HAKIM Ketua Soetrisno baru saja mengetukkan palunya tanda vonis
sudah jatuh. Salah seorang tergugat yang dikalahkan Kolonel
Purnawirawan (TNIAD) M. Djamil berdiri menuju majelis hakim
untuk memprotes. Hakim Soetrisno tidak melayani lagi dan
menyarankan untuk banding. Tetapi M. Djamil mengeluarkan sepucuk
pistol N-32 dari tas tangan, dan dengan tenang membidik ke
kepala Pengacara Soeripto SH, kuasa lawannya yang duduk di
sampingnya. Dor. Dan peluru melesat mengenai pelipis kanan
Soeripto.
Semua yang hadir di persidangan itu masih belum sadar apa yang
terjadi. M. Djamil dengan tenang maju dan membidikkan senjatanya
kepada Hakim Ketua Soetrisno. Kali ini pistol macet, Soetrisno
langsung tiarap di belakang meja hijaunya. Sementara hakim-hakim
anggotanya, Setiyono dan Ny. Suhartini masih terbengong, M.
Djamil berhasil diamankan oleh anggota-anggota Skogar yang juga
hadir di ruangan sidang tersebut.
Suasana tidak enak sudah terasa sebelum Hakim Soetrisno membuka
sidang hari Jumat minggu lalu di lantai dua Pengadilan Negeri
Jakarta Barat. Beberapa orang berseragam, dari Skogar yang
diakui M. Djamil sebagai "pengawalnya", ikut mendengarkan sidang
tersebut. Sebab itu, Hakim Soetrisno menanyakan apa di antara
mereka ada yang membawa senjata. Dan mendapat jawaban "tidak."
Ternyata kemudian tergugat M. Djamil sendiri yang mengantongi
senjata di tas tangannya.
Saya Malu
Sengketa yang diadili Hakim Soetrisno hanyalah sengketa
keluarga, mengenai sebuah rumah di Jalan Narada No. 29 Jakarta
Pusat. Moh. Djamil (67 tahun), anak ke-7 dari 15 orang
bersaudara, bersengketa dengan adiknya paling bungsu, Rosman
Rasjad (58 tahun). Yang terakhir ini memberi kuasa kepada
Soeripto.
Menurut Rosman, dari tahun 1949 sampai dengan 1956 ia menyimpan
uang kepada kakaknya M. Djamil sebanyak Rp 25.000 untuk membeli
rumah. Hasilnya rumah di Jalan Narada 29 itu, yang sekarang
ditempati Rosman. Tetapi surat pembelian rumah itu masih atas
nama Neneng D, anak M. Djamil paling sulung. Inilah yang
kemudian menjadi sengketa antara kakak beradik yang sudah
sama-sama tua tersebut.
M. Djamil merasa tidak pernah membeli rumah itu dari uang
adiknya. Apalagi menurut bantahannya, uang titipan Rosman sudah
dikembalikannya pada tahun 1966. Sebaliknya, Rosman merasa tidak
pernah menerima pengembalian itu. Juni 1979 sengketa itu
akhirnya dibawa M Djamil ke Dinas Perumahan DKI.
Dinas Perumahan DKI Jaya, mengabulkan gugatan M Djamil terhadap
adiknya Rosman Rasyad. Untuk itu Rosman diperintahkan
mengosongkan rumah Jalan Narada tersebut.
Kebetulan Rosman mempunyai tetangga, seorang pengacara,
Soeripto. Melalui Soeripto, Okttber 1979 gugatan dimasukkan ke
Penadilan Jakarta Barat dengan tergugat Neneng D., M. Djamil
dan Dinas Perumahan DKI. Pada sidang ke-15, Jumat pekan lalu,
Hakim Soetrisno mengambil keputusannya: M. Djamil dikalahkan --
yang berakhir dengan peristiwa penembakan tadi.
"Saya malu sekali, persoalan keluarga jadi diketahui umum,"
keluh Rosman yang ditemui TEMPO di Jalan Narada. Ia mengaku,
Pengacara Soeripto yang menjadi kuasanya, tidak dibayar
sepeser pun untuk itu. "Ia maklumi keadaan saya yang banyak
anak," ujar Rosman di rumah sengketa, yang termasuk kelas
sederhana saja.
Soeripto sendiri sampai akhir minggu lalu masih dirawat di RS
Sumber Waras, dan belum diperkenankan menerima tamu. Sementara
M. Djamil penembaknya saat ini ditahan oleh Skogar di tahanan
CPM Guntur. Ia terakhir pegawai honorer di Skogar Ibukota,
setelah pensiun dari Kodam VI Siliwangi semasa Panglima Ibrahim
Adjie. Ny. Sukaesih istri M. Djamil yang buru-buru datang dari
Bandung setelah membaca koran mengenai peristiwa itu, tidak
banyak komentar. "Sebagai istri tentara, saya kembalikan kepada
Tuhan," ujarnya, ketika mau melihat suaminya di tahanan Guntur.
Peristiwa main hakim sendiri seperi ini memang sudah cukup
sering terjadi di peradilan-peradilan kita. Beberapa tahun yang
lalu, seorang ibu yang anaknya menjadi korban kecelakaan memburu
jaksa dengan gunting di Pengadilan Bandung karena tidak puas
atas tuntutan jaksa tersebut. Begitu juga di
pengadilan-pengadilan Jakarta sering pengunjung sidang membawa
pengawal, atau membawa senjata masuk ruangan sidang. Tetapi
penembakan yang dilakukan M. Djamil ini mungkin paling serius.
Dan justru terjadi pada saat Operasi Sapu Jagat sedang gencar
menertibkan pemakaian senjata api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini