Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun kembali melaporkan Kaesang Pangarep, anak Presiden Joko Widodo atas dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ubedilah datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi bersama dengan kuasa hukumnya AH. Wakil Kamal. Ia menyampaikan surat yang berisi empat tuntutan kepada KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. KPK segera memproses laporan yang pernah ia ajukan pada 10 Januari 2022 terkait dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Kaesang Pangarep.
2. Mendesak KPK untuk memanggil dan memeriksa Kaesang beserta istrinya terkait perilaku hidup mewah sebagai anak pejabat negara.
3. Meminta KPK memanggil dan memeriksa Presiden Joko Widodo sebagai ayah dari Kaesang dan Gibran Rakabuming Raka. Ia menuduh Presiden telah menerima gratifikasi yang disalurkan melalui kedua anaknya tersebut.
4. Ubedilah meminta KPK bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri seluruh aliran dana yang diduga tidak wajar yang diterima oleh keluarga Presiden Joko Widodo.
"Demikian surat ini saya sampaikan secara sadar kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, membimbing nurani kita semua untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar dan menegakkan keadilan dengan cara yang adil. Amin," tutup Ubedilah dalam laporannya.
Pada Januari 2022, Ubedilah pernah melaporkan Gibran dan Kaesang ke KPK terkait dugaan pencucian uang yang melibatkan perusahaan PT SM, yang diduga terlibat dalam pembakaran hutan pada 2015. Perusahaan tersebut sempat dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan nilai ganti rugi Rp 7,9 triliun, tetapi Mahkamah Agung hanya mengabulkan Rp 78 miliar pada Februari 2019.
Ubedilah menuduh bahwa pada saat yang sama, Gibran dan Kaesang menjalin kerja sama bisnis dengan PT SM, menerima dana sebesar Rp 99,3 miliar dalam dua kali transaksi, dan membeli saham senilai Rp 92 miliar.
Namun, KPK menganggap laporan tersebut sumir. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyatakan bahwa informasi yang diberikan Ubedilah tidak cukup kuat untuk mendukung dugaan korupsi atau penyalahgunaan wewenang.