Kebiasaan mengirim hadiah pada pergantian tahun sudah menjadi tradisi. Pihak pemberi menilainya sebagai upaya menjaga hubungan baik. Dan ini lain dengan pelicin. SETELAH sang Ular kembali ke tidurnya yang panjang, kini giliran sang Kuda menerjang ke depan. Pergantian itu jatuh pada 27 Januari, Sabtu baru lalu. Begitulah perhitungan kalender Cina. Dan seperti biasa, pergantian ini ditandai hujan berkepanjangan, serta kelesuan di sektor perdagangan. Tapi di kawasan pecinan di banyak kota di Indonesia, Imlek dirayakan dengan semarak. Salah satu tradisi yang melekat pada hari Imlek adalah pemberian angpau alias amplop putih dengan motif garis merah. Angpau ini berisi uang. "Tapi biasanya hanya diberikan kepada anak-anak," kata Teddy Djuhari, seorang pengusaha rekaman keturunan Cina di Bandung. Sementara itu, untuk para tetangga, mitra dagang, dan bahkan sejumlah pejabat di Bandung, Teddy punya tradisi mengirimkan dodol. "Itu kebiasaan, sih. Mereka mengharap-harap. Jadi, ya, harus kita sediakan," katanya lagi. Menurut dia, hari Imlek kurang afdol bila dilewatkan tanpa dodol Cina -- dikenal juga dengan sebutan "kue keranjang" -- yang terkenal legit rasanya itu. Setidaknya, Teddy menyiapkan dana sekitar Rp 250.000 untuk membeli dodol 200 kg. Dodol dan angpau memang bukan satu-satunya komoditi yang diberikan sebagai hadiah pada hari Imlek. Ada juga sejumlah pengusaha lain, yang memberikan bingkisan seperti parsel -- paket hadiah yang terdiri dari beragam makanan dan minuman. Atau berupa tiket hiburan berikut makan malam sambil menyongsong kedatangan Tahun Kuda. Contohnya, restoran di kawasan Glodok, yang menyajikan makan malam, lengkap dengan acara hiburan dari Anita Sarawak, penyanyi tersohor asal Singapura. Tapi pengiriman hadiah tak cuma terjadi di hari Imlek. Malah, di hari Natal dan menjelang pergantian tahun 1989-1990, kebiasaan mengantar hadiah justru lebih ramai. Dan ini tak cuma terjadi di kalangan anggota keluarga atau sesama tetangga. Bahkan lebih jor-joran terjadi di kalangan dunia bisnis. Sejumlah pengusaha kakap malah menyediakan anggaran khusus untuk bingkisan menjelang Lebaran atau Tahun Baru. Bingkisan itu bisa untuk mitra dagang atau para pejabat yang terkait dengan kelancaran bisnisnya. Bentuknya ada yang sederhana saja, seperti karangan bunga. Tapi juga ada yang berlebihan, misalnya tiket berlibur akhir tahun ke Bali atau Singapura. Ada perusahaan yang menganggarkan Rp 200 juta, khusus buat hadiah Natal dan Tahun Baru. "Ini penghargaan buat relasi dan pejabat yang mendukung usaha kami," kata seorang direktur, yang tak mau disebut namanya, kepada TEMPO. Nada bicaranya datar-datar saja. Pengiriman hadiah ini -- kalau diberikan kepada mitra dagang -- tentulah sekadar untuk menjalin hubungan bisnis yang sudah ada. Sebagai pengusaha, soal menjaga hubungan baik memang penting. "It's nice to do it. Jadi, ini jangan dianggap hal yang enggak-enggak," kata Poppy Dharsono, pengusaha yang bergerak di bisnis garmen dan minyak wangi. Poppy mengaku, sudah terbiasa dengan tradisi memberi bingkisan kepada relasinya, entah itu pada saat berulang tahun, pergantian tahun, Lebaran, Natal, atau Imlek. Menurut dia, itu merupakan konsekuensi, karena ia sendiri juga pernah menerima bingkisan. "Setiap Lebaran, saya juga sering menerima kado," ujar Poppy. Tampaknya, dalam dunia bisnis, kebiasaan saling memberi hadiah sudah tak terelakkan lagi. Ini ditegaskan oleh Sunder Soendriyo, seorang eksekutif dari perusahaan swasta di Jakarta. "Maksud memberi hadiah, supaya terjalin persahabatan dan memiliki banyak teman usaha untuk memperluas pasar." Akan halnya kebiasaan mengirim hadiah buat pejabat, pastilah ini karena ada kaitan dengan bisnis pengusaha yang bersangkutan. "Pejabat yang dikirimi bingkisan itu hanya yang sudah kami kenal, yang ada kaitannya dengan urusan izin perekaman," kata Teddy berterus terang. Hanya saja, kebiasaan ini agak sulit dirumuskan maknanya. Apakah sekadar tanda menjaga hubungan baik atau ada maksud terselubung. "Pemberian hadiah kepada pejabat, sepanjang tak berpengaruh langsung terhadap keputusan, itu wajar saja. Tapi kalau sudah menjadi pelicin, nah, itu tak wajar," tutur Sunder tegas. Dikatakannya, hadiah "pelicin" dimaksudkan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Sedangkan hadiah "biasa" tujuannya untuk memperlancar hubungan belaka. Ada juga yang menilai, kebiasaan memberi hadiah merupakan bagian dari budaya Indonesia. Ini klaim dari Sarlito Wirawan. Pakar psikologi lulusan UI itu melihatnya dalam orientasi hubungan kekeluargaan yang erat dalam masyarakat Indonesia. "Masyarakat yang guyub," katanya. Saling memberi hadiah, menurut Sarlito, biasanya bertujuan untuk mengakrabkan tali kekeluargaan. Tetangga di sekitar kita, pada hari-hari tertentu, sering membawakan rantang berisi makanan. Memang, "Hakikat memberi hadiah adalah sukarela," kata Marcel Mauss, sosiolog asal Prancis. Nah, orang yang menerima hadiah biasanya dibebani kewajiban sosial untuk membalasnya. Karena itu, para pengamat sosial menghubungkan fenomena ini dengan Teori Pertukaran Sosial yang dikemukan oleh pakar sosiologi George Homans dari Harvard University, AS. Menurut teori ini, orang yang pernah menerima hadiah cenderung untuk membalasnya. Bentuknya tak selalu harus berupa hadiah. Bisa juga dalam bentuk pertolongan. Ini berarti secara tersirat sudah bisa ditebak adanya kemungkinan "saling memberi" antara pengusaha dan pejabat. Dan semakin canggih hadiahnya, semakin istimewa pula pertolongan itu. Ahmed K. Soeriawidjaja, G. Sugrahetty Dyan K. (Jakarta), Heddy Susanto (Bandung), dan Herry Mohammad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini