MALAM Minggu, 20 Januari lalu, benar-benar kelabu bagi empat orang pemuda Pisangan Baru, Jakarta Timur. Mereka, Chaidir, 26 tahun, Rahmat Mulyana (Yana), 25 tahun, Herry, 25 tahun, dan Akhmad Joko Wirawan, 23 tahun, coba-coba menghabiskan malam panjang di Matra 21 Bar & Discotheque Grand Menteng Hotel, Jalan Matramam Raya, Jakarta Timur. Menumpang sebuah bajaj, keempat pemuda itu sampai di hotel berlantai 9 itu sekitar pukul 23.00. "Selamat malam, Pak," sapa mereka kepada satpam di situ. Lalu, mereka menuju ke lift. Celakanya, mereka tak tahu persisnya di lantai berapa diskotik itu berada. "Kami memang baru pertama kali ke sini," kata Chaidir, pegawai (sekuriti) Bank Umum Nasional. Tapi, berlagak seperti sudah biasa, mereka segera masuk lift. Tanpa jelas arah yang dituju, tahu-tahu lift sudah sampai di atas. Pencet lagi. Dan kali ini turun. Tepat di lantai III, lift itu membuka. "Tiba-tiba kami ditarik keluar oleh satpam," cerita Chaidir. Seperti tawanan, dengan menuruni tangga, keempat pemuda itu digiring ke lantai II. Di ruang sekuriti di lantai II itu, mereka diinterogasi. "Kamu tahu! Di sini sering kemalingan," bentak salah seorang satpam hotel itu. Mendapat perlakuan mirip pesakitan, tentu saja, Chaidir -- yang juga sekuriti itu -- dan ketiga temannya merah mukanya. Walau begitu, mereka mengaku masih berusaha menahan emosi. Chaidir dan Herry -- pegawai (mekanik) perusahaan taksi -- mencoba menjelaskan bahwa mereka bukan pencuri, tapi lagi mencari hiburan ke disko itu. Karena baru pertama kali datang, mereka nyasar. Rupa-rupanya penjelasan ini kurang mengena bagi petugas keamanan tersebut. "Kamu belum tahu siapa saya?" bentak salah seorang satpam yang bertubuh kekar. "Gua preman yang pernah membunuh orang," lanjutnya, seperti ditirukan Chadir. Merasa ditantang begitu, Herry, yang dalam pengaruh minuman -- konon, sebelumnya, mereka habis minum-minum -- tak kalah gertak. "Lu juga belum tahu siapa gua," katanya. Perkelahian tak terelakan lagi. Dalam sekejap, mata Herry kena hajar, hingga memar. Chaidir, yang mencoba membantu, kena gebuk. Berikutnya, giliran Joko dan Yana. Lima orang sekuriti -- tapi hanya dua yang memakai seragam -- itu menjadikan mereka bulan-bulanan. "Kami ditendang dan diinjak-injak sampai roboh," kata Herry. Ruang sekuriti yang terkunci itu benar-benar jadi arena pembantaian. Kedua mata Herry, misalnya, membiru dan giginya rontok satu. Perut dan wajah Chaidir juga melebam. Begitu pula Yana. Sedangkan Joko, mahasiswa semester VI Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, yang juga pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Timur -- menderita luka: Ulu hatinya membiru dan kepala bagian kanan belakang memar. Karena tak tahan dihajar, keempat korban menjerit-jerit minta tolong. Tapi, satpam hotel ini makin ganas. Kursi yang ada di situ dipakai untuk alat menggebuk. Entah berapa lama mereka dipermak. Chaidir maupun Herry tak ingat. Lantas, dua orang sekuriti ini menyuruh mereka mencuci muka dengan air di baskom yang telah tersedia. Setelah itu, mereka digiring ke sebuah ruangan. Di situ, mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan di atas segel yang isinya menyatakan bahwa kasus ini dianggap selesai. Dinihari sekitar pukul 01.30, mereka disuruh pulang. Herry pulang ke rumahnya, sedangkan Joko dan Chaidir tidur di rumah Yana. Tapi, pada dinihari sekitar pukul 2.00, Joko muntah-muntah. Setelah diberi minum, pemuda bertubuh tinggi kerempeng itu tertidur lagi. Sampai pukul 10.00 Minggu pagi, ia belum juga bangun. Padahal, kamar yang ditidurinya adalah kamar ayah Yana. Kemudian ia diangkat ke kamar lain. Anehnya, hingga pukul 15.00, Joko masih belum bangun. Khawatir terjadi apa-apa, keluarga Yana menghubungi orangtua Joko. Begitu Ibu Joko melihat anak sulungnya -- dari empat bersaudara -- sudah tak bergerak, ia kaget. Buru-buru Joko diangkat ke Poliklinik Karya Bakti, Jakarta Timur. Ternyata, sudah terlambat. Dokter Eko, yang memeriksa korban, angkat tangan. "Ia sudah meninggal," katanya. Kematian Djoko diperkirakan terjadi empat jam sebelumnya. Penyebab kematian belum ketahuan. "Ulu hati dan kepala belakangnya kelihatan lebam," kata Eko. Minggu malam, jenazah Joko divisum di RSCM, sebelum dikebumikan keesokan harinya di TPU Kawi-Kawi, Jakarta Pusat. Selain keluarga Joko, teman-temannya -- Chaidir, Yana, dan Herry -- bertekad menuntut penganiaya mereka. "Mumpung luka-luka ini masih jelas kelihatan, sehingga bisa menjadi bukti kesadisan mereka," tambah Herry sambil memperlihatkan sekitar matanya yang bonyok. Sampai awal pekan ini, polisi telah menangkap tiga orang sekuriti -- Nazwar Kamal, Erwin, dan Suwirman -- yang diduga terlibat penganiayaan tersebut. "Kini, sedang dalam pemeriksaan intensif. Dan sangat mungkin, para tersangka kasus ini akan bertambah," ujar sumber TEMPO di Polres Jakarta Timur. Rupa-rupanya pihak Grand Menteng baru mengetahui ada penganiayaan di ruang sekuriti, 15 jam setelah kejadian. "Kami, sebenarnya, tidak menginginkan kejadian tersebut," kata Direktur Personalia Grup Hotel Menteng Konstantin, SE. Tanpa bermaksud membela anak buahnya, Konstantin meluruskan insiden malam itu. "Mereka itu mabuk-mabukan. Jadi mencurigakan. Dan sewaktu ditanya, mereka malah bersikap keras," katanya. Waktu itu, sekuriti hotel menampar mereka, dengan maksud hanya ingin memberi pelajaran. "Tapi, sebelum ditampar, petugas kami malah ditonjok," katanya. Widi Yarmanto, Muchsin Lubis, dan Agung Firmansyah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini