TIDAK hanya anak muda yang pemberang. Di Sumatera Utara, hanya dalam tenggang waktu dua hari, pertengahan bulan lalu, dua orang kakek-kakek renta Khalifah Hasan Hasugian, 72 tahun, dan Baki Sianturi, 85 tahun -- kalap membunuh lawan-lawannya. Hasugian membunuh orang sekampungnya, Jakuaso Siregar, 80 tahun, sedangkan Baki mengakhiri riwayat adiknya, Naik, juga berusia 80 tahun. Akibatnya, kedua kakek yang uzur itu meringkuk di tahanan polisi. Penduduk Desa Siuhom II Adian Nauli, Tapanuli Selatan, itu, yang hanya ber jumlah l4 keluarga, selama ini mengenal Hasugian dan Jakuaso sebagai kedua kakek alim yang rajin menjalankan, perintah agama. Kedua kakek, yang rumahnya bertetangga itu, juga tak pernah terdengar bertengkar. Pada akhir 1987, Hasugian membeli tanah milik Jakuaso seluas 25 X 16 meter, dengan harga murah Rp 100 ribu. Harga itu disctujui Jakuaso, karena Hasugian berjanji akan membangun masjid di atas tanah itu. Ternyata, dua bulan kemudian Hasugian membangun rumah di pertapakan itu. Tentu saja Jakuaso naik pitam. Berkali-kali dia memperingatkan Hasugian supaya membatalkan niatnya. Tapi tak berhasil. Sebab itu, 15 Juni lalu Jakuaso menyandan sebilah parang dan sepotong broti pemukul mendatangi Hasugian ke rumahnya. "Kita selesaikan persoalan kita hari ini," teriak Jakuaso. Mula-mula, Hasugian tak ambil pusing. Tak lama kemudian darahnya naik ke ubun-ubun. Sebab, Jakuaso tiba-tiba menampar putrinya, Zainal, 11 tahun Ayah enam anak, kakek 8 cucu, itu bcnar-benar hilang kesabarannya, ketika Jakuaso menyerang istrinya, Umi Kalsum, 55 tahun. Ia segera menyambar lima potong broti dan melemparkannya ke Jakuaso. Lawannya berhasil mengelak. Tapi Jakuaso tak bisa menahan keseimbangan badannya sehingga jatuh tertelungkup Akibatnya, dengan mudah Hasugian memukul kepala Ja kuaso, yang tak sempat lagi mencabut parangnya, Kepala Jakuaso remuk. Kendati Jakuaso sudah tak berdaya, Hasugian masih mengikat tangan korbanya sebelum melapor ke kepala desa setempat. Tapi ketika ia bersama-sama kepala desa kembali ke tempat kejadian, Jakuaso ternyata sudah tewas "Ia tewas akibat cedera di kepalanya," kata Mayor Drs. Athief Ali M. Dai, Wakapolres Tapanuli Selatan. Di tahanan Hasugian menyesali peristiwa itu. "Saya tak pernah bermaksud membu nuhnya," kata Hasugian kepada TEMPO. Ia katanya, hanya berniat memukul tangan korbannya ketika lawannya itu jatuh. "Eh, ternyata kepalanya yang kena," katanya. Lain lagi cerita Kakek Baki Sianturi Ayah 5 anak, kakek 19 cucu, dan buyut 5 cicit itu, dua hari sebelumnya, diringkus polisi garagara membunuh adik kandungnya, Naik Manasi Sianturi. 80 tahun. Lagi-lagi karena soal tanah. Pagi itu, Naik menggser tanda perbatasan sawahnya, yang bersebelahan dengan sawah Baki di Kampung Kristen, Kecamatan Tanah Jawa Hilir, Simalungun, selebar 25 cm. Ulahnya tertangkap basah oleh kakaknya Baki, yang pada saat itu sampai pula di sawahnya. Baki menegur adiknya itu. Teguran itu disambut Naik dengan berang. "Tak ada yang bisa melarang saya memindahkan tanda batas sawah ini," kata Naik. Baki pun naik darah. Ia mengayunkan cangkulnya ke pundak adiknya. Kena. Tapi Naik tak gentar. Ia merangkul abangnya itu. Mereka bergumul. Dengan seluruh tenaga, Baki berhasil membalikkan tubuh adiknya, yang lebih besar itu, ke dalam lumpur. Baki menindih tubuh Naik. Lalu bagaikan kesetanan, ia membenamkan kepala adiknya berkali-kali ke dalam lumpur. Naik megap-megap, dan kemudian menggelepar dan meninggal di tempat itu. "Dia tak bisa bernapas karena paru-paru dan limpanya kemasukan lumpur," kata Kasatserse Polres Simalungun, Letda. M: Situmorang. "Semuanya di luar akal saya," kata Baki, yang mengaku sebenarnya takut melawan adiknya yang lebih kekar itu. Sebab itu, ia sering mengalah kendati sering dibentak-bentak Naik. Di dalam tahanan, Baki sering menangisi perbuatannya. Dan Rabu subuh, dua pekan lalu, mayatnya ditemukan dalam bak kamar mandi tahanannya. Menurut Kadispen Polda Sum-Ut. Baki bunuh diri. "Mungkin dia sangat menyesal menyudahi adiknya," kata Yusuf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini