Prospektus Bank Duta kini digugat. Seorang pembeli saham merasa tertipu. Mencari perlindungan hukum bagi pembeli saham? BANK Duta ternyata kaya dengan deposito perkara. Setelah kasus Dicky diputus pekan lalu, kini sudah menunggu gugatan seorang pemegang saham terhadap prospektus yang dikeluarkan Bank Duta menjelang go public. Pemegang saham tersebut, Eddy Hartono, melalui Pengacara O.C. Kaligis, merasa tertipu karena telanjur membeli saham Rp 2,5 milyar gara-gara prospektus Bank Duta menjanjikan prospek yang menggiurkan. Ternyata, Bank Duta menyimpan kanker berupa kasus korupsi -- yang tak disebut-sebut dalam prospektus. Akibatnya, harga saham terus melorot. "Saya menderita rugi Rp 1,1 mllyar," ujar Eddy Hartono. Hanya saja, sampai pekan ini, gugatan yang telah dimasukkan Kaligis ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 27 April silam, belum ada tanda-tanda akan disidangkan. "Sampai sekarang kok belum ada tanda-tanda sidang, ada apa?" ujar Kaligis, penasaran. Eddy Hartono, Direktur PT Saranadana Invesindo, dalam gugatannya meminta Direktur Utama Bank Duta mengembalikan seluruh uangnya yang digunakannya membeli saham bank tersebut, Rp 2,5 milyar. Di samping itu, ia juga menggugat Direktur Mitra Duta sekuritas, sebagai penjamin utama emisi Bank Duta. "Sebagai emiten seharusnya tahu kalau ada yang tidak beres, bukan malah menjebak," kata Eddy. Penyembunyian fakta di prospektus itulah yang menyebabkan Eddy merasa tertipu. Dalam prospektus, yang disiarkan menjelang go public, dilukiskan seolah-olah Bank Duta sangat bonafide dan menjanjikan keuntungan. Di situ tergambar bahwa bank ini layak duduk di peringkat kedua bank swasta terbesar, setelah Bank Central Asia. Namun, begitu Pemerintah mengumumkan ada korupsi, lemaslah Eddy. "Saya merasa telah ditipu habis-habisan," kata Eddy. Namun, mengapa yang digugat hanya dua badan itu -- tidak ikut digugat, misalnya, penasihat hukum yang mengeluarkan legal opinion atau Bapepam? Menurut Kaligis, pertimbangannya semata-mata berdasarkan skala prioritas saja. "Kalau semua digugat, nanti masalahnya malah jadi kabur," jawab Kaligis tanpa menutup kemungkinan menggugat badan lain yang terkait dengan go public Bank Duta. Gugatan ini juga dianggapnya sebagai test case, sejauh mana prospektus itu benar menurut hukum. Apa yang dilakukan Kaligis itu memang sebuah terobosan untuk memastikan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas go public sebuah perusahaan. Dalam kasus seperti Bank Duta, menurut Kaligis, sebenarnya tidak mungkin dewan direksi bank tak tahu kebenaran isi prospektus. Apalagi yang bertanda tangan di prospektus itu direksi, termasuk direktur audit, yang diistilahkan Kaligis sebagai "polisi". "Seharusnya mereka berlaku jujur. Kalau tahu Bank Duta rugi, jangan diloloskan untuk go public." Menko Ekuin Radius Prawiro, pada pembukaan kongres Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) September tahun lalu juga menyatakan bahwa sebelum sebuah perusahaan go public, akuntan harus mengorek habis seluruh pembukuan dan kegiatan perusahaan yang bersangkutan. Jika terjadi pelanggaran, seharusnya Dewan Kehormatan IAI menindak anggotanya. Terlepas dari siapa yang mesti bertanggung jawab atas kebohongan perusahaan yang go public, Kaligis menilai, kepastian hukum dalam perkembangan pasar modal di Indonesia masih kabur. Ia juga tak habis pikir dengan sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), yang terkesan ingin cuci tangan. "Manakala isi prospektus tidak benar, Bapepam malah menyatakan tidak bertanggung jawab," katanya. Padahal, sebelum perusahaan go public, Bapepam sudah memeriksanya. Karena itulah Kaligis tampak bersemangat, ingin agar perkara ini segera disidangkan. "Saya ingin menguji misleading prospectus di pengadilan," katanya. Agaknya, Kaligis masih harus bersabar. Sebab, sampai pekan ini, pihak Bank Duta sendiri, menurut Direktur Operasional B.S. Salamoen, belum menerima surat gugatan. Walau begitu, seandainya diperkarakan, ia tak akan tinggal diam. "Kami tak akan mengupayakan damai. Sebab, kalau minta damai, kesannya kami bersalah. Menurut hukum, apakah benar kami membuat kejahatan?" ujar Salamoen. Ia juga menolak tudingan menyembunyikan informasi. Sebelum go public, katanya, sudah ada pemeriksaan akuntan publik yang disahkan Bapepam. "Waktu itu pemeriksaan akuntan menunjukkan Bank Duta sehat, bisa go public. Jadi, tak ada kesengajaan untuk menyembunyikan informasi, apalagi menipu," katanya. Bank Duta, menurut Salamoen, walaupun komisaris utamanya seorang menteri, dalam go public tetap menempuh proses yang wajar. Kalaupun nilai sahamnya kini turun (pekan lalu berkisar Rp 2.200 per lembar dibanding harga perdana yang Rp 8.000), orang tak bisa menuntutnya. "Kalau saya dulu beli dolar dengan harga tinggi, dan tiba-tiba sekarang turun, apakah saya bisa menuntut pemerintah Amerika?" tanya Salamoen, beramsal. PT Mitra Dutasekuritas, hingga sekarang pun masih belum menerima panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Perusahaan kami tak pernah membujuk agar orang beli saham. Semua yang kami tawarkan sesuai dengan yang ada dalam prospektus," tutur sumber TEMPO di PT Mitra. Ia juga menilai gugatan yang diajukan Eddy tidak berdasar karena yang digugat pembelian saham September 1990. "Padahal, yang kami jual hanya saham perdananya saja," katanya. Biar begitu, perusahaan tersebut mengambil ancang-ancang menyewa lawyer andal. "Tunggu saja di pengadilan nanti," kata sumber TEMPO itu. Siapa tahu tak hanya prospektus Bank Duta yang bolong, tapi juga prospektus perusahaan-perusahaan besar lainnya. Aries Margono, Ardian T. Gesuri, dan Andy Reza R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini