PENGACARA main pisau, Tarmizi Ahmad yang menggarau. Ia lalu melaporkan Ansjari Bachsin, 56 tahun pengacara yang menusuknya itu kepada Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung (MA) Senin pekan lalu. ''Orang mau membunuh, kok masih dibiarkan bebas,'' ujar Direktur PT Bina Sarana Pratama (BSP) itu. Perkaranya sampai kini masih diperiksa di Pengadilan Negeri Bengkulu. Malam itu Tarmizi, 55 tahun, diantar dua rekannya dengan mobil Isuzu Panther ke kompleks gudang PD Bimex. Maksudnya untuk mencari Syamsul, bekas karyawannya, yang dicurigai Tarmizi mencuri aspal miliknya. Di sini ia hanya menemukan Ansjari yang duduk sambil memotong kuku. Tidak jelas siapa yang memulai, tiba-tiba terjadi baku hantam. Tarmizi bersimbah darah, dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Visum dokter menyebutkan, kedua telapak tangannya robek dan dua luka di perut satu di antaranya tembus melukai usus. Ansjari malam itu juga menyerahkan diri ke kantor polisi. ''Saya tidak bermaksud membunuh dia, cuma membela diri,'' ujar ayah enam anak itu. Pensiunan hakim yang pernah 26 tahun berdinas itu kemudian ditahan di Kantor Kepolisian Resor Bengkulu 16 hari, dan menjadi tahanan kejaksaan 7 hari sebelum dikenakan tahanan kota oleh Pengadilan Negeri Bengkulu dengan jaminan istrinya. Urusan ini dimulai dengan usaha pengadaan 2.000 metrik ton aspal dari Singapura. Heri Fachrizal Razy, 28 tahun, anak gubernur Bengkulu, mendapat mandat dari PD Bimex untuk mencari aspal. Belum diketahui alasan perusahaan daerah yang bergerak di bidang ekspor impor itu menguasakan kepada Heri, karyawan Dinas Perkebunan Bengkulu. Atas saran direktur Bank Dagang Negara Cabang Bengkulu dijalinlah kerjasama dengan PT BSP. Dalam kontrak, antara lain, disetujui PD Bimex menyetor bank garansi Rp 825 juta sebagai syarat agar aspal bisa masuk. Sebelum aspal datang, pihak PT BSP mengingatkan pada PD Bimex menyediakan dana Rp 160 juta untuk PPN, PPh, bea cukai, sampai bongkar muatan kapal. Perselisihan meletup. Mulanya, menurut Heri, dana itu tanggungan PT BSP. ''Kami hanya tahu aspal itu diterima PD Bimex,'' katanya. Karena kewajiban itu belum dipenuhi, aspal tak bisa diturunkan. Heri yang mengaku awam dalam dunia usaha itu kecewa. Ia menyerahkan kembali mandatnya kepada PD Bimex. ''Saya sudah melihat gelagatnya kurang baik,'' katanya. Untuk menghadapi sengketa, PD Bimex lantas menunjuk pengacara Ansjari Bachsin. Belakangan PD Bimex menutup sendiri biaya tersebut. Tapi aspal itu kemudian diklaim sebagai miliknya. ''Semua biaya kami tanggung, aspal itu sepenuhnya milik kami,'' ujar Tarmizi. Aspal pun diturunkan. Anehnya, sebagian aspal itu diangkut ke gudang milik PD Bimex. Tapi, diam-diam Tarmizi memindahkan ke gudangnya. Sengketa pun tambah marak. Apalagi permohonan Ansjari, agar pengadilan menyatakan sita beslah, ternyata dikabulkan pengadilan. Aspal itu lalu berada di bawah kontrol pengadilan. Pihak BSP tidak menerima keputusan itu. Alasannya, putusan itu sepihak. ''Itu barang kami, kok dikuasai pengadilan,'' katanya. Sambil mengajukan gugatan atas penetapan pengadilan itu, BSP tetap memindahkan aspal itu ke gudangnya. Bahkan sejumlah aspal dicurigai dicuri Syamsul, yang katanya dilindungi Ansjari. Itu sebabnya, ketika malam itu tidak ketemu Syamsul dan hanya ada Ansjari, Tarmizi marah. Perkelahian rupanya tidak terelakkan. ''Begitu saya turun, Ansjari langsung menusuk saya,'' ujar Tarmizi. Tapi, menurut Ansjari, Tarmizi yang mulai memukulnya. ''Saya cuma membela diri. Dan ketika ditinjunya, secara reflek saya tusukkan pisau itu ke tubuhnya,'' kata Ansjari. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini