Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tanah-tanah bagi rakyat

Hak atas tanah asal konversi barat berakhir pada tgl 24 september 1980. pemerintah menyatakan rakyat kecil diprioritaskan buat mengusahakannya. tapi banyak yang tak tahu cara mengusahakannya.

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI ini para petugas di kantor-kantor agraria diuruk kerja. Ada yang mesti segera diselesaikan banyaknya permohonan hak baru atas tanah asal konversi hak barat. Seperti dimaksud dalam Undang-undang Pokok Agraria, hak atas tanah asal konversi barat itu berakhir 24 September. Yang dimaksud tanah hak barat ialah tanah bekas milik orang asing, dalam hal ini Belanda dan timur asing seperti Cina dan Arab. Bentuknya macam-macam perkebunan, tanah dengan bangunannya, tanah kosong. Sejak 1960 tanah-tanah tersebut boleh dikonversi (dialihkan haknya). Ada yang menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai. Tapi segala macam hak tersebut berakhir 20 tahun kemudian --tepatnya 24 September kemarin. Itu berarti tanah tersebut otomatis jadi tanah negara. Menurut Keppres 32/79, bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan sendiri tanah atau bangunannya dapat diberikan hak baru, kecuali bila tanah itu diperlukan untuk proyek pembangunan. Tentu saja si pemohon haruslah warga negara RI, atau badan hukum. Menurut Peraturan Mendagri No. 3/79, permohonan hak baru tersebut hendaknya diajukan sebelum 24 Juni 1980. Yang menarik dari keputuan presiden itu ialah: tanah bekas hak guna usaha yang diduduki rakyat dan dianggap lebih baik buat usaha pertanian akan diberikan kepada rakyat. Begitu pula dalam hal tanah hak guna bangunan atau hak pakai yang sudah jadi perkampungan, prioritas diberikan kepada rakyat yang telah menghuninya. Bisakah dijamin rakyat kecil benar-benar dapat perhatian? "Paling tidak dari sudut peraturannya, rakyat sudah terlindungi," kata Drs. Soeradi Hadisoewarno, Direktur Landreform pada Ditjen Agraria. Dan di lapangan, ada Panitia Pemeriksa Tanah Perkebunan, yang juga disebut Panitia B, dengan anggota yang mewakili pelbagai departemen. Kalau hasil Panitia B masih disangsikan? "Di pusat masih ada lagi satu panitia, yaitu Panitia Perkcbunan Pusat," jawab Soeradi. Panitia ini diketuai Mr. Boedi Harsono, pensiunan akil Kepaia Biro Perencanaan dan Perundang-undangan Kementerian Agraria ketika rancangan UUPA digodok. Ia kini dosen hukum agraria pada Usakti. Semua kantor agraria saat ini memang lagi sibuk mengumpulkan jumlah dan jenis-jenis tanah bekas konversi hak barat itu. Para petugas di Kantor Agraria Jakarta Pusat misalnya, sampai akhir pekan lalu masih lembur sampai jam 9 malam. "Rasanya seperti tenggelam dalam tumpukan map saja," kata seorang petugas. Itu tak berarti semua warga Jakarta Pusat tahu bahwa mereka harus mengajukan permohonan hak baru. Anwar 46 tahun, misalnya. Rumahnya di kawasan Petojo Utara, Kecamatan Gambir, dibangun 1951 di atas sebidang tanah milik almarhum Ali Badjened -- orang keturunan Arab yang ditembak oleh penjahat Kusni Kasdut. Ia belum mengajukan hak guna bangunan. Cara mengajukannya pun ia tak tahu. "Boro-boro urusan tanah, urusan perut saja sudah repot," katanya. Agaknya penyuluhan mengenai hal itu kurang efektif. Seorang staf penyelenggara siaran pedesaan RRI Nusantara I Medan mengungkapkan siaran pedesaan selama ini hanya berisi penyuluhan bercocok tanam, soal pupuk, KUD. "Soal-soal agraria malah tidak ada," katanya. Kewalahan Bisa dimaklumi kalau sengketa tanah masih saja muncul. Misalnya di kawasan PTP V Sei Karang, Paya Bagas, Tebing Tinggi. Sengketa masih tetap menghangat. Sejak 1936 petani menggarap tanah seluas 82 ha. Ketika G-30-S/PKI meletus, tanah dirampas pihak perkebunan. Penggarap yang bertahan dituding PKI. "Perbuatan perkebunan itu kejam. Tanah dirampas tanpa ganti ini," kata A. Hasjim Damanik, Ketua Konisi A DPRD Deli Serdang. Di Yogya, tanah bekas konversi hak barat yang terpenting terdapat di Kotabaru, bekas tangsi Belanda. Kini menjadi kawasan elite di jantung kota. Tentu saja penghuninya tahu betul konversi atas tanah bekas hak barat yang mereka tempati segera habis. Selain itu "pada sertifikat yang lama 'kan tercantum bahwa sertifikat itu berakhir 24 September 1980," kata Hirmadi SH, Kepala Bagian Umum Dinas Agraria DIY. Kantor Agraria Kotamadya Semarang juga kewalahan menerima pemohon hak baru yang berbondong-bondong. "Pokoknya ditampung dulu, lalu diteliti kasus demi kasus," kata Arthy Sudjono, Kepala kantornya. Di kota ini ada sekitar 12.000 persil. Tapi sampai pekan lalu baru 2.000 sertifikat yang diterbitkan. Sulitkah mengajukan permohonan hak baru Menurut Kepala Direktorat Agraria Kamal Hayat, mudah. "Saya jamin tak ada pungutan liar. Kalau ada, akan langsung saya tindak," katanya. Ada daftar biaya pengurusan surat-surat agraria tertempel di setiap kantor agraria. Untuk mendapatkan formulir misalnya, Rp 1.000. Sedang pengurusan hak baru atas tanah bekas konversi hak barat itu biasanya selesai dalam 3 bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus