandar menembak rekannya, Kepala Satuan Reserse Kriminal AKP Ryanto Ulil Anshar, karena masalah pembekingan tambang ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua peristiwa lain terjadi pada 24 November 2024. Pertama, anggota Brigade Mobil Kepolisian Daerah Bangka Belitung menembak warga bernama Beni yang dituding mencuri buah sawit. Kedua, seorang pelajar SMK berinisial GR tewas akibat peluru yang dilepaskan anggota Polres Semarang, Jawa Tengah, berinisial R yang mengklaim sedang membubarkan tawuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menyatakan prihatin atas peristiwa tersebut. Dia pun mendesak pemerintah segera mengevaluasi kewenangan polisi dalam menggunakan senjata api. Alasannya, menurut laporan yang diterima YLBHI, dalam beberapa tahun terakhir, banyak peristiwa penggunaan senjata api secara serampangan oleh polisi. Dalam catatan YLBHI, dalam lima tahun terakhir, setidaknya terdapat 35 peristiwa penembakan oleh aparat dengan jumlah korban mencapai 94 orang.
Maraknya penggunaan senjata api secara sewenang-wenang oleh aparat, menurut Isnur, tak lepas dari lemahnya regulasi yang ada saat ini. Isnur mengatakan saat ini memang telah terdapat sejumlah peraturan soal penggunaan senjata api. “Tapi levelnya terlalu rendah untuk mengikat semua institusi yang menggunakan senjata api,” kata Isnur kepada Tempo saat dihubungi pada Kamis, 28 November 2024.
Isnur juga menyoroti banyaknya penyimpangan aturan di lapangan. Dia mencontohkan penggunaan senjata api untuk membubarkan massa. Dalam catatan YLBHI, misalnya, terdapat sejumlah aksi pembubaran massa menggunakan senjata api yang kemudian memakan korban jiwa. “Aturan soal bagaimana menghadapi situasi seperti demonstrasi sering kali hanya jadi formalitas. Tidak ada pendidikan, sosialisasi, atau evaluasi yang serius terhadap penerapannya," ujarnya.
Dia juga mengkritik lemahnya sistem pengawasan penggunaan senjata api oleh aparat. Penelusuran rutin ihwal inventaris senjata hingga peluru, dia melanjutkan, sering terabaikan. Bahkan, mekanisme pelaporan penggunaan senjata api sering dilanggar. "Ketika ada satu peluru keluar, seharusnya ada laporan resmi. Nyatanya, hal itu tidak dilakukan," ujarnya.
Persoalan budaya di institusi kepolisian juga menjadi sorotan Isnur. Menurut dia, pola arogansi dan budaya impunitas di institusi yang telah berusia 78 tahun itu makin mengakar. Ia mencontohkan kasus penembakan Brigadir Yosua yang menyeret mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Meskipun akhirnya kasus ini terungkap, menurut Isnur, sempat terjadi upaya menutup-nutupi peristiwa tersebut sebelumnya. "Kasus Sambo adalah contoh bagaimana manipulasi fakta dan pembelaan terhadap anggota yang salah justru melanggengkan pola penyalahgunaan kekuasaan," tuturnya.
Hal serupa, menurut Isnur, terlihat dalam peristiwa di Semarang. Dia melihat ada upaya melindungi pelaku penembakan dengan menyudutkan korban sebagai pelaku tawuran.
Kepolisian menunjukkan barang bukti kasus penembakan polisi di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Barat, di Padang, Sumatera Barat, 23 November 2024. ANTARA/Iggoy el Fitra
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, sependapat dengan Isnur. Menurut dia, setidaknya terdapat empat aturan yang menjadi pedoman penggunaan senjata api oleh polisi. Keempatnya adalah Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian; Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; Perkap Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Standar Polri, Senjata Api Non-Organik Polri/TNI, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api; serta Perkap Nomor 10 Tahun 2021 tentang Tata Cara Tes Psikologi bagi Calon Pengguna Senjata Api Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Calon Pemilik dan/atau Pengguna Senjata Api Non-Organik Polri/TNI.
Pasal 8 Perkap Nomor 1 Tahun 2009 menyebutkan polisi hanya boleh menggunakan senjata api jika keselamatannya terancam, tidak memiliki alternatif tindakan lain, atau untuk mencegah larinya pelaku kejahatan yang merupakan ancaman terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. Pasal 5 ayat (1) huruf f peraturan itu pun menyebutkan penggunaan senjata api oleh polisi merupakan tahapan keenam atau terakhir.
Polisi harus melakukan lima tindakan lebih dulu sebelum melepaskan tembakan. Kelima tindakan tersebut adalah: pertama, kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; kedua, perintah lisan; ketiga, kendali tangan kosong lunak; keempat, kendali tangan kosong keras; serta kelima, kendali senjata tumpul, senjata kimia—gas air mata dan semprotan cabai—atau alat lain sesuai dengan standar Polri.
Namun Bambang menilai implementasi aturan tersebut di lapangan masih jauh dari ideal. Sependapat dengan Isnur, dia juga mengkritik lemahnya pengawasan prosedur penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian. Contohnya, menurut dia, tes psikologis bagi personel yang tercantum dalam Perkap 10 Tahun 2021 selama ini tampak seperti formalitas belaka. "Tes psikologis itu ada, tapi tidak memberikan pengaruh nyata pada penurunan pelanggaran," ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
Karena itu, Bambang menyarankan adanya aturan soal pembatasan penggunaan senjata berpeluru tajam. Menurut dia, penggunaan senjata api berpeluru tajam seharusnya hanya untuk anggota kepolisian yang menghadapi risiko tinggi. "Bahkan, harus disertai dengan body camera agar setiap tindakan terekam dan bisa dipertanggungjawabkan," ucapnya.
Aksi menuntut transparansi dan penuntasan hukum kasus oknum polisi Satnarkoba Polrestabes Kota Semarang berinisial R yang menembak pelajar SMK anggota Paskibra SMK Negeri 4 Semarang berinisial GRO, 16 tahun, hingga tewas di depan kantor Polda Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, 28 November 2024. ANTARA/Aji Styawan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menyarankan aturan soal penggunaan senjata api oleh aparat diubah. Selain itu, dia meminta polisi memperbaiki kompetensi aparatur dan menghapus budaya organisasi. "Aturan yang tidak lengkap, SDM yang kurang diawasi, ditambah dengan budaya arogan—ini menjadi kombinasi yang memungkinkan pelanggaran terus terjadi," ucapnya.
Suparji juga menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam proses pengawasan serta pemberian izin. "Pengawasan dan pemberian sanksi harus lebih tegas serta ketat sehingga memberikan efek jera sekaligus edukasi."
Isnur menambahkan, perlu pengawasan yang lebih kuat dan independen terhadap Polri. Pasalnya, menurut dia, kewenangan Polri yang sangat luas tak dibarengi oleh pengawasan yang mumpuni. “Jadi ini kecolongan terus setiap hari, kan? Kecolongan di polsek mana, di polres mana, kenapa? Karena Institusinya sangat besar perannya, teramat besar, melampaui kapasitas,” kata Isnur.
Meskipun Polri saat ini sudah memiliki pengawasan internal, menurut dia, hal itu tak cukup menjangkau level bawah, terutama di level polres dan polsek. Sementara itu, pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), menurut dia, pun tak maksimal karena kewenangannya hanya memberikan rekomendasi strategis kepada presiden. “(Kompolnas) tidak bisa mengecek, tak bisa memeriksa, tidak bisa apa-apa,” ujarnya.
Terakhir, Isnur menyarankan Polri mengevaluasi cepat dengan mencabut semua kepemilikan senjata api personelnya lebih dulu. Setelah itu, menurut dia, Polri mengevaluasi semua anggotanya dan memberikan kembali senjata api tersebut sambil memperkuat pengawasan serta regulasinya.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Sandi Nugroho memastikan pihaknya tengah menelusuri ketiga peristiwa penembakan tersebut. Dia menyatakan hasil penelusuran itu akan menjadi bahan evaluasi pihaknya soal penggunaan senjata api.
Sandi menyatakan evaluasi tersebut akan dipimpin langsung oleh Inspektur Pengawasan Umum Polri Irjen Dedi Prasetyo. "Kita kumpulkan semua keterangan, itu menjadi bahan evaluasi secara lengkap. Nanti Irwasum memimpin evaluasinya sendiri sehingga hasil evaluasi seperti apa, akan disampaikan," ucapnya pada Rabu, 27 November 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo