Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Adu Fatwa Logam Mulia

Pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berselisih pendapat tentang penerapan bea dan pajak impor emas oleh sebelas perusahaan di Bandar Udara Soekarno-Hatta sepanjang 2019-2021. Potensi kerugian negara mencapai Rp 2,9 triliun.

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Logam mulia (emas) impor bertuliskan Heraeus Fine Gold 999,9 1000 gram yang diperiksa Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta pada 2020./Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PT Antam dan perusahaan diduga mengubah kode impor emas batangan untuk menghindari bea masuk.

  • Kepala Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta mengatakan emas impor tersebut masih berbentuk bongkahan.

  • Emas yang ditemukan sudah berbentuk batangan dan sudah tercetak merek, nomor seri, serta kandungan karat.

DOKUMEN itu berjudul “Penyelewengan Importasi Emas Batangan di Bea Cukai Soekarno-Hatta”. Terdiri atas empat lembar, laporan tersebut berisi pemeriksaan impor logam mulia yang dilakukan sebelas perusahaan, salah satunya PT Aneka Tambang (Antam), selama 2019-2021. “Analisis tersebut rutin dilakukan untuk melihat potensi pelanggaran dalam importasi,” ujar Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai R. Syarif Hidayat pada Jumat, 11 Juni lalu.

Kesimpulan laporan mencantumkan potensi kerugian negara dalam impor tersebut mencapai Rp 2,9 triliun. Jumlah ini dihitung dari dugaan penggunaan harmonized system code (HS code) yang tidak sesuai. Akibatnya, impor emas senilai total Rp 47,1 triliun itu tak dikenai bea impor sebesar 5 persen dan pajak penghasilan (PPh) impor sebesar 2,5 persen sesuai dengan Penetapan Klasifikasi Sebelum Impor (PKSI) Nomor 03 Tahun 2008 dan 20 Tahun 2020.

Temuan ini bermula dari analisis rutin Direktorat Penindakan dan Penyidikan. Emas tersebut diimpor melalui Singapura. Menggunakan data Global Trade Atlas dan Badan Pusat Statistik, petugas menemukan perbedaan laporan ekspor dari Negeri Singa dengan laporan petugas Bea-Cukai. Di Singapura, hampir semua emas itu diekspor dengan menggunakan kode HS 7108.13.00. Kode ini digunakan untuk emas berbentuk setengah jadi (semi-manufactured forms). Di Indonesia, barang ini dikenai bea impor sebesar 5 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta Finari Manan, 16 Mei 2021./Dok. Bea Cukai Soekarno-Hatta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kode emas yang sudah berbentuk batangan dan berlabel itu diduga berubah saat dicatat di dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten. Kode HS-nya dicatat sebagai 7108.12.10 yang dikategorikan emas bongkahan atau ingot (cast bar) yang harus diolah lagi. Di Indonesia, barang impor dengan kode HS ini tidak dikenai bea masuk.

Seharusnya, emas yang masuk ke Indonesia tersebut dikategorikan logam mulia dengan kode HS 7115.90.10. Bentuk emas sudah menyerupai emas batangan siap jual. Jika ini diterapkan, emas tersebut dikenai bea impor sebesar 5 persen. Jika kode diterapkan dengan benar, Bea-Cukai diperkirakan akan memperoleh bea impor melalui perdagangan emas selama dua tahun itu sebesar Rp 2,35 triliun dari bea impor dan Rp 597 miliar dari PPh.

Hasil pengolahan data itu kemudian dikirim dalam bentuk nota dinas ke Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Soekarno-Hatta Finari Manan pada 21 April lalu. Namun Finari tak sepakat dengan isi nota. Ia menganggap keputusan menetapkan bea masuk nol persen sudah sesuai.

Finari menganggap emas yang masuk berjenis emas bongkahan yang tak dikenai bea. Finari merujuk pada Ketentuan Umum Menginterpretasi Harmonized System (KUM HS) dan Explanatory Notes. “Tidak dimasukkan sebagai minted gold bar (emas batangan berlabel) karena barang tersebut tidak dihasilkan melalui rolling, drawing, ataupun cutting. Hanya berbentuk sebagaimana asalnya,” ujar Finari.

Direktur Penindakan dan Penyidikan Bahaduri Wijayanta Bekti Mukarta mengatakan pengolahan data impor emas oleh timnya itu bermula dari temuan direktorat lain. Namun ia enggan menjelaskan hal ini dan meminta agar pertanyaan ditujukan kepada Syarif Hidayat. “Beliau yang akan menyinkronkan jawaban dari beberapa unit. Karena ini terkait dengan pengawasan di kantor Bea-Cukai Soekarno-Hatta,” tutur Wijayanta.

Terantuk jalan buntu, Direktorat Penindakan mengundang Direktur Kepatuhan Internal, Direktur Teknis Kepabeanan, dan Inspektorat Jenderal untuk memaparkan temuannya pada Rabu, 2 Juni lalu. Pertemuan belum menghasilkan titik terang. Syarif Hidayat mengatakan rapat merasa perlu membahas hal ini bersama dengan direktorat lain. Mereka berdebat soal pengertian bentuk emas yang akan membuat penerapan bea impor berbeda. “Hasil dari analisis, terdapat perbedaan data yang perlu dikonfirmasi kembali,” ucap Syarif.

•••

DALAM kurun tiga hari, petugas Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menerbitkan dua nota intelijen terhadap perusahaan pengimpor emas. Catatan pertama bertanggal 19 Februari 2021 menyebutkan PT Indah Golden Signature mengimpor emas merek Heraeus Kilo Bar Purity 9999.

Meski bermerek, perusahaan mencantumkan kode HS 7108.12.10, yang berarti emas belum ditempa dan tak dikenai bea impor. Setelah diteliti, emas tersebut berbentuk batangan seberat satu kilogram dengan kadar kemurnian 99,99 persen. Di permukaan emas batangan itu bahkan tercetak merek dan nomor seri. “Sehingga diduga diberitahukan kepada pos tarif yang tidak tepat,” demikian tertulis di nota pertama itu. Bongkahan emas itu kemudian dikategorikan sebagai minted gold bar.

Tiga hari berselang, petugas Bea-Cukai juga menjumpai barang serupa. Kali ini, pengimpornya adalah PT Untung Bersama Sejahtera. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, ditemukan perbedaan berat di dokumen pemberitahuan impor barang. Setelah diperiksa, emas tersebut berbentuk batangan seberat satu kilogram dengan kadar 99,99 persen dan bermerek 24K-24KT Pure Gold, yang tercetak di permukaan batangan emas. Dari dua temuan ini, petugas menyimpulkan pengimpor diduga tak mencantumkan kode HS dengan benar.

Perbedaan pendapat kemudian mengemuka. Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Soekarno-Hatta Finari Manan meyakini produk emas yang diimpor kedua perusahaan merupakan emas bongkahan alias ingot. Apalagi, selama kurun 2019-2021, produk impor yang sama kerap diklasifikasi sebagai emas bongkahan (cast bar).

Selama perdebatan berlangsung, Finari bertemu dengan petinggi PT Antam. “Kami mendapat kunjungan dari PT Antam,” ucap Finari. Antam merupakan pengimpor emas batangan terbesar yang masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta.

Pada periode 2019-April 2021, perusahaan pelat merah ini mengimpor emas berbagai merek, seperti Nihon Material, Metalor, Heraeus, Matsuda, Tokuriki, dan Hanaka, senilai Rp 39,1 triliun. Semua impor produk tersebut tidak membayar bea masuk karena mereka mengklasifikasikan emas impor itu sebagai cast bar.

Menurut Finari, keyakinannya bertambah setelah bertemu dengan pejabat Antam. Pejabat itu, menurut dia, menjelaskan proses pengerjaan emas batangan. Ia pun memperoleh informasi soal perbedaan dalam memproduksi emas batangan kategori ingot (cast bar) dengan emas batangan (minted gold bar). Ia makin yakin penerapan HS code terhadap emas impor yang selama ini masuk sudah benar.

Finari lantas menyurati Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea-Cukai pada 26 Februari lalu. Finari meminta Direktur Teknis untuk memberikan “fatwa” keseragaman klasifikasi barang. Namun misinya gagal.

Menjawab surat Finari, Direktorat Teknis Kepabeanan menyampaikan emas yang diimpor sejumlah perusahaan itu termasuk kategori logam mulia yang dapat dikenai bea impor sebesar 5 persen dan pajak pertambahan nilai (PPn) sebesar 10 persen. Mereka merujuk pada surat Penetapan Klasifikasi Sebelum Impor (PKSI) Nomor 03 Tahun 2008 dan 20 Tahun 2020.

Silang pendapat antara Finari dan petinggi kantor pusat Ditjen Bea-Cukai ini bukan yang pertama. Pada April 2020, petugas Bea-Cukai menemukan beberapa batang emas dengan merek Argor-Heraeus yang dikemas rapi, bersegel, dan sudah tercetak keterangan berat dan kandungan emasnya. Nama pengimpornya tercantum PT Jardin Traco Utama.

Direktorat Teknis Kepabeanan kemudian menetapkan emas itu ke klasifikasi barang yang dikenai bea impor. Namun Finari berkukuh barang impor milik PT Jardin merupakan emas bongkahan. Tak hanya kepada PT Jardin, Finari diduga pasang badan untuk PT Antam dan perusahaan pengimpor emas lain.

Finari mengatakan PKSI hanya salah satu referensi untuk menjelaskan klasifikasi barang impor. “Pejabat yang kami tunjuk dalam meneliti dokumen berkeyakinan bahwa importasi cast bar diklasifikasikan pada pos tarif 7108.12.10 dengan pembebanan nol persen,” kata Finari.

Senior Vice President Corporate Secretary PT Antam Yulan Kustiyan meyakini emas yang diimpor bukan barang siap jual. Ia mengatakan perusahaannya mengimpor emas untuk bahan baku yang akan dilebur dan diolah kembali menjadi produk hilir emas. “Antam senantiasa memenuhi ketentuan dan peraturan yang berlaku,” ujar Yulan.


PT Jardin Traco juga menyatakan hal senada. “Semua sesuai dengan prosedur pemerintah,” ujar seorang anggota staf PT Jardin yang tak mau menyebutkan namanya saat ditemui Tempo. Adapun PT Indah Golden dan PT Untung Bersama tak merespons surat permohonan wawancara yang dikirimkan ke alamat e-mail perusahaan dan akun WhatsApp pengurusnya hingga Sabtu, 12 Juni lalu.

Direktur Teknis Kepabeanan Fajar Doni enggan berkomentar. “Sebaiknya ditanyakan melalui Pak Syarif,” ujar Doni. Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai R. Syarif Hidayat mengatakan klasifikasi minted gold bar berbeda dengan cast bar sehingga tarif bea masuknya juga berbeda. 

Menurut dia, Bea-Cukai Soekarno-Hatta juga dapat menetapkan kode HS yang berbeda sepanjang proses klasifikasi dilakukan dengan mengedepankan penilaian profesional, antara lain dengan meminta keterangan lebih lanjut dari importir ataupun ahli terkait untuk membantu penetapan. “Jika memang ada perbedaan penetapan pos tarif, akan ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur yang berlaku,” ucap Syarif.

Linda Trianita

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus