Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dicky: utang sampai ke cicit

Dicky iskandar di nata divonis 10 tahun penjara, denda rp 20 juta dan harus membayar kerugian rp 811 milyar kepada negara. kalau tak mampu bayar, utang itu dibebankan ke anak, cucu dan cicit.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bekas wakil Dirut Bank Duta divonis 10 tahun dan membayar uang pengganti Rp 811 milyar. Bagaimana cara menagih utang sebesar itu? KENDATI vonis hakim sudah bisa diduga sebelumnya, toh putusan hakim menggetirkan juga perasaan istri Dicky Iskandar Di Nata, Nyonya Rita. Di persidangan yang penuh sesak, Rabu pekan lalu, Nyonya Rita dan putrinya, yang selalu setia mengikuti persidangan, berurai air mata begitu hakim memutuskan Dicky terbukti bersalah korupsi, sehingga merugikan keuangan negara Rp 780 milyar. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai R. Saragih, memvonis Dicky 10 tahun penjara, denda Rp 20 juta (subsider 3 bulan kurungan). Di luar itu, hakim memutuskan sejumlah kekayaan Dicky, berupa rumah berikut isinya di Simpruk Golf dan di Cipete (Jakarta Selatan), mobil BMW, jip Mercedes, saham di berbagai perusahaan, dan berbagai rekening giro -- semuanya bernilai Rp 5 milyar -- disita untuk negara. "Habislah sudah karier saya," keluh Dicky, yang kelihatan tetap tabah di persidangan. Selain itu -- ini yang terberat -- Dicky harus membayar uang pengganti Rp 811 milyar kepada negara cq Bank Duta. Menurut hakim, Dicky nyata-nyata bersalah menyalahgunakan wewenangnya sejak diangkat sebagai Wakil Direktur Utama dan Direktur Eksekutif Bank Duta, 1989. Selain ditugasi mengelola sepenuhnya operasional Bank Duta sehari-hari ia diserahi mengawasi urusan treasury (perdagangan valas). Ternyata, Dicky malah ikut terjun sebagai dealer -- seharusnya tidak boleh -- baik untuk posisi Bank Duta maupun untuk posisi nasabah Edwin Boy Adam. Padahal, para dealer dalam kegiatannya diawasi oleh chief dealer, dan chief dealer berada di bawah pengawasan Dicky. Tentu saja chief dealer tidak bisa mengawasi Dicky ketika sang bos ikut terjun menjadi dealer. Menurut majelis, terjunnya Dicky sebagai dealer justru mengakibatkan lumpuhnya pengawasan di treasury Bank Duta. Kegiatan perdagangan valas menjadi tidak terkendalikan, sehingga para dealer melakukan transaksinya tanpa limit. Masalahnya tambah parah ketika Dicky mengambil transaksi-transaksi besar untuk posisi Boy Adam maupun Bank Duta secara bersamaan. Tujuan Dicky adalah supaya posisi Bank Duta yang "terbuka" sebesar US$ 250 juta, yang dibuat chief dealer Risanto Sasmoyo, bisa ditutup. Tetapi ternyata pada Januari 1990 malah muncul posisi Boy Adam dengan kemungkinan kerugian US$ 100 juta. Akhirnya, ketika transaksi valas Bank Duta ditutup, 15 Agustus 1990, total kerugian sudah mencapai US$ 419,6 juta (Rp 780 milyar). Di antaranya, US$ 221 juta, berasal dari posisi Boy Adam. Selebihnya adalah kerugian yang diakibatkan oleh para dealer yang bermain atas perintah Dicky. Karena kerugian besar itu, pemegang saham mayoritas di Bank Duta -- Yayasan Dakab, Dharmais, dan Supersemar -- terpaksa menyuntikkan dananya, supaya Bank Duta tidak guncang. Tapi akibatnya, yayasan yang bergerak di bidang sosial itu mengalami kesulitan keuangan. Semua itu dipandang majelis merugikan keuangan negara. "Saya tidak mengatakan itu uang negara. Tapi dari segi hukum bagaimanapun juga terdakwa telah merugikan keuangan negara," kata Saragih kepada TEMPO. Alasan hakim, devisa yang hilang untuk pembayaran kerugian permainan valas itu sangat dibutuhkan pembangunan nasional. Selain itu, perbuatan Dicky dapat menghilangkan kepercayaan dan mengurangi citra perbankan. Putusan ini kontan disambut hangat Jaksa Ph. Rompas. " Fakta-fakta yang kami kemukakan dapat diterima oleh hakim. Kalau toh ada perbedaan dalam besarnya hukuman, itu bukan hal yang prinsip," kata asisten intel Kejati Jawa Barat ini. Hukuman badan dan denda yang dituntut Rompas lebih tinggi dari putusan hakim, yaitu 18 tahun penjara dan denda Rp 30 juta (subsider 6 bulan kurungan). Sedangkan untuk uang pengganti justru hakim menghukum Dicky lebih berat. Tuntutan Rompas uang pengganti hanya Rp 410 milyar. Persoalan yang menarik adalah bab uang pengganti Rp 811 milyar tersebut. Sebab, soal uang pengganti, yang diatur Undang-Undang Antikorupsi 1971 ini, baru dituntut jaksa dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan Dicky ternyata dihukum untuk membayar jumlah yang tak kepalang tanggung. Ketua tim pemeriksa kasus Bank Duta, Murni Rauf, menganggap tak ada masalah mengenai cara pembayaran uang pengganti itu. Sesuai dengan ketentuan, kata Murni, kejaksaan akan menagih secara perdata. "Dalam 3-4 tahun terakhir ini kejaksaan meningkatkan penagihan uang pengganti," kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus ini. Memang, diakui Murni, yang bisa ditagih kejaksaan mungkin hanya sebagian. Tapi, sesuai dengan putusan hakim, uang pengganti itu tetap menjadi beban utang Dicky kepada negara seumur hidupnya. Kalau Dicky tetap tak mampu membayarnya? "Utang itu tetap menjadi utang sampai anak, cucu, cicit," ujarnya tegas. Beban berat sampai anak cucu itu tentu saja mengagetkan Dicky. Sebab, selama persidangan saja, kabarnya, Dicky sudah habis-habisan. "Dari mana saya mendapatkan uang segitu? Sekarang ini, anak-anak dan istri saya lagi susah hidupnya," ujar Dicky. Menurut salah seorang pembela Dicky, M. Assegaf, kalau uang pengganti itu dianggap sebagai utang, maka Bank Dutalah yang berhak menggugat Dicky secara perdata. "Kalau Bank Duta tidak menggugat, kejaksaan tidak bisa menagih. Masa, kejaksaan bertindak atas nama Bank Duta?" ujarnya. Selain itu, kata Assegaf, tidaklah layak bila anak-anak dan bahkan cucu Dicky ikut bertanggung jawab atas utang itu. Sebab, sesuai dengan asas hukum pidana: Siapa berbuat, dialah yang bertanggung jawab. Apalagi, menurut Assegaf, seharusnya kesalahan Dicky tidak bisa dijangkau UU Antikorupsi. Alasannya, rapat umum pemegang saham 4 Oktober 1990 -- institusi tertinggi yang diakui oleh undang-undang -- menyatakan, yang bertanggung jawab terhadap kerugian itu seluruh pimpinan puncak Bank Duta. "Pemilik perusahaan sudah mengatakan begitu, kok pengadilan berani mengatakan yang merugikan adalah Dicky," kata Assegaf. Andi Reza Rohadian dan Ardian Taufik Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus