KIAI Iskandar masih muda, walaupun sering dituakan oleh
orang-orang sekitarnya. Dalam umur belum tiga puluh tahun sudah
jadi 'lurah pondok' di Pesantren Lirboyo. Ini tanda kepercayaan
almarhum Kiai Marzuki dan Kiai Makhrus kepadanya.
Bersekolah SMP Muhammadiyah semasa menjadi santri di pesantren
tersebut, sedikit banyak ia menyatukan dalam dirinya dua jenis
'budaya santri': Budaya akhlak pribadi serba tasawwuf, yang
menjadi 'merk' para kiai NU, dan budaya senang bekerja dalam
jalur organisatoris untuk menangani masalah-masalah
kemasyarakatan, yang menjadi 'cap'nya orang Muhammadiyah.
Berkembangnya pola tunjang-menunjang antara kedua 'budaya
santri' tersebut tambah diperkuat lagi oleh statusnya sebagai
pegawai negeri, dus anggota Korpri. Ke-kiai-an pesantren harus
difungsikan seiring dengan tugas sebagai direktur sebuah sekolah
agama negeri, plus keterlibatan sebagai wakil ketua Majlis Ulama
di kabupatennya. Pendekatan manusiawi yang sarat dengan
kepemimpinan yang sanggup menyantuni masyarakat agraris di
desanya, harus diimbangi oleh pola hubungan kerja instruktif
dengan guru-guru negeri yang jadi anak buahnya.
Akhlak ke-kiai-an yang mampu menyantuni segenap lapisan
masyarakat, yang dikembangkan oleh gemblengan yang diterimanya
di Pesantren Lirboyo, membawanya juga kepada kemampuan mengelola
harta masyarakat dengan penuh tanggung jawab.
Maka pada usia muda ia sudah terkenal dengan kejujuran
finansialnya. Wakaf, infaq dan sadaqah adalah harta masyarakat
yang sering diamanatkan kepadanya. Juga titipan uang orang
banyak untuk diusahakan, dengan cara ia menitipkannya kembali
kepada para petani dan pengusaha lokal.
Selain fungsi bermacam-macam itu, ia punya fungsi yang unik:
menjadi clearing house bagi informasi soal perjodohan.
Soal menghubungkan pihak-pihak yang akan berjodoh adalah
spesialisasinya. Ini didukung oleh reputasinya sebagai orang
yang sering berhasil mencarikan jodoh yang sesuai dan serasi.
Ini tentu berkat ketajaman penglihatannya akan watak manusia,
status sosial masing-masing dan lain-lain faktor yang harus
diperhitungkan dalam soal perjodohan yang sukses.
Sang kiai juga jadi wasit dalam sengketa harta di kalangan
masyarakat, ditambah fungsi kerohanian untuk menolong mereka
yang menderita di sekitarnya.
Bukan tanpa pengorbanan Kiai Iskandar dapat melakukan fungsi
seperti itu dengan penuh.
Ia harus mampu menyesuaikan diri sepenuhnya dengan aspirasi para
kiai lain di daerahnya. Ia harus mampu mempelopori penerapan
nilai-nilai keagamaan konvensional dalam kehidupan masyarakat.
Ia tidak boleh menyimpang dari 'aturan permainan' tersebut. Bila
ada orang kawin, ia harus memberikan sambutan standar yang sudah
berumur ratusan tahun. Bila ada pengajian, ia harus mencanangkan
pentingnya berakhlak konvensional, seperti menganjurkan
sembahyang secara tetap, melarang orang berjudi dan seterusnya.
Di antara nilai yang harus dianutnya adalah pembagian tegas
antara 'kita orang santri' dan 'mereka yang bukan santri'. Tidak
usah memusuhi, tetapi tidak pula boleh menggauli mereka secara
akrab. Tidak boleh menyantuni dalam soal yang berada di luar
kesamaan sebagai penduduk yang sama-sama tinggal di satu desa.
Di hari lebaran tidak usah bertandang ke rumahnya. Kalau tahu
mereka sakit tidak usah dijenguk. Kalau mereka berpesta, tidak
usah datang membantu persiapannya cukup datang sebagai undangan
pada waktunya saja. Dan begitu seterusnya.
Dengan kata lain, Kiai Iskandar harus mengikuti pola hubungan
monolotis kaum santri di pedesaan Jawa: kucilkan mereka yang
bukan santri dari pola paguyuban ke-santri-an sejauh mungkin.
Belasan tahun Kiai Iskandar menjalani pola kehidupan seperti
ini, hingga secara kebetulan ia menghadapi kejadian yang tidak
diduganya sama sekali. Bulan puasa yang lalu, salah satu
tetangga yang baru berpindah ke desa itu, meninggal dunia karena
sakit. Pendatang baru itu belum pernah bertandang ke rumah Kiai
Iskandar, sehingga sang kiai tidak tahu dengan tepat apa
'identitas kultural' sang tetangga. Miskomunikasi wajar dalam
kehidupan yang semakin kompleks.
Karena sang tetangga meninggal dunia malam Jumat dalam bulan
puasa, secara spontan Kiai Iskandar memasukkannya ke dalam
kategori orang baik, yang kepulangannya ke rahmatullah akan
diteirma dengan baik di sisi Tuhan. Prasangka baik yang
dibawakan oleh kepercayaan akan sabda Nabi Muhammad ini
mendorong Kiai Iskandar untuk segera memerlukan datang ke rumah
tetangga itu.
Kiai Iskandar menjadi heran ketika dilihatnya hanya sedikit
orang berada di tempat Pak Damin, tetangga baru yang meninggal
dunia itu. Tidak ada 'tokoh' pengurus jenazah, seperti
kebiasaannya. Tidak ada rakyat yang memotong batang bambu,
membelah-belahnya untuk dijadikan peralatan mengubur jenazah
nanti.
Tanpa kecurigaan apa pun, Kiai Iskandar segera 'menggerakkan'
rakyat sekitar untuk mengurusi jenazah Pak Damin, dari
memandikan hingga ke upacara penguburan keesokan paginya. Ia
memberikan kesaksian jenazah tersebut sebagai orang baik, karena
kematian Pak Damin terjadi malam Jumat di bulan puasa. Ketika ia
meminta pengokohan orang banyak atas kesaksiannya itu, mereka
menjawab secara bermalas-malasan, tidak antusias, menurut bahasa
orang kota.
Kiai Iskandar tidak menyangka jauh-jauh apa sebab keengganan
itu. Ternyata Pak Damin bukan santri. Ia orang kebatinan, alias
Kejawen. Pak Damin diindentifisir sebagai orang luar yang tidak
perlu disantuni, menurut tata nilai dan pola hubungan serba
monolit di pedesaan.
Segera Kiai Iskandar melancarkan jawabannya sendiri atas
kejadian tersebut. Untuk menghilangkan salah pengertian orang
banyak, demikian tuturnya.
Di mana-mana ia jelaskan perlunya orang kebatinan seperti Pak
Damin juga disantuni kalau meninggal dunia. Orang bukan santri
juga harus diperlakukan dengan baik dan terhormat dalam
pergaulan hidup, kalau mereka memerlukan santunan.
Kalau kaum santri dapat berbuat begitu, kalau pun orang bukan
santri tetap pada keadaan semula, anak cucunya toh akan
merasakan pentingnya arti santunan tersebut -- dan akan melihat
kegunaan menjadi orang santri.
Entah karena perhitungan praktis bahwa ia toh dapat menggerakkan
orang banyak untuk berbuat demikian, entah karena sudah telanjur
mengerjakan hal yang sama, Kiai Iskandar lalu mengambil sikap
menyimpang dari sikap, monolit kaum santri di desanya.
Yang jelas, perubahan sikap yang bersumber pada prasangka baik
dan kepercayaan akan 'status baik' jenazah yang meninggal dunia
malam Jumat di bulan puasa itu telah membawakan pola hubungan
baru di desa tersebut.
Ini mungkin tidak disadari sejauh itu oleh Kiai Iskandar
sendiri. Bagaimana pun juga, kejadian ini menunjuk kepada salah
satu landasan kehidupan para kiai: rasionalitas tersendiri, yang
tumbuh dari kepercayaan keagamaan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini