Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dor Di Pengadilan

Penembakan di ruang pengadilan, kol. (pur) m. djamil (tergugat ii) menembak pengacara soeripto, sh (kuasa lawannya), sengketa keluarga mengenai rumah di jln. narada. (krim)

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM Ketua Soetrisno baru saja mengetukkan palunya tanda vonis sudah jatuh. Salah seorang tergugat yang dikalahkan Kolonel Purnawirawan (TNIAD) M. Djamil berdiri menuju majelis hakim untuk memprotes. Hakim Soetrisno tidak melayani lagi dan menyarankan untuk banding. Tetapi M. Djamil mengeluarkan sepucuk pistol N-32 dari tas tangan, dan dengan tenang membidik ke kepala Pengacara Soeripto SH, kuasa lawannya yang duduk di sampingnya. Dor. Dan peluru melesat mengenai pelipis kanan Soeripto. Semua yang hadir di persidangan itu masih belum sadar apa yang terjadi. M. Djamil dengan tenang maju dan membidikkan senjatanya kepada Hakim Ketua Soetrisno. Kali ini pistol macet, Soetrisno langsung tiarap di belakang meja hijaunya. Sementara hakim-hakim anggotanya, Setiyono dan Ny. Suhartini masih terbengong, M. Djamil berhasil diamankan oleh anggota-anggota Skogar yang juga hadir di ruangan sidang tersebut. Suasana tidak enak sudah terasa sebelum Hakim Soetrisno membuka sidang hari Jumat minggu lalu di lantai dua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Beberapa orang berseragam, dari Skogar yang diakui M. Djamil sebagai "pengawalnya", ikut mendengarkan sidang tersebut. Sebab itu, Hakim Soetrisno menanyakan apa di antara mereka ada yang membawa senjata. Dan mendapat jawaban "tidak." Ternyata kemudian tergugat M. Djamil sendiri yang mengantongi senjata di tas tangannya. Saya Malu Sengketa yang diadili Hakim Soetrisno hanyalah sengketa keluarga, mengenai sebuah rumah di Jalan Narada No. 29 Jakarta Pusat. Moh. Djamil (67 tahun), anak ke-7 dari 15 orang bersaudara, bersengketa dengan adiknya paling bungsu, Rosman Rasjad (58 tahun). Yang terakhir ini memberi kuasa kepada Soeripto. Menurut Rosman, dari tahun 1949 sampai dengan 1956 ia menyimpan uang kepada kakaknya M. Djamil sebanyak Rp 25.000 untuk membeli rumah. Hasilnya rumah di Jalan Narada 29 itu, yang sekarang ditempati Rosman. Tetapi surat pembelian rumah itu masih atas nama Neneng D, anak M. Djamil paling sulung. Inilah yang kemudian menjadi sengketa antara kakak beradik yang sudah sama-sama tua tersebut. M. Djamil merasa tidak pernah membeli rumah itu dari uang adiknya. Apalagi menurut bantahannya, uang titipan Rosman sudah dikembalikannya pada tahun 1966. Sebaliknya, Rosman merasa tidak pernah menerima pengembalian itu. Juni 1979 sengketa itu akhirnya dibawa M Djamil ke Dinas Perumahan DKI. Dinas Perumahan DKI Jaya, mengabulkan gugatan M Djamil terhadap adiknya Rosman Rasyad. Untuk itu Rosman diperintahkan mengosongkan rumah Jalan Narada tersebut. Kebetulan Rosman mempunyai tetangga, seorang pengacara, Soeripto. Melalui Soeripto, Okttber 1979 gugatan dimasukkan ke Penadilan Jakarta Barat dengan tergugat Neneng D., M. Djamil dan Dinas Perumahan DKI. Pada sidang ke-15, Jumat pekan lalu, Hakim Soetrisno mengambil keputusannya: M. Djamil dikalahkan -- yang berakhir dengan peristiwa penembakan tadi. "Saya malu sekali, persoalan keluarga jadi diketahui umum," keluh Rosman yang ditemui TEMPO di Jalan Narada. Ia mengaku, Pengacara Soeripto yang menjadi kuasanya, tidak dibayar sepeser pun untuk itu. "Ia maklumi keadaan saya yang banyak anak," ujar Rosman di rumah sengketa, yang termasuk kelas sederhana saja. Soeripto sendiri sampai akhir minggu lalu masih dirawat di RS Sumber Waras, dan belum diperkenankan menerima tamu. Sementara M. Djamil penembaknya saat ini ditahan oleh Skogar di tahanan CPM Guntur. Ia terakhir pegawai honorer di Skogar Ibukota, setelah pensiun dari Kodam VI Siliwangi semasa Panglima Ibrahim Adjie. Ny. Sukaesih istri M. Djamil yang buru-buru datang dari Bandung setelah membaca koran mengenai peristiwa itu, tidak banyak komentar. "Sebagai istri tentara, saya kembalikan kepada Tuhan," ujarnya, ketika mau melihat suaminya di tahanan Guntur. Peristiwa main hakim sendiri seperi ini memang sudah cukup sering terjadi di peradilan-peradilan kita. Beberapa tahun yang lalu, seorang ibu yang anaknya menjadi korban kecelakaan memburu jaksa dengan gunting di Pengadilan Bandung karena tidak puas atas tuntutan jaksa tersebut. Begitu juga di pengadilan-pengadilan Jakarta sering pengunjung sidang membawa pengawal, atau membawa senjata masuk ruangan sidang. Tetapi penembakan yang dilakukan M. Djamil ini mungkin paling serius. Dan justru terjadi pada saat Operasi Sapu Jagat sedang gencar menertibkan pemakaian senjata api.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus